Jumat, 04 April 2014

SASTRA DI SUMATERA UTARA

D. Rifai Harahap

Karya sastra di Sumatera Utara, belum menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri. Berbeda dengan cerita bergambar yang ditulis dan di gambar oleh Taguan Hardjo, Zam Nuldyn, Bahtar Sy, Djas dan beberapa nama lainnya . 

Sastra dalam cerita bergambar, memang beda dengan karya sastra dalam bentuk cerita pendek, novel dan roman. Penulis tidak menyamakan karya cerita gambar dengan karya cipta sastra yang meliputi puisi, cerpen, dan novel.

Dalam cerita gambar, memang ada teks sebagai pengiring gambar. Ada balon percakapan dan ada narasi singkat untuk memperkuat gambar. Keberhasilan tokoh yang berjaya di tahun 50-an dan 60-an itu, sepertinya tak akan terulang lagi di era serba digital sekarang ini.

Cerita gambar karya-karya pelukis cergam asal Sumatera Utara tidak saja merambah Sumatera Utara. Karya-karya bergambar pelukis yang nama-namanya kita sebutkan di atas tadi sempat dijadikan acuan oleh pelukis-pelukis cergam asal pulau Jawa, seperti Ganes TH, Yan Mintaraga yang karya-karya mereka telah banyak difilmkan, mengaku berguru dari karya-karya Taguan Hardjo.

Nama besar Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sutan Takdir Alisyahbana, Asrul Sani, Armin Pane dan yang lainnya, semua asal Sumatera Utara, nama besar mereka masih jadi sebutan sampai sekarang ini.

Kebesaran Taguan Hardjo, Zam Nuldyn memang tidak sebesar Chairil dan Amir Hamzah. Karya-karya Taguan Hardjo dan Zam Nuldyn tenggelam begitu saja di makan zaman. Generasi sekarang tak lagi mengenal nama-nama seniman yang penulis sebutkan. Kebesaran mereka sebagai pelukis cerita gambar, tergilas habis oleh karya-karya pelukis muda dari pulau Jawa dan sekarang ini. Cerita-cerita gambar impor, apalagi yang datangnya dari Jepang, menggilas habis karya-karya pelukis dalam negeri.

Karya sastra serius sekarang ini, sepertinya tak jauh beda dengan nasib sastra begambar. Sulit untu kembali menjadi tuan di kampung halaman sendiri. Sastra picisan ditahun-tahun 50-an cukup tersohor walau sebutan ‘picisan’ adalah sebutan yang sebenarnya bernada sinis dengan karya-karya yang ada di masa itu. Sastra picisan memang tidak dapat kita samakan dengan karya-karya pengarang dari Sumatera Barat yang melahirkan roman seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan dan Layar Terkembang. 

Sastra picisan buah karya pengarang Sumatera Utara itu, sampai kini tetap menjadi pembicaraan peneliti sastra baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri. Sumatera Utara tidak cuma Batak, Karo, Simalungun dan Melayu sebagai suku-suku yang ada di Sumatera Utara. Delapan suku bangsa yang ada di Sumatera Utara memiliki cabang-cabang seni dan bahasanya yang khas.

Masuknya gerak tari Melayu ke dalam tari Minang, karena adanya peluang dari bahasa Melayu sebagai lingua franca di Nusantara, sehingga unsur-unsur ke – Melayuan terbawa serta , dikarenakan tari Melayu Serampang 12 pernah dinobatkan sebagai “Tari Nasional” pada decade tahun 1950-1960-an.

Tidak demikian dengan karya sastra walau Chairil Anwar, Amir Hamzah, Armijn Pane, berhasil memacakkan karya-karya mereka, menjadi milik bangsa Indonesia. Karya-karya mereka tetap disebut sebagai karya sastra pengarang Indonesia.

Beda dengan Wilem Iskander. Putra Mandailing yang berkesempatan mengenyam pendidikan sampai kenegeri Belanda. Karya-karya Wilem Iskander yang nama kecilnya adalah Sutan Sati itu, tetap mengingatkan saudara-saudaranya di tanah Mandailing agar tidak bodoh dan terus belajar dan belajar.

Beda dengan Amir Hamzah yang bangsawan Melayu Langkat. Di Langkat Amir Hamzah tidak begitu popular sebagai sastrawan pejuang. Malah nasibnya sungguh tragis. Bangsawan Melayu yang dinobatkan sebagai Raja Penyair itu, harus mati ditangan algojo, karena dianggap sebagai raja yang berpihak kepada penjajah Belanda.

Willem Iskander yang disekolahkan ke negeri Belanda dan meninggal dunia dinegeri yang menjajah tanah kelahirannya, Mandailing, perjuangannya sebagai seniman pendidik. Jerih payah Willem Iskander, masih tetap dihargai oleh saudara-saudaranya di Tano Bato. Dia dinobatkan sebagai pionir pendidikan bumiputra.

Di tahun 50-an sampai 60-an, tersebut nama Iwan Simatupang sebagai pembaharu ‘prosa’ Indonesia di zamannya. Novel yang dia ciptakan tidak banyak. Setelah Chairil Anwar dan Amir Hamzah, karya-karya Iwan Simatupang yang anak Sibolga, Sumatera Utara dari kawasan Tapanuli Tengah itu, banyak dibahas oelh penulis-penulis ternama di Jakarta. Termasuk Paus sastra Indonesia HB Yasin.

Novel yang beri judul ‘Merahnya Merah’ 1968, ‘Ziarah’ 1969, ‘Kering’ 1972, diterbitkan PT..Gunung Agung. Iwan Simatupang sudah dipanggil Khaliknya. Iwan meninggal 4 Agustus 1970. Iwan adalah penulis generasi majalah Siasat, Siasat Baru, Zenith, Mimbar Indonesia dan Sastra. Kesemua majalah itu sudah tidak terbit lagi.

Ketiga novel Iwan itu berhasil memancing kritikan dari HB. Yasin, Gayus Siagian, Alfons Triadi, Wing Kardjo, Umar Yunus, Henri Chamber –Loir dan Gunawan Mohammad. Kritikan buat Iwan macam-macam. Ada yang memuji, ada yang sinis dan ada yang menaruh harapan dengan mengatakan, di manakah tempat tiga novel Iwan Simatupang di dalam kesusastraan Indonesia Mutahkir?

Kebesaran Iwan Simatupang sebagai sastrawan yang berasal dari Sumatera Utara memang menarik untuk dikaji sampai kapanpun. Masih adakah di toko-toko buku, tiga novel Iwan Simatupang yang irrasionil itu? 

Kini abad serba digital. Penulis-penulis muda terus bermunculan dan tenggelam. Yang tenggelam karena tak mampu bersaing. A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud, Ali Sukardi, Maulana Samsuri, Aldian Arifin, masih terus bekarya walau usia mereka telah diatas enam puluh lima tahun.

Cerpenis Lahmuddin Mane telah tiada. Profesor sastra kita Ahmad Samin Siregar juga telah menghadap Khaliknya. Generasi sastra Sumatera Utara, dari angkatan Choking Susilo Sakeh, Sugeng Satya Darma, Jaya Arjuna, mulai berangkat tua. Kini muncul nama-nama sastrawan muda seperti Hasan Albana, Raudah Jambak, Idris Siregar, 

Muram Batu, Rizlan Effendi dan banyak lagi yang lainnya, adalah nama-nama yang tak asing lagi di Sumatera Utara, bila kita membuka lembaran ‘budaya’ surat kabar yang ada di Sumatera Utara. Mampukah karya-karya mereka berbicara di khazanah sastra Indonesia?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar