Mbirokateya
Oleh M. Raudah Jambak
M
|
birokateya memegangi perutnya. Peluh mengucur
deras dari dahi dan sekujur tubuhnya. Ia masih teringat pesan Ma. Perasaan
menyesal seperti tiada guna, pikirnya. Ketika itu Ma hendak mengajaknya ke bevak di tengah hutan. Sebenarnya Ma harus sendiri,
sebab itu memang sudah ketentuan adat. Tetapi, Ma sengaja mengajaknya diam-diam
agar ia cepat mengerti tentang keberadaan perempuan di kampungnya.
Angin berhembus pelan. Ranting-ranting
pepohonan saling bergesekan. Awan tipis menutupi matahari yang perlahan
merangkak. Bias cahaya di langit membentuk sebuah pantulan berjuta kilau
permata sejauh mata memandang.
Waktu fajar mulai menyingsingkan auranya
menyinari seluruh kebekuan alam semesta. Mbirokateya ingat dengan apa yang
dilakukan Ma, sebelum mengajaknya menuju bevak, memulai
rutinitas sebagai perempuan, sebagai ibu.
Setiap kali bangun pagi selalu saja ada
makanan di dapur.
Makanan yang dibungkus rapi dilipat daun pisang yang dipetik Ma setiap sore di
kebun belakang atau menikmati ulat manggia atau koo, yang sudah dipanen dari
sisa tebangan pohon sagu yang telah dipangkur sekitar dua minggu sebelumnya.
Koo itu dimasukkan dalam bekal sagu yang telah dibulatkan seperti bola lalu dibakar.
Tubuh koo akan melumer. Rasanya sangat gurih dan legit! Bagian kepala koo yang
renyah berasa popcorn. Kebun itu adalah tempat Ma menumpahkan
hari-harinya, sambil merasakan segarnya batang tebu atau buluh bambu dan
melesapi gula-gula. Ma senang bercocok tanam. Ma senang melakukan tugas itu
sebagai perempuan yang merdeka. Menanam benih dan menunggu hasilnya, sampai
waktu panen tiba.
Makanan tersebut dibagi menjadi dua. Satu
buat bekal dan yang lainnya sekadar sarapan seadanya antara Mbirokateya dan Ma.
Sehabis makan mereka segera berangkat diam-diam, menyisir perjalanan sepanjang
hutan.
Hutan inilah rumah sebenarnya bagi mereka.
Berdinding belantara. Tempat kelahiran dan kematian. Hitungan ratusan tahun
mereka diami tempat ini. Menghirup segala. Hidup kan segala. Menyatu dengan
segala. Bermain dengan angin, dengan akar pepohonan, dengan semak belukar.
Anak-anak, kaum perempuan, dan para lelaki telah terbiasa melukis kelam.
Berpeluk pengab raya.
Lingkaran api biasa mereka sulam pada
malam. Memetik kerdipan bintang. Menjaring bulan. Mengunyah pituah para tetua.
Menebalkan tambalan sejarah pada jiwa-jiwa. Dan sesekali menyemai tawa.
Sesekali menuai duka ketika memamah sihir kata bak pujangga. Pada akhir sulaman
cerita, gederap sukacita menuntun mimpi-mimpi menyambut pagi.
Gubug-gubug mereka adalah pepohonan yang
bernyanyi. Seolah laut yang berpantai damai. Seperti dermaga sebagai
tempat penumpah lelah sehabis memerah tubuh-tubuh basah. O, betapa hidup dari
waktu ke waktu selalu mengelus berkah.
Kegelapan inilah selimut hangat yang
gemerlap. Mata hati adalah sebilah pisau tajam yang selalu terasah. Kelam
bukanlah jaring-jaring perangkap yang membekap, tapi ia tapak-tapak kaki yang
selalu mengatur jarak. Menancapkan jejak. Mereka tahu arah melangkah ke mana hendak berpijak. Pulang dan pergi tak selalu bergantung pada matahari.
Tak pula menunggu tuntunan bulan. Bukan menafikkan ciptaan Tuhan. Tapi, justru
dengan gelap dan kelam anugerah itu didapatkan.
Berjalan dan berlari seringan hembusan
angin menembus belukar dan semak berduri. Segala telah tersedia dalam rentang
waktu yang tak dapat dihitung dengan rumusan angka-angka. Segala telah terjaga
dengan aturan adat yang paling beradab. Amboi, masa-masa gemilang itu perlahan
di gebuk gelombang. Menusukkan amuk, remuk.
Mbirokateya diam. Ia merasa tidak punya
cerita menarik pengganti kekakuan perjalanan. Berbeda dengan Ma, Ma sosok
perempuan yang gigih, pantang menyerah dan penyabar. Walau terkadang agak
sedikit egois dan keras juga. Itu perlu dimaklumi jika dikaitkan dengan masa Ma
di waktu muda. Aktif menyerukan kemanusiaan. Antara kecintaan orangtua, kampung
dan kebebasan perempuan menjadi titik utama perjuangannya, bersama teman-teman
seangkatan mereka yang berasal dari luar kampung, bahkan ada berasal dari luar
pulau, dan luar negara.
“Engkau tahu? Bunga bakung berwarna merah,
bentuknya indah? Begitulah perempuan. Parasnya bak kembang. Merahnya laksana
hati. Dan kau tahu bunga keris papua? Itulah kita yang
sebenarnya,” ujar Ma.
Dia hanya diam. Pikirannya hanya diselimuti
cemas. Cemas melihat kondisi Ma. “Kau
tahu, sali
yang masih menjaga kehormatan keperempuanan kita, menghadang segala
kejahatan yang berasal dari balik koteka kaum lelaki, di antara bidang telanjang
dada mereka. Ketelanjangan kita, ketelanjangan yang terhormat. Ruas tulang yang
meninggalkan bentuk dari kulit yang tipis dan hitam, bergerigi, di dada
perempuan kampung kita yang membusung. Kehitaman anak-anak di kampung kita
adalah kehitaman yang bersahaja. Mulai dari kaki sampai wajah. Rambut gimbal bergulung
adalah gelombang yang tertahan dan siap dilontarkan. Perut anak-anak kampung
kita yang menyimpan dan menjaga kesejarahan, membusung. Tulang punggung yang
menonjol, pertanda kekuatan yang mengagumkan. Tidak ada keinginan mereka untuk mengenal bangku sekolah. Mereka hanya mengenal tanah berpijak.
Bergelut dengan lumpur. Berlari menaklukkan bukit, dan merambah ke sudut hutan
yang paling sunyi. Apalagi yang dapat kita jaga selain kehormatan keperempuanan
kita. Menghempang dari segala kebengisan
hutan. Dan laki-laki hanya menyibukkan diri bersetubuh dengan nira kelapa.
Sibuk memeluk asyik-masyuk alkohol, dan kebiasaan mereka berperang. Tembakau
kecintaan bagi laki-laki, menghempang dari kebiasaan mereka berperang,
kebiasaan mereka mengayau, syukur adalah kata yang patut
diagungkan. Laki-laki dianggap lemah, jika mereka tak bisa melesatkan panahnya
ke jantung musuh. Tak mampu menebas leher. Apalagi menganut kepalanya di
tangan, maka mereka tidak akan dihormati lagi, Mbirokateya! Apalagi yang kita
punya selain kehormatan? Maka, kita harus terus menjaga kehormatan perempuan di
kampung kita, Mbirokateya. Harus!”
Mbirokateya masih membisu. “Laksana beyor atau burung nuri. Bagaikan ir atau kakaktua putih. Itulah perempuan kampung kita. Dengan
ukiran motif paruh burung sebagai hiasan kepala yang tergambar. Nenek moyang
kita tidak sekadar menancapkan simbol untuk perempuan itu di atas kepala dan para lelaki tidak pernah mau tahu tentang itu. Kau tahu,
Mbirokateya? Hal itu harus tetap dijunjung tinggi. Dan sekarang, lihatlah
dengan matamu sendiri. Betapa perempuan kita dikucilkan. Perempuan kita
terasing dari emansipasi. Mereka tidak
mengerti persamaan hak atas lelaki. Tidak mengerti kesetaraan gender. Dibelit
adat masa lalu. Lelaki yang tidak ada kesempatan untuk berperang dan mengayau, merampas hak tanah atas hutan sagu dan babi.
Lelaki hanya mengukir patung saja, sebagai pekerjaan pengganti. Perempuan
adalah perempuan yang peranannya tak lebih dari urusan seputar rumah. Peran
istri yang bukan menjadi tanggung jawab suami. Ketuaan wajah perempuan selalu
melampaui lelaki. Rombak adalah kata yang pantas diwujudkan. Sistem budaya
feodal model ini yang harus diperbaharui. Perempuan juga manusia, Mbirokateya!
Punya keinginan untuk mencintai dan dicintai, seperti halnya lelaki. Itu harus
diwujudkan, Mbirokateya!? Harus!”
Mbirokateya terkesiap. Terkejut. Perasaan
bersalah itu selalu menghantui. Kata-kata Ma, yang sempat ikut orang luar, dalam kegiatan LSM, seperti
membekas, berkarat. Apa yang sekarang ini dialaminya cukup tidak adil. Ia
setuju dengan apa yang dikatakan Ma.
Ma selalu memikirkan segalanya. Memikirkan
keperluan rumah tangga, terutama untuk anak-anaknya. Dan Mbirokateya merasa
seperti diperlakukan istimewa. Ma pun tidak malu mencari upahan sampai jauh ke
kota. Bekerja apa saja. Dari upah sedemikian rupa ia tidak lupa untuk
menyisihkan sebagian uangnya, di tempat yang paling rahasia, sebuah potongan
bambu berlubang di tiang penyangga honai.
***
Senja bersama sinarnya yang kemerah-merahan
menyapa di bilik teras dan rumah kelabu. Masa lalu itu terus saja melintas.
Ketika itu Ma duduk dekat daun pintu, sedang Mbirokateya bermain-main sebisa
mungkin apa yang membuat hati riang.
"Mbirokateya ke sini sebentar!” Ma
berseru. ”Jangan sering bermain, kapan kamu akan
belajar? Lekas ambil buku yang diajari gurumu di sekolah lalu duduklah di
sampingku!” Dengan rasa kesal Mbirokateya segera mengambil buku di dalam tas
dan berpura-pura membacanya sambil sedikit berkomat-kamit namun hatinya tak
dapat dibohongi bahwa seusianya selalu saja ingin bermain-main.
"Belajarlah yang rajin agar kelak kamu
jadi orang pintar tidak seperti perempuan-perempuan di kampung kita,” Ma menambahkan. Suaranya terlintas manja bertanya pada Mbirokateya. ”Jika
sudah besar nanti apakah gerangan yang kamu cita-citakan?”
”Guru!”
”Kenapa?” Sambil mengerutkan jidatnya yang
memang sudah keriput.
”Kan enak, bisa membagi ilmu buat siapa
saja. Bapak mungkin akan senang.”
”Bapakmu tidak akan kembali lagi karena dia
telah memelihara burung merpati di sangkar lain?” Hanya itu yang keluar dari
mulut Ma. Mbirokateya tak pernah tahu. Ia benar-benar tidak mengerti bapak di
manakah rimbanya.
Sehabis bicara seperti itu, getar kian
terasa. Dengan sigap Ma langsung menyergap Mbirokateya membekapnya dalam
dekapan, memeluk erat diketiaknya. Tanpa sengaja tiba-tiba airmatanya meleleh
jatuh di halaman buku yang masih terpegang. Entah apa yang telah terucapkan
tadi sehingga membuat Ma menangis terisak-isak dan membawa nya larut dengan
suasana yang semakin membingungkan. Suasana Itu berlangsung agak lama sampai
tak tahu waktu mulai mengguratkan kelam perlahan.
Alunan suara alam bersenandung di gendang
telinga menyadarkan ingatan. Senja sengaja ditutupi halimun yang beraroma
dingin mencolek tubuh yang gagap bersama waktu. Secuil harapan dikemudian hari
merengkuh bagai sembilu untuk mempertaruhkan hidup dimasa tua bertarung sendiri
demi hidup yang semakin terhimpit. Tentunya dalam nadinya tersebar memuat
getaran-getaram yang keluar dari batinnya ialah untuk anak dan keutuhan
keluarga.
Selama itukah Ma dan Mbirokateya harus
berkisah. Tentang hidup yang harus selalu di perjuangkan tanpa beban bukan
semata-mata dijalankan.
"Bukan lantaran nasib, tidak lebih.
Kesabaran dalam memilih dan keteguhan sebagai manusia yang tabah adalah tameng
yang kuat. Mungkinkah hanya hidup begini atau karena ditinggalkan seseorang
kita harus menyerah. Alangkah naif manusianya.”
Begitulah Ma menggunakan sisa-sisa hidupnya
yang sering ditunggui waktu. Kini aku berada sendiri di sini meniti kedewasaan
berbaur bersama suaranya dengan bayang nya pula.
***
“Mbirokateya, Anakku! Perempuan harus
dimanusiakan? Lelaki selalu tega
mem-biarkan seorang perempuan merambah hutan. Tidak perduli melihat
perempuan men-dayung perahu sendirian. Termasuk memangur sagu atau menjaring
ikan. Padahal semua untuk keluarga. Jika bersisa dijual di pasar. Lelaki hanya
menghabiskan uangnya untuk sekadar membeli rokok. Perempuan tidak boleh berdiam
diri, dengan tidak melakukan pekerjaan itu. Jika tidak, tombak, panah, atau apa
saja siap dihunuskan lelaki yang bisa menakuti segala kelemahan perempuan.”
Perempuan hanya punya airmata pada
akhirnya. Seorang ibu yang tak memiliki kekuatan apa-apa.
Sebagai anak tertua kau pun hanya bisa meringkuk. Adikmu hanya bisa memecahkan
tangisnya, bersebab melihat lelaki yang mendaulat diri sebagai bapak menghantamkan benda tumpul ke kepala ibu
kalian. Raungan pun tidak pernah diperdulikan, ketika kaki lelaki itu menendang
perut perempuan meskipun sedang membuncit. Meskipun sedang hamil. Jangankan
berlari, mengangkat kaki untuk sekedar meminum air mentah di dapur pun sudah tak mampu. Lalu pingsan, dan darah mengalir dari liang, bersebab
orok keluar dari rahim, serta tali plasenta melingkar
terlihat keluar.
Tetapi lelaki yang mengaku bapak itu malah
menjerit kehilangan nyali, honai segera ditinggalkan, darah yang berceceran
merupakan pantangan. Bukan keguguran dan jatuh pingsan yang
menjadi persoalan. Katanya bisa menimbulkan penyakit dan kematian, apalagi membasahi lantai honai. Darah
kehamilan harus ditumpahkan di dalam bevak di tengah hutan, sendiri. Di sinilah kita
akhirnya menyimpulkan, bahwa kemanusiaan sebagai hak kaum perempuan telah lama
dibumihanguskan, Mbirokateya! Perempuan adalah manusia yang terpinggirkan.
Jangankan sekadar bermain lumpur atau berenang di sungai. Menikmati titik
rintik hujan turun saja harus bersiap dibantai. Perempuan adalah penunggu
dapur.
Mengimpikan sekolah mengharuskan kita
menjadi punguk merindukan bulan. Sekolah dianggap tempat untuk membuang segala
waktu yang lebih berharga. Padahal, meskipun sudah lapuk sekolah adalah gawang
untuk mengubah nasib. Nasib kaum perempuan. Ternyata,
langkah kita langkah yang itu ke itu juga. Kita berjalan di tempat. Pada
akhirnya kita yang harus berjuang sendiri. Jangan terlalu berharap kita dapat
memperjuangkan orang lain. Sebab kita masih di bawah kekuasaan otoriter kaum lelaki. Terutama tatkala mereka memperlakukan kita lebih
hina dari seekor hewan.
Mbirokateya bersyukur dalam hati, ketika
Ma membandingkan dirinya dengan Ma di saat masih muda. Kulitnya lebih halus
dibanding Ma, ketika seumurnya. Mbirokateya hanya perlu memikirkan pelajaran,
termasuk di saat alat reproduksi perempuan telah ranum, dan vagina yang harum
itu tidak dibaluti oleh sali atau yokal untuk
perempuan yang sudah berkeluarga. Ia tidak perlu repot mengikuti pesta dansa
tiap hari minggu, mencari pasangan, calon suami, dan sekenanya membakar sagu
untuknya di honai seperti yang dilakukan perempuan muda
dulu, di kampungnya. Mbirokateya hanya perlu memikirkan pelajaran, tak lebih
dari itu. Ma yang selalu menegaskan
hal itu.
Ma selalu mengajak Mbirokateya ke mana-mana, kecuali ke kota. Jarang sekali ia diajak Ma untuk ikut ke kota, paling cuma di hari Minggu. Itu pun hanya beberapa kali. Ma suka melihat Mbirokateya sekolah. Suka
mengantarkannya ke sekolah, walau jaraknya luar biasa jauhnya.
Ma harus melewati perbukitan dan jalanan
setapak untuk mengantarkannya ke sekolah dulu dengan menggunakan sepeda butut.
Jarak rumah dan sekolahku cukup jauh tapi Ma tidak pernah mengeluh dengan hal
sepele seperti itu. Jalanan menurun dan mendaki maupun zigzag tidak membuatnya
lupa.
Ma sudah hafal betul letak sekolahan
Mbirokateya yang dipasung kayu berpalang, menjulang tinggi mencakar langit. Dari kejauhan sudah tampak tanda-tandanya. Setelah cukup dekat di depan
sekolah, ia melepas Mbirokateya dengan isyarat dan ciuman.
“Ingat! Dengarkan semua ajaran guru dan
ikuti keterangannya serta jalankan perintah guru agar kelak kamu menjadi orang
berguna bagi keluarga dan bangsamu. Sepulang sekolah kamu tunggu di sini,” sambil menunjuk ke pohon kapas tempat berhenti. Begitu lah suaranya
sebelum meluncur cepat dan hilang dihalangi kabut untuk selanjutnya pergi.
Siang terasa berlalu begitu saja. Apa yang
diperoleh selama belajar tadi belum semuanya masuk ke otaknya. Banyak yang
terbersit di telinga. Bersamaan dengan bel sekolah terdengar riang diiringi
teriakan teman-teman menyambutnya gembira.
Jam menunjukkan angka satu. Mbirokateya
keluar dari ruang kelas dengan langkah gontai menuju pohon kapas seperti janji
sebelumnya. Tidak terlalu lama menunggu sesosok tubuh yang kekar mengiringi
derap ayunan yang berlipat-lipat dari kaki yang mulai cadas. Mbirokateya
mendekat naik di boncengannya! Selama perjalanan, mata Mbirokateya tertuju pada sekujur badan Ma dan tertegun meratapnya.
Sekecil itu, Mbirokateya semakin merasa iba dengan keadaannya yang terus-menerus seperti ini mengarungi bahtera kehidupan dengan segala peluh dan jerih-payah. Tidak tampak sedikit pun rasa gusar yang melingkar di tubuh Ma. Begitu lamunan itu sudah terbuai, Mbirokateya tak mampu berbisik walau di dalam hati. Terdengar agak kabur
bahwa Ma memblokir lamunan Mbirokateya.
”Mbirokateya! Engkau salah. Perjuangan
tidak sampai di sini. Kita melakukan gerak perubahan
perlahan secara menyeluruh, dengan membangun yayasan pengembangan masyarakat
terutama perempuan, menghidupkan puskesmas, mengadakan penyuluhan,
memperkenalkan keluarga berencana. Ma kira, beberapa tahun akan terjadi
pergeseran sistem budaya?”
Ma menarik Mbirokateya duduk di dekatnya.
“Mbirokateya, Anakku. Ma kira, Ma lelah. Ma, kakak tertua dengan banyak adik
lelaki dan adik perempuan. Jarak kelahiran kami rapat sekali, hanya terpaut
satu tahun saja. Perempuan kita tidak mengenal keluarga berencana. Adik Ma satu
persatu menemui ajal karena penyakit ispa dan malaria. Asap tembakau yang
memenuhi honai, juga asap perapian yang mengepul di langit-langit,
tembus hanya sedikit saja dari atap rumbia, tidak lewat jendela karena honai
tak punya jendela, tidak lewat dinding gaba-gaba, tetapi sebagian lagi masuk
lewat nafas, dan tersimpan dalam paru-paru. Terkadang mereka sibuk bermain
lumpur, sehingga lupa mengisi perut, terkadang langsung membantu memangur sagu.
Selanjutnya giliran Ma yang mesti memanggul
bernoken-noken sagu. Menikmati goresan taring nyamuk dan lalat babi berdarah,
yang lengket di tiap kulit Ma. Nafas Ma yang terengah-engah. Keringat yang
muntah, melepuh di sekujur tubuh, sudah menjadi rutinitas.
Tulang sendi Ma yang ngilu tidak diperdulikan. Ma tak sempat memejamkan mata,
sudah berlalu lagi dengan sekeranjang ikan untuk dijual ke pasar di desa
seberang. Dan sebagian uangnya ditabung. Airmata yang tumpah adalah airmata
kebahagiaan, terutama saat nenekmu menyetujui ketika Ma mengutarakan keinginan
Ma untuk sekolah.
Ma tahu, betapa sulitnya mengubah pola
pikir masyarakat yang cenderung pada
sistem patriarkis. Perempuan
yang bersusah-susah, lelaki yang akhirnya menghabiskan segala upah. Lalu
giliran perempuan yang terpaksa menyiksa dirinya sekadar melampiaskan segala
gundah. Banyak cara yang dilakukan, demi melampiaskan segala kekesalan.
Misalnya, menyayat kulit buram dengan benda-benda tajam. Wajah sembab penuh
isak. Perih tertahan, bersebab darah yang membasah, mengolesi segala luka. Tak
ada keluh, karena lelaki akan segera menambah lepuh. Mereka, para lelaki, tak peduli dengan segala gundah-gulana demi mendapatkan kenikmatan di atas
segala penderitaan kaum perempuan.
Mbirokateya, Anakku. Pendidikan memang
harus diperjuangkan untuk menambah pengetahuan. Sebagai penyadaran akan
tajamnya sebilah kebringasan yang tak berke-sudahan.”
Mbirokateya ingin menjerit jika
mengenangkan hal itu. Kecerdasan Ma ternyata tak sebanding dengan
keberingasan bapak. Bapak, sebagaimana kaum lelaki lainnya, senang beristri lebih. Mungkin memang sudah suratan badan bagi perempuan
di kampung kami. Perempuan sebagai tempat persinggahan. Pelabuhan yang
berkali-kali disinggahi kapal yang berbeda yang bernama lelaki. Tak ada yang
kuasa berontak. Tak guna cemburu yang meradang. Sebilah kapak akan meruntuhkan
lara. Entah kini atau esok hari. Ini
sebenarnya yang harus segera dicegah.
Mbirokateya menghela nafas. “Ma memperjuangkan agar aku tetap sekolah. Aku menyanggupi. Teser harus
dihidupkan, perempuan sebagai makhluk sakral. Perempuan perwujudan kedua mama
tua, ucukamoraot (roh pohon beringin) dan paskamoraot (roh kayu besi), yang dilahirkan
oleh ibu bumi. Aku harus tetap sekolah walau apa pun yang terjadi. Sekolah tetap harus diperjuangkan.”
Angin berhembus memecah sunyi. Mbirokateya
bakal menapaki sepi. Segalanya masih begitu jauh. Mbirokateya tak sabar
melempar sauh. Segalanya begitu sederhana. Jauh dari kesan pesta dan hura-hura.
Pakaian hanya sekadarnya. Tak layak untuk ke pesta. Sepasang sandal yang sudah
usang adalah tanda semangat berjuang. Noken menjadi saksi,
sebuah ijazah sekolah rakyat yang diletakkan di dalam, digamitnya erat-erat.
Airmata Ma hanya tertahan, ia tidak ingin rindu memikul beban. Menghadang resah
melihat Mbirokateya sekolah. Ma bahagia. Desa Bis Agats akan menjadi saksi cerita.
Tercapainya segala cita-cita. Sejumlah uang seadanya jadi bekal sampai di sana. Dan, rumah saudara perempuan Ma menjadi
persinggahan akhirnya.
Ma sumringah. Ia tidak ingin menitip resah.
Melambaikan tangan sambil menutup wajah. Mbirokateya melihat agak terperangah. Ia
mungkin lupa bahwa sebagian jari Ma telah terbungkus kulit kayu. Ia
mengingat-ingat jemari yang terpotong itu disatukan dalam kantong berisi abu
jenazah kakek, dan digantung pada honai
bapak. Mungkin Ma mela-kukan mutilasi tanpa setahu Mbirokateya.
“Mbirokateya,
Anakku. Sebagai cucu Asmat, masa gemilang kita takkan pernah didapat tanpa berjuang. Tanah ini adalah hidup kita, tempat kita dilahirkan. Kita yang harus menentukan dan menunjukkan, siapa
kita yang sebenarnya. Sistem adat yang kita punya. Budaya yang kita jaga adalah kekayaan kita
satu-satunya. Dan hanya kita yang bisa mengubahnya, bukan
siapa-siapa. Jangan pelihara segala kegagalan. Pupuklah segala keberhasilan.
Sekolah adalah salah satu jalan menuju keberhasilan. Ilmu yang tinggi akan membuat
martabatmu menjulang. Lepaskan ikatan budaya masa lalu, yang membelenggu.
Keterbatasan ilmu akan membuat dirimu tidak akan pernah maju. Kau akan selalu
di bawah bayang-bayang lelaki, serta jauh dari Tuhan. Kau harus mampu keluar
dari lingkaran yang tak berujung dan berpangkal. Meninggalkan segala kegelapan
demi sebuah perubahan.”
Mbirokateya harus mempelajari cara
perempuan Muyu berladang,
melakukan pokomber atau usi
menanam pisang, ubi, tebu, kangkung, dan hasilnya dijual di pasar. Menjaring
ikan, dan sering menukarkannya dengan beberapa noken sagu pada tetangga,
seperti yang sering dilakukan oleh Mama muda. Mama muda tidak bisa membiayai
sekolah Mbirokateya, mereka miskin dan Mbirokateya harus berjuang. Ma tentu
tidak selalu mengirimi uang. Bersebab tingkat ekonomi yang tidak jauh beda.
Maka, Mbirokateya rela saja melakukan apa saja demi sekolahnya.
Bulan berlalu berganti tahun. Angin
berhembus perih. Sepi semakin menggigit. Mbirokateya sakit. Ia luka, setelah
kabar yang didengar mengharuskannya hidup sebatangkara. Airmata yang jatuh
adalah kisruh gemuruh. Resahnya melumpur, bukan tubuh. Hidupnya tercukur, bukan
rambut. Nyawanya sebelah telah terbelah, bukan telinga. Empat puluh hari masa
berduka tak dilakukannya. Memang itu adat, tapi ia ingat pesan Ma. Ia lebih
memilih memendam diam. Ia lebih memilih memejam pandang. Ia lebih memilih
mengatup suara, menenggak segala isak. Honai saksi setengah kehidupan
tak lagi rekah. Memendam geram membayang wajah tawa bapak yang tertahan,
memandang jasad Ma yang damai dalam diam.
Kampung Ewer rasanya ingin dibakar. Tetapi
sebilah pisau mengundang risau. Ingin menjemput adik-adiknya,
segala jadi tertahan sebab kesumat yang tak berkesudahan. Di dalam ebey, goda membuai.
Mbirokateya tak lagi bisa menahan geram. Adat harus dilaksanakan, ia
menggenggam pisau dan diletakkan di antara jarinya. Entah siapa mengundang, roh
Ma melintas perlahan. Ma tersenyum, bibir hitamnya terkulum. Begitu sumringah. Mbirokateya menahan beban,
ia teringat sebuah pesan. Sekolah harus dilanjutkan. Ia tersentak. Pisau di tangan jadi korban. Dicampakkan begitu saja bersama airmata yang menetes
perlahan. Ia terduduk, pandangan matanya menembus kaso-kaso, menatap senyum Ma yang terselip di balik
awan.
“Maafkan aku, Ma. Aku telah gagal dan aku
akan segera pulang...,” isaknya. ”Segala perjuangan
telah kulakukan. Aku bersekolah, Ma. Kesucianku tetap kupertahankan. Aku
bekerja pada seorang majikan yang budiman. Dengan menumpang kapal perintis dan
singgah di dermaga Merauke, SMP telah kuselesaikan. Kutahankan rasa
lapar. Kutahankan keinginan memiliki pelabuhan cintakasih. Demi cita-cita. Demi
untukmu, Ma. Tapi, Ma. Aku tak mampu menyelesaikan SMA. Petromaks ini jadi
saksi. Aku tidak mau melacurkan diri demi uang, memuaskan hasrat laki-laki para
penebang kayu gaharu. Tidak, Ma. Tidak. Aku masih punya harga diri. Sakit
kutahankan bersebab cita-cita. Bersebab dirimu, Ma. Aku sudah memulai, maka aku
harus menyelesaikannya. Aku harus berubah, tidak mesti
berada antara hutan, sungai dan pasar.
Hidup adalah perjuangan, katamu Ma. Aku setuju. Berguna bagi siapa saja. Berguna bagi
masyarakat. Hidup harus bermanfaat bagi manusia. Aku sudah melakukannya,
Ma.
Menjadi guru adalah cita-citaku, Ma. Membagi ilmu. Memperjuangkan nasib kaum perempuan di kampung kita. Menyadarkan para lelaki, ukiran patung yang bernilai seni yang tinggi dan dikagumi oleh pecinta seni dunia.
Menjadi guru adalah cita-citaku, Ma. Membagi ilmu. Memperjuangkan nasib kaum perempuan di kampung kita. Menyadarkan para lelaki, ukiran patung yang bernilai seni yang tinggi dan dikagumi oleh pecinta seni dunia.
Bukankah kepuasan sangat berharga, Ma, ketika senyum bocah-bocah bermata bulat memandang kita. Mata yang hitam,
pekat dan tajam, terbelalak lebar. Mereka duduk memandang kita di dalam sebuah
sekolah berlantai tanah. Di sisi kiri-kananya ilalang menjulang. Di atasnya
langit biru menjulang.
Ah, Ma. Akhirnya semua hanya angan-angan
yang tak berkesudahan. Tapi itu pun harus tetap
diperjuangkan. Demi cita-cita. Demi dirimu, Ma. Harus. Harus!”
***
Mbirokateya memegangi perutnya. Peluh
mengucur deras dari dahi dan sekujur tubuhnya. Ia masih teringat pesan Ma.
Perasaan menyesal seperti tiada guna, pikirnya. Ketika itu Ma mengajaknya ke bevak di tengah hutan. Kini ia yang harus berada di dalam bevak sendirian.
Sebab, suami Mama muda telah berhasil membobol pintu kamarnya diam-diam, dan
membobol pintu kegadisannya dengan ancaman setelah ia kelelahan pulang dari
sekolah di perkampungan Ewer. Dengan penuh beban dan rasa malu berbulan-bulan,
ia akhirnya kembali ke kampung. Segera menuju bevak.
“Ma, mungkin tubuhku telah kotor. Tetapi
pesanmu tetaplah suci. Aku akan tetap memperjuangkannya. Bukankah perjuangan
memang butuh pengorbanan? Jadi, Ma, tolong jaga cucu perempuanmu, juga aku.”***
Keterangan (isilah titik-titik
dengan kata/ istilah yang dimaksudkan)
1. … :
bangunan di tengah hutan.
2. … :
Rok dari serat kayu, kulit kayu, rumput yang dirangkai menjadi jumbi-jumbi yang
dililitkan pada pinggul dan diikat, pada anak
perempuan/ kaum wanita Asmat (Maulana,
1996: 57).
3. …
: Terbuat dari labu
yang dikeringkan, menyerupai tabung silinder untuk menutupi penis
(Maulana, 1996: 57).
4. … : Bangunan berbentuk silindris yang dipergunakan sebagai
tempat tinggal (Maulana,
1996: 62)
5. … :
Pemerintahan
oleh para pria.
6. … :
Tas anyaman
dari serat melinjo (Sekarningsih, 2000: xv).
7. … :
Adat
kebiasaan untuk mengungkapkan duka-cita dengan mutilasi, misal mencukur
rambut, memotong telinga, atau memotong ujung jari tangan dengan
parang atau pisau (Linggasari, 2004: 31).
8. … : Mencari makan di hutan dari pagi sampai sore (Linggasari,
2004: 28).
9. … :
Memangur
sagu selama dua minggu sampai tiga bulan (Linggasari, 2004: 28).
10. … : Struktur atap yang terdiri dari kaso-kaso dari kayu bulat
yang menghubungkan pusat
honai ke dinding (Agusto, 1996: 193).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar