Jumat, 04 April 2014

KETIKA POLITIK DIKEMAS DALAM BENTUK KOMEDI HOROR DI BALASAN JANDA HOM PIM PAH












Oleh : Tina Aprida Marpaung

Komedi Tidak Serius?

            Beberapa waktu yang lalu, setelah pementasan Komedi Horor Balasan Janda Hom Pim Pah kelanjutan dari pementasan Komedi Balada Janda Hom Pim Pah di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera Utara, yang diusung Sanggar Kursi bekerjasama dengan Komunitas Home Poetry, Teater LKK Unimed, dan Sanggar music Metronom, saya dan beberapa orang teman yang berasal dari kalangan dosen di beberapa perguruan tinggi berkumpul selesai pementasan. Awal pembicaraan masih seputar pementasan yang berbau pro dan kontra. Tetapi yang menariknya adalah salah seorang teman saya yang kebetulan dosen berujar datar. Katanya, pementasan komedi itu tidak serius. Saya sontak kaget. Di tambah lagi dengan kalimat itukan hanya dagelan politik. Wah! Kekagetan saya dikarenakan yang berbicara itu notabene adalah seorang dosen yang kebetulan mengasuh mata kuliah telaah drama. Saya mencoba menyelidiki lebih lanjut apakah ketidakseriusan yang dimaksud secara tersirat atau tersurat. Akhirnya, setelah tahu yang dimaksud saya hanya mengatakan berarti pekerjaan mereka sia-sia. Mereka terdiam.
            Terbayang kembali di benak saya beberapa kelompok teater yang sempat saya saksikan pementasannya, seperti Teater Kartupat, Teater ‘O’, Teater Anak Negeri, Teater Siklus, Teater Patria, D’Lick Teater Team, Teater Generasi, Teater Blog, dan beberapa kelompok teater yang lainnya. Saya berfikir dan yakin bahwa mereka tentu tidak akan berfikir melakukan pekerjaan yang sia-sia. Bayangkan saja dengan waktu latihan yang cukup menyita, artisitik yang sedemikian rupa dan termasuk bagaimana menghadirkan penonton yang tidak sedikit. Bagi saya ini serius dan sangat serius. Pun, bukankah membuat penonton terpingkal-pingkal itu pekerjaan yang mudah?
            Seperti yang selama ini saya fahami, bahwa komedi itu serius. Ia membawa penonton kepada akhir yang bahagia, tanpa melupakan pesan yang akan diusung untuk penonton. Komedi yang berasal dari kata  comoedia (bahasa Latin),  commedia (bahasa Italia) berarti lakon yang berakhir dengan kebahagiaan. Lakon komedi seperti halnya lakon tragedi merupakan bagian dari upacara penghormatan terhadap dewa Pallus. Upacara penghormatan ini dilakukan dengan cara melakukan arak-arakan dan memakai kostum setengah manusia dan setengah kambing. Arak-arakan ini menyanyi dan melontarkan kata-kata kasar untuk memancing tertawaan penonton. Menurut Aristoteles lakon komedi merupakan tiruan dari tingkah laku manusia biasa atau rakyat jelata. Tingkah laku yang lebih merupakan perwujudan keburukan manusia ketika menjalankan kehidupan sehingga mampu menumbuhkan tertawaan dan cemoohan sampai terjadi katarsis atau penyucian jiwa (Yudiaryani, 2002). 
Penciptaan lakon komedi bertitik tolak dari perasaan manusia yang memiliki kekuatan, namun manusia tidak sadar bahwa dirinya memiliki daya hidup yang dikelilingi alam semesta. Manusia harus mempertahankan kekuatan dan vitalitas secara utuh terus menerus bahkan harus menumbuhkembangkan untuk mengatasi perubahan alam, politik, budaya maupun ekonomi (Yudiaryani, 2002). Perasaan lemah dalam diri manusia akan mengakibatkan  tidak bisa bertahan terhadap segala perubahan dan tantangan. Untuk menguatkan perasaan itu manusia membutuhkan semacam cermin diri agar tidak ditertawakan oleh yang lain.
Lakon komedi adalah lakon yang mengungkapkan cacat dan kelemahan sifat manusia dengan cara yang lucu, sehingga para penonton bisa lebih menghayati kenyataan hidupnya. Jadi lakon komedi bukan hanya sekedar lawakan kosong tetapi harus mampu membukakan mata penonton kepada kenyataan kehidupan sehari-hari yang lebih dalam (Rendra, 1983). Tokoh dalam lakon komedi ini biasanya adalah orang-orang yang lemah, tertindas, bodoh, dan lugu sehingga identifikasi penonton terhadap tokoh tersebut bisa ditertawakan dan dicemoohkan. Peristiwa mentertawakan tokoh yang dilihat ini sebenarnya mentertawakan kelemahan dan kekurangan yang ada dalam dirinya.
Perkembangan lakon komedi bisa dikategorikan dalam berbagai tipe lakon komedi berdasarkan pada sumber humornya, metode penyampaiannya dan bagaimana lakon komedi itu disampaikan. Ada beberapa tipe lakon komedi berdasarkan alirannya yang patut kita ketahui, misalnya Black Comedy (komedi gelap), lakon komedi ini merujuk pada hal-hal yang meresahkan, misalnya kematian, teror, pemerkosaan, dan perang. Beberapa aliran komedi ini hampir mirip dengan film horor. Selanjutnya, Character Comedy (komedi karakter), lakon komedi ini lebih kepada mengambil humor dari sebuah pribadi yang dicipakan atau dibuat oleh pemeran. Beberapa lakon komedi ini berasal dari hal-hal yang klise.
Lalu, Improvisational Comedy (komedi improvisasi), lakon komedi ini merujuk kepada hal spontanitas, yang tidak terencana dalam pementasannya. Selain itu, Observational Comedy (komedi pengamatan) lakon komedi ini bersumber pada lelucon hidup keseharian dan melebih-lebihkan hal yang sepele menjadi hal yang sangat penting atau mengamati kebodohan, kekonyolan yang ada dalam masyarakat dan berharap itu diterima sebagai sesuatu yang wajar. Ada lagi Physical Comedy (komedi fisik) lakon komedi ini hampir mirip dengan slaptis, dagelan atau lelucon yang kasar. Komedi lebih mengutamakan pergerakan fisik atau gestur. Lakon komedi sering terpengaruh oleh badut. 
Kemudian, Prop Comedy (komedi dengan peralatan) lakon komedi ini mengandalkan peralatan yang tidak masuk akal. Lalu, Surreal Comedy (komedi surealis) adalah lakon komedi yang berdasarkan pada hal-hal yang ganjil, situasi yang absur, dan logika yang tidak mungkin. Sementara, Topical Comedy (komedi topik/satir) adalah lakon komedi yang mengandalkan pada berita utama dan skandal-skandal yang terpenting dan terpilih. Durasi waktu pementasan komedi ini sangat cepat tetapi komedi ini sangat populer. Misalnya talkshow tengah malam. Dan, Wit atau Word Play (komedi intelektual) adalah lakon komedi yang berdasarkan pada kepintaran, dan kecerdasan. Komedi ini seringkali memanipulasi kehalusan bahasa sebagai bahan leluconnya. 
            Dari sekian banyak yang kita baca dan saksikan tentu kita akan terasa akrab dengan penulisnya, yaitu Yusrianto, Yondik Tanto, N. Riantiarno, Darwis Rifai Harahap, Ys. Rat, Ahmad Badren Siregar, Raudah Djambak, Dahri Uhum Nasution, Raswin Hasibuan, Idris Pasaribu, Yulhasni, Suyadi San, dan lain-lain. Termasuk para penulis kelas dunia seperti, Aristophanes :   The Archanians, The Knights, Lysistrata, The Wasps, The Clouds, The Frogs, The Birds. Manander :   Dyscolus, Aspis, Georgo”, Dis exapaton, Epitrepontes, Colax, misumenos, Perikeiromene, Samia, Sicyonios, Heros, Theophoroumene, Kitharistes, Phasma, Orge. Shakespeare :   A Midsummer Night’s Dream, The Comedy Of Errors, dan lain-lain.
            Lalu, terngiang kembali di telinga saya apakah ini penyebab tidak tersosialisasinya drama atau teater di sekolah maupun perguruan tinggi yang katanya mengusung pembentukan karakter itu? Entahlah.

Balasan Janda (Politik) Hom Pim Pah

            Pementasan sore itu cukup membuat beberapa penonton tidak mendapatkan kursi. Suasana horror yang mengantar pertunjukan, mulai dari masuk ke gedung utama sampai keluar gedung utama dengan kibasan-kibasan komedi, cukup berhasil. Tetapi, di sini saya melihat sisi lain dari pertunjukan yang wah, enam kali pertunjukan dengan menyedot ribuan penonton. Saya melihat sisi dagelan politik yang sedang berkembang di negeri ini. Kita ditakut-takuti kemudian kita di ajak tertawa dengan ketakutan kita. Dan begitulah hidup, saya kira. Kita harus mampu menertawakan ketakutan kita.
            Suasana terror dan panggung yang di dominasi dengan warna hitam dan putih, membawa kita ke suasana percaturan hidup yang akan kita jalani. Kesan yang sangat mewah jelas terlihat di sana, bagaimana kita dihantarkan dengan janji-janji politik yang mampu membuat kita terlayang dan melayang.
            Ketakutan pikiran kita muncul yang diwakili oleh karyo dan minten, mantan pembantu yang berhasil membunuh dan merebut harta kekayaan majikannya. Hal itu terjadi karena Tuan Supono dianggap tidak adil dalam pembagian harta kepada ketiga Jandanya. Dalam hal ini janda Hom yang dihadirkan dengan pakaian dominasi warna kuning. Janda Pim dengan dominsi warna merah. Serta janda Pah yang berpakaian dengan dominasi warna hijau.
            Dengan balutan symbol di sana-sini, terkesan sutradara, Raudah Jambak, sangat lihai bermain makna dan simbol dalam menggarap naskah yang   ditulis oleh Ahmad Badren Siregar. Disadari atau tidak oleh seluruh perangkat pertunjukan, yang jelas saya melihat bagaimana percaturan politik yang terjadi di negeri ini. Menghadirkan ketakutan, kecemasan, rasa curiga-mencurigai, hujat-menghujat, yang pada akhirnya diajak bersama-sama untuk serentak menertawai kealpaan diri sendiri. Bukankah mudah memaafkan dan melupakan adalah peristiwa yang mampu menggelitik urat gelak kita. Begitulah politik.
            Lalu, setelah kecemasan kita sebagai rakyat diwakili oleh karyo dan minten. Ternyata kita hanya sebentar menikmati kebahagiaan itu. Termasuk, ketika seorang dukun yang bergelar magister perdukunan pun tak sanggup menghadang pembalasan dari ketiga janda ini yang kemudian diperkuat dengan warna-warna kecil yang beragam, menempel dipakaian mereka.
            Peristiwa ini seakan memberi pesan kepada kita, bahwa perahu politik yang di bawa ternyata tidak hanya satu warna. Dan tidak pula membawa kepentingan rakyat. Tetapi, justru membawa kepentingan golongan-golongan tertentu. Selanjutnya, peristiwa demi peristiwapun mengalir di atas panggung politik Hom Pim Pah. Kembali dengan segala siasat, terror dan mengajak kembali menertawai diri sendiri. Sejenak mengajak mari memaafkan dan melupakan.

Kesimpulan

            Begitupun, rakyat tetap mengharapkan turunnya ratu adil. Ratu adil diharapkan mampu memberikan penawaran. Penengah bagi terjadi ketidakberdayaan, kecemasan, dan dendam yang berlarut-larut. Maka, turunlah tuan Supono. Awalnya, Tuan Supono dicurigai justru akan berpihak kepada ketiga jandanya. Walaupun sempat terjadi adu kesaktian dengan dukun yang tamat dari magister perdukunan dengan dasar membela yang lemah. Dukun yang sempat berhasil mengalahkan ketiga janda, akhirnya kalah di tangan Tuan Supono. Ketakutan itu ternyata tidak terjadi karena Tuan Supono memberi pesan, bahwa tidak ada gunanya membalas dendam. Harta benda itu sekarang sudah milik Karyo dan Minten (Rakyat), pergunakanlah sebaik-baiknya. Persoalannya adalah apakah kita (rakyat) akan menemukan sosok Supuno (Ratu Adil) ditengah kericuhan dagelan pentas politik yang diusung pertunjukan Komedi Horor Balasan Janda Hom Pim Pah ini? Yah, semoga, tergantung bagaimana kita menyikapinya.


Penulis dosen Bahasa dan Sastra Universitas Pembangunan Panca Budi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar