Oleh : Tina Aprida Marpaung
Komedi Tidak Serius?
Beberapa waktu
yang lalu, setelah pementasan Komedi Horor Balasan Janda Hom Pim Pah kelanjutan
dari pementasan Komedi Balada Janda Hom Pim Pah di Gedung Utama Taman Budaya
Sumatera Utara, yang diusung Sanggar Kursi bekerjasama dengan Komunitas Home
Poetry, Teater LKK Unimed, dan Sanggar music Metronom, saya dan beberapa orang
teman yang berasal dari kalangan dosen di beberapa perguruan tinggi berkumpul
selesai pementasan. Awal pembicaraan masih seputar pementasan yang berbau pro
dan kontra. Tetapi yang menariknya adalah salah seorang teman saya yang
kebetulan dosen berujar datar. Katanya, pementasan komedi itu tidak serius.
Saya sontak kaget. Di tambah lagi dengan kalimat itukan hanya dagelan politik.
Wah! Kekagetan saya dikarenakan yang berbicara itu notabene adalah seorang
dosen yang kebetulan mengasuh mata kuliah telaah drama. Saya mencoba
menyelidiki lebih lanjut apakah ketidakseriusan yang dimaksud secara tersirat
atau tersurat. Akhirnya, setelah tahu yang dimaksud saya hanya mengatakan
berarti pekerjaan mereka sia-sia. Mereka terdiam.
Terbayang kembali
di benak saya beberapa kelompok teater yang sempat saya saksikan pementasannya,
seperti Teater Kartupat, Teater ‘O’, Teater Anak Negeri, Teater Siklus, Teater
Patria, D’Lick Teater Team, Teater Generasi, Teater Blog, dan beberapa kelompok
teater yang lainnya. Saya berfikir dan yakin bahwa mereka tentu tidak akan
berfikir melakukan pekerjaan yang sia-sia. Bayangkan saja dengan waktu latihan
yang cukup menyita, artisitik yang sedemikian rupa dan termasuk bagaimana
menghadirkan penonton yang tidak sedikit. Bagi saya ini serius dan sangat
serius. Pun, bukankah membuat penonton terpingkal-pingkal itu pekerjaan yang
mudah?
Seperti yang
selama ini saya fahami, bahwa komedi itu serius. Ia membawa penonton kepada
akhir yang bahagia, tanpa melupakan pesan yang akan diusung untuk penonton. Komedi
yang berasal dari kata comoedia (bahasa Latin), commedia (bahasa
Italia) berarti lakon yang berakhir dengan kebahagiaan. Lakon komedi seperti
halnya lakon tragedi merupakan bagian dari upacara penghormatan terhadap dewa
Pallus. Upacara penghormatan ini dilakukan dengan cara melakukan arak-arakan
dan memakai kostum setengah manusia dan setengah kambing. Arak-arakan ini
menyanyi dan melontarkan kata-kata kasar untuk memancing tertawaan penonton.
Menurut Aristoteles lakon komedi merupakan tiruan dari tingkah laku manusia
biasa atau rakyat jelata. Tingkah laku yang lebih merupakan perwujudan keburukan
manusia ketika menjalankan kehidupan sehingga mampu menumbuhkan tertawaan dan
cemoohan sampai terjadi katarsis atau penyucian jiwa (Yudiaryani, 2002).
Penciptaan lakon komedi bertitik tolak dari
perasaan manusia yang memiliki kekuatan, namun manusia tidak sadar bahwa
dirinya memiliki daya hidup yang dikelilingi alam semesta. Manusia harus
mempertahankan kekuatan dan vitalitas secara utuh terus menerus bahkan harus
menumbuhkembangkan untuk mengatasi perubahan alam, politik, budaya maupun
ekonomi (Yudiaryani, 2002). Perasaan lemah dalam diri manusia akan
mengakibatkan tidak bisa bertahan terhadap segala perubahan dan
tantangan. Untuk menguatkan perasaan itu manusia membutuhkan semacam cermin
diri agar tidak ditertawakan oleh yang lain.
Lakon komedi adalah lakon yang mengungkapkan cacat dan kelemahan
sifat manusia dengan cara yang lucu, sehingga para penonton bisa lebih
menghayati kenyataan hidupnya. Jadi lakon komedi bukan hanya sekedar lawakan
kosong tetapi harus mampu membukakan mata penonton kepada kenyataan kehidupan
sehari-hari yang lebih dalam (Rendra, 1983). Tokoh dalam lakon komedi ini
biasanya adalah orang-orang yang lemah, tertindas, bodoh, dan lugu sehingga
identifikasi penonton terhadap tokoh tersebut bisa ditertawakan dan
dicemoohkan. Peristiwa mentertawakan tokoh yang dilihat ini sebenarnya
mentertawakan kelemahan dan kekurangan yang ada dalam dirinya.
Perkembangan lakon komedi bisa dikategorikan
dalam berbagai tipe lakon komedi berdasarkan pada sumber humornya, metode
penyampaiannya dan bagaimana lakon komedi itu disampaikan. Ada beberapa tipe
lakon komedi berdasarkan alirannya yang patut kita ketahui, misalnya Black
Comedy (komedi gelap), lakon komedi ini merujuk pada hal-hal yang meresahkan,
misalnya kematian, teror, pemerkosaan, dan perang. Beberapa aliran komedi ini
hampir mirip dengan film horor. Selanjutnya, Character Comedy (komedi
karakter), lakon komedi ini lebih kepada mengambil humor dari sebuah pribadi
yang dicipakan atau dibuat oleh pemeran. Beberapa lakon komedi ini berasal dari
hal-hal yang klise.
Lalu, Improvisational Comedy (komedi
improvisasi), lakon komedi ini merujuk kepada hal spontanitas, yang tidak
terencana dalam pementasannya. Selain itu, Observational Comedy (komedi
pengamatan) lakon komedi ini bersumber pada lelucon hidup keseharian dan
melebih-lebihkan hal yang sepele menjadi hal yang sangat penting atau mengamati
kebodohan, kekonyolan yang ada dalam masyarakat dan berharap itu diterima
sebagai sesuatu yang wajar. Ada lagi Physical Comedy (komedi fisik) lakon komedi
ini hampir mirip dengan slaptis, dagelan atau lelucon yang kasar. Komedi lebih
mengutamakan pergerakan fisik atau gestur. Lakon komedi sering terpengaruh oleh
badut.
Kemudian, Prop Comedy (komedi dengan peralatan)
lakon komedi ini mengandalkan peralatan yang tidak masuk akal. Lalu, Surreal
Comedy (komedi surealis) adalah lakon komedi yang berdasarkan pada hal-hal yang
ganjil, situasi yang absur, dan logika yang tidak mungkin. Sementara, Topical
Comedy (komedi topik/satir) adalah lakon komedi yang mengandalkan pada berita
utama dan skandal-skandal yang terpenting dan terpilih. Durasi waktu pementasan
komedi ini sangat cepat tetapi komedi ini sangat populer. Misalnya talkshow
tengah malam. Dan, Wit atau Word Play (komedi intelektual) adalah lakon
komedi yang berdasarkan pada kepintaran, dan kecerdasan. Komedi ini seringkali
memanipulasi kehalusan bahasa sebagai bahan leluconnya.
Dari
sekian banyak yang kita baca dan saksikan tentu kita akan terasa akrab dengan
penulisnya, yaitu Yusrianto, Yondik Tanto, N. Riantiarno, Darwis Rifai Harahap,
Ys. Rat, Ahmad Badren Siregar, Raudah Djambak, Dahri Uhum Nasution, Raswin
Hasibuan, Idris Pasaribu, Yulhasni, Suyadi San, dan lain-lain. Termasuk para
penulis kelas dunia seperti, Aristophanes :
The Archanians, The Knights, Lysistrata, The Wasps, The Clouds, The Frogs, The
Birds. Manander : Dyscolus, Aspis, Georgo”, Dis exapaton, Epitrepontes,
Colax, misumenos, Perikeiromene, Samia, Sicyonios, Heros, Theophoroumene,
Kitharistes, Phasma, Orge. Shakespeare : A Midsummer Night’s Dream, The
Comedy Of Errors, dan lain-lain.
Lalu, terngiang kembali di telinga saya apakah ini
penyebab tidak tersosialisasinya drama atau teater di sekolah maupun perguruan
tinggi yang katanya mengusung pembentukan karakter itu? Entahlah.
Balasan Janda (Politik) Hom Pim Pah
Pementasan sore itu cukup membuat beberapa penonton tidak
mendapatkan kursi. Suasana horror yang mengantar pertunjukan, mulai dari masuk
ke gedung utama sampai keluar gedung utama dengan kibasan-kibasan komedi, cukup
berhasil. Tetapi, di sini saya melihat sisi lain dari pertunjukan yang wah,
enam kali pertunjukan dengan menyedot ribuan penonton. Saya melihat sisi
dagelan politik yang sedang berkembang di negeri ini. Kita ditakut-takuti
kemudian kita di ajak tertawa dengan ketakutan kita. Dan begitulah hidup, saya
kira. Kita harus mampu menertawakan ketakutan kita.
Suasana terror dan panggung yang di dominasi dengan warna
hitam dan putih, membawa kita ke suasana percaturan hidup yang akan kita
jalani. Kesan yang sangat mewah jelas terlihat di sana, bagaimana kita
dihantarkan dengan janji-janji politik yang mampu membuat kita terlayang dan
melayang.
Ketakutan pikiran kita muncul yang diwakili oleh karyo
dan minten, mantan pembantu yang berhasil membunuh dan merebut harta kekayaan
majikannya. Hal itu terjadi karena Tuan Supono dianggap tidak adil dalam
pembagian harta kepada ketiga Jandanya. Dalam hal ini janda Hom yang dihadirkan
dengan pakaian dominasi warna kuning. Janda Pim dengan dominsi warna merah.
Serta janda Pah yang berpakaian dengan dominasi warna hijau.
Dengan balutan symbol di sana-sini, terkesan sutradara,
Raudah Jambak, sangat lihai bermain makna dan simbol dalam menggarap naskah
yang ditulis oleh Ahmad Badren Siregar.
Disadari atau tidak oleh seluruh perangkat pertunjukan, yang jelas saya melihat
bagaimana percaturan politik yang terjadi di negeri ini. Menghadirkan
ketakutan, kecemasan, rasa curiga-mencurigai, hujat-menghujat, yang pada
akhirnya diajak bersama-sama untuk serentak menertawai kealpaan diri sendiri.
Bukankah mudah memaafkan dan melupakan adalah peristiwa yang mampu menggelitik
urat gelak kita. Begitulah politik.
Lalu, setelah kecemasan kita sebagai rakyat diwakili oleh
karyo dan minten. Ternyata kita hanya sebentar menikmati kebahagiaan itu.
Termasuk, ketika seorang dukun yang bergelar magister perdukunan pun tak
sanggup menghadang pembalasan dari ketiga janda ini yang kemudian diperkuat
dengan warna-warna kecil yang beragam, menempel dipakaian mereka.
Peristiwa ini seakan memberi pesan kepada kita, bahwa
perahu politik yang di bawa ternyata tidak hanya satu warna. Dan tidak pula
membawa kepentingan rakyat. Tetapi, justru membawa kepentingan
golongan-golongan tertentu. Selanjutnya, peristiwa demi peristiwapun mengalir
di atas panggung politik Hom Pim Pah. Kembali dengan segala siasat, terror dan
mengajak kembali menertawai diri sendiri. Sejenak mengajak mari memaafkan dan
melupakan.
Kesimpulan
Begitupun, rakyat tetap mengharapkan turunnya ratu adil.
Ratu adil diharapkan mampu memberikan penawaran. Penengah bagi terjadi
ketidakberdayaan, kecemasan, dan dendam yang berlarut-larut. Maka, turunlah
tuan Supono. Awalnya, Tuan Supono dicurigai justru akan berpihak kepada ketiga
jandanya. Walaupun sempat terjadi adu kesaktian dengan dukun yang tamat dari magister
perdukunan dengan dasar membela yang lemah. Dukun yang sempat berhasil
mengalahkan ketiga janda, akhirnya kalah di tangan Tuan Supono. Ketakutan itu
ternyata tidak terjadi karena Tuan Supono memberi pesan, bahwa tidak ada
gunanya membalas dendam. Harta benda itu sekarang sudah milik Karyo dan Minten
(Rakyat), pergunakanlah sebaik-baiknya. Persoalannya adalah apakah kita
(rakyat) akan menemukan sosok Supuno (Ratu Adil) ditengah kericuhan dagelan
pentas politik yang diusung pertunjukan Komedi Horor Balasan Janda Hom Pim Pah
ini? Yah, semoga, tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Penulis
dosen Bahasa dan Sastra Universitas Pembangunan Panca Budi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar