Senin, 29 Februari 2016

Mbirokateya



Mbirokateya

Oleh M. Raudah Jambak

M
birokateya memegangi perutnya. Peluh mengucur deras dari dahi dan sekujur tubuhnya. Ia masih teringat pesan Ma. Perasaan menyesal seperti tiada guna, pikirnya. Ketika itu Ma hendak mengajaknya ke bevak di tengah hutan. Sebenarnya Ma harus sendiri, sebab itu memang sudah ketentuan adat. Tetapi, Ma sengaja mengajaknya diam-diam agar ia cepat mengerti tentang keberadaan perempuan di kampungnya.
Angin berhembus pelan. Ranting-ranting pepohonan saling bergesekan. Awan tipis menutupi matahari yang perlahan merangkak. Bias cahaya di langit membentuk sebuah pantulan berjuta kilau permata sejauh mata memandang.
Waktu fajar mulai menyingsingkan auranya menyinari seluruh kebekuan alam semesta. Mbirokateya ingat dengan apa yang dilakukan Ma, sebelum mengajaknya menuju bevak, memulai rutinitas sebagai perempuan, sebagai ibu.
Setiap kali bangun pagi selalu saja ada makanan di dapur. Makanan yang dibungkus rapi dilipat daun pisang yang dipetik Ma setiap sore di kebun belakang atau menikmati ulat manggia atau koo, yang sudah dipanen dari sisa tebangan pohon sagu yang telah dipangkur sekitar dua minggu sebelumnya. Koo itu dimasukkan dalam bekal sagu yang telah dibulatkan seperti bola lalu dibakar. Tubuh koo akan melumer. Rasanya sangat gurih dan legit! Bagian kepala koo yang renyah berasa popcorn. Kebun itu adalah tempat Ma menumpahkan hari-harinya, sambil merasakan segarnya batang tebu atau buluh bambu dan melesapi gula-gula. Ma senang bercocok tanam. Ma senang melakukan tugas itu sebagai perempuan yang merdeka. Menanam benih dan menunggu hasilnya, sampai waktu panen tiba.
Makanan tersebut dibagi menjadi dua. Satu buat bekal dan yang lainnya sekadar sarapan seadanya antara Mbirokateya dan Ma. Sehabis makan mereka segera berangkat diam-diam, menyisir perjalanan sepanjang hutan.
Hutan inilah rumah sebenarnya bagi mereka. Berdinding belantara. Tempat kelahiran dan kematian. Hitungan ratusan tahun mereka diami tempat ini. Menghirup segala. Hidup kan segala. Menyatu dengan segala. Bermain dengan angin, dengan akar pepohonan, dengan semak belukar. Anak-anak, kaum perempuan, dan para lelaki telah terbiasa melukis kelam. Berpeluk pengab raya.
Lingkaran api biasa mereka sulam pada malam. Memetik kerdipan bintang. Menjaring bulan. Mengunyah pituah para tetua. Menebalkan tambalan sejarah pada jiwa-jiwa. Dan sesekali menyemai tawa. Sesekali menuai duka ketika memamah sihir kata bak pujangga. Pada akhir sulaman cerita, gederap sukacita menuntun mimpi-mimpi menyambut  pagi.
Gubug-gubug mereka adalah pepohonan yang bernyanyi. Seolah laut yang berpantai  damai. Seperti dermaga sebagai tempat penumpah lelah sehabis memerah tubuh-tubuh basah. O, betapa hidup dari waktu ke waktu selalu mengelus berkah.
Kegelapan inilah selimut hangat yang gemerlap. Mata hati adalah sebilah pisau tajam yang selalu terasah. Kelam bukanlah jaring-jaring perangkap yang membekap, tapi ia tapak-tapak kaki yang selalu mengatur jarak. Menancapkan jejak. Mereka tahu arah melangkah ke mana hendak berpijak. Pulang dan pergi tak selalu bergantung pada matahari. Tak pula menunggu tuntunan bulan. Bukan menafikkan ciptaan Tuhan. Tapi, justru dengan gelap dan kelam anugerah itu didapatkan.
Berjalan dan berlari seringan hembusan angin menembus belukar dan semak berduri. Segala telah tersedia dalam rentang waktu yang tak dapat dihitung dengan rumusan angka-angka. Segala telah terjaga dengan aturan adat yang paling beradab. Amboi, masa-masa gemilang itu perlahan di gebuk gelombang. Menusukkan amuk, remuk.
Mbirokateya diam. Ia merasa tidak punya cerita menarik pengganti kekakuan perjalanan. Berbeda dengan Ma, Ma sosok perempuan yang gigih, pantang menyerah dan penyabar. Walau terkadang agak sedikit egois dan keras juga. Itu perlu dimaklumi jika dikaitkan dengan masa Ma di waktu muda. Aktif menyerukan kemanusiaan. Antara kecintaan orangtua, kampung dan kebebasan perempuan menjadi titik utama perjuangannya, bersama teman-teman seangkatan mereka yang berasal dari luar kampung, bahkan ada berasal dari luar pulau, dan luar negara.
 “Engkau tahu? Bunga bakung berwarna merah, bentuknya indah? Begitulah perempuan. Parasnya bak kembang. Merahnya laksana hati. Dan kau tahu bunga keris papua? Itulah kita yang sebenarnya,” ujar Ma.
Dia hanya diam. Pikirannya hanya diselimuti cemas. Cemas melihat kondisi Ma.  “Kau tahu, sali yang masih menjaga kehormatan keperempuanan kita, menghadang segala kejahatan yang berasal dari balik koteka kaum lelaki, di antara bidang telanjang dada mereka. Ketelanjangan kita, ketelanjangan yang terhormat. Ruas tulang yang meninggalkan bentuk dari kulit yang tipis dan hitam, bergerigi, di dada perempuan kampung kita yang membusung. Kehitaman anak-anak di kampung kita adalah kehitaman yang bersahaja. Mulai dari kaki sampai wajah. Rambut gimbal bergulung adalah gelombang yang tertahan dan siap dilontarkan. Perut anak-anak kampung kita yang menyimpan dan menjaga kesejarahan, membusung. Tulang punggung yang menonjol, pertanda kekuatan yang mengagumkan. Tidak ada keinginan mereka untuk mengenal bangku sekolah. Mereka hanya mengenal tanah berpijak. Bergelut dengan lumpur. Berlari menaklukkan bukit, dan merambah ke sudut hutan yang paling sunyi. Apalagi yang dapat kita jaga selain kehormatan keperempuanan kita. Menghempang dari segala  kebengisan hutan. Dan laki-laki hanya menyibukkan diri bersetubuh dengan nira kelapa. Sibuk memeluk asyik-masyuk alkohol, dan kebiasaan mereka berperang. Tembakau kecintaan bagi laki-laki, menghempang dari kebiasaan mereka berperang, kebiasaan mereka mengayau, syukur adalah kata yang patut diagungkan. Laki-laki dianggap lemah, jika mereka tak bisa melesatkan panahnya ke jantung musuh. Tak mampu menebas leher. Apalagi menganut kepalanya di tangan, maka mereka tidak akan dihormati lagi, Mbirokateya! Apalagi yang kita punya selain kehormatan? Maka, kita harus terus menjaga kehormatan perempuan di kampung kita, Mbirokateya. Harus!”
            Mbirokateya masih membisu. “Laksana beyor atau burung nuri. Bagaikan ir atau kakaktua putih. Itulah perempuan kampung kita. Dengan ukiran motif paruh burung sebagai hiasan kepala yang tergambar. Nenek moyang kita tidak sekadar menancapkan simbol untuk perempuan itu di atas kepala dan para lelaki tidak pernah mau tahu tentang itu. Kau tahu, Mbirokateya? Hal itu harus tetap dijunjung tinggi. Dan sekarang, lihatlah dengan matamu sendiri. Betapa perempuan kita dikucilkan. Perempuan kita terasing dari emansipasi.  Mereka tidak mengerti persamaan hak atas lelaki. Tidak mengerti kesetaraan gender. Dibelit adat masa lalu. Lelaki yang tidak ada kesempatan untuk berperang dan mengayau,  merampas hak tanah atas hutan sagu dan babi. Lelaki hanya mengukir patung saja, sebagai pekerjaan pengganti. Perempuan adalah perempuan yang peranannya tak lebih dari urusan seputar rumah. Peran istri yang bukan menjadi tanggung jawab suami. Ketuaan wajah perempuan selalu melampaui lelaki. Rombak adalah kata yang pantas diwujudkan. Sistem budaya feodal model ini yang harus diperbaharui. Perempuan juga manusia, Mbirokateya! Punya keinginan untuk mencintai dan dicintai, seperti halnya lelaki. Itu harus diwujudkan, Mbirokateya!? Harus!”
Mbirokateya terkesiap. Terkejut. Perasaan bersalah itu selalu menghantui. Kata-kata Ma, yang sempat ikut orang luar, dalam kegiatan LSM, seperti membekas, berkarat. Apa yang sekarang ini dialaminya cukup tidak adil. Ia setuju dengan apa yang dikatakan Ma.
Ma selalu memikirkan segalanya. Memikirkan keperluan rumah tangga, terutama untuk anak-anaknya. Dan Mbirokateya merasa seperti diperlakukan istimewa. Ma pun tidak malu mencari upahan sampai jauh ke kota. Bekerja apa saja. Dari upah sedemikian rupa ia tidak lupa untuk menyisihkan sebagian uangnya, di tempat yang paling rahasia, sebuah potongan bambu berlubang di tiang penyangga honai.      
***
            Senja bersama sinarnya yang kemerah-merahan menyapa di bilik teras dan rumah kelabu. Masa lalu itu terus saja melintas. Ketika itu Ma duduk dekat daun pintu, sedang Mbirokateya bermain-main sebisa mungkin apa yang membuat hati riang.
            "Mbirokateya ke sini sebentar!” Ma berseru. ”Jangan sering bermain, kapan kamu akan belajar? Lekas ambil buku yang diajari gurumu di sekolah lalu duduklah di sampingku!” Dengan rasa kesal Mbirokateya segera mengambil buku di dalam tas dan berpura-pura membacanya sambil sedikit berkomat-kamit namun hatinya tak dapat dibohongi bahwa seusianya selalu saja ingin bermain-main.
            "Belajarlah yang rajin agar kelak kamu jadi orang pintar tidak seperti perempuan-perempuan di kampung kita,” Ma menambahkan. Suaranya terlintas manja bertanya pada Mbirokateya. ”Jika sudah besar nanti apakah gerangan yang kamu cita-citakan?”
            ”Guru!”
            ”Kenapa?” Sambil mengerutkan jidatnya yang memang sudah keriput.
            ”Kan enak, bisa membagi ilmu buat siapa saja. Bapak mungkin akan senang.”
            ”Bapakmu tidak akan kembali lagi karena dia telah memelihara burung merpati di sangkar lain?” Hanya itu yang keluar dari mulut Ma. Mbirokateya tak pernah tahu. Ia benar-benar tidak mengerti bapak di manakah rimbanya.
            Sehabis bicara seperti itu, getar kian terasa. Dengan sigap Ma langsung menyergap Mbirokateya membekapnya dalam dekapan, memeluk erat diketiaknya. Tanpa sengaja tiba-tiba airmatanya meleleh jatuh di halaman buku yang masih terpegang. Entah apa yang telah terucapkan tadi sehingga membuat Ma menangis terisak-isak dan membawa nya larut dengan suasana yang semakin membingungkan. Suasana Itu berlangsung agak lama sampai tak tahu waktu mulai mengguratkan kelam perlahan.
            Alunan suara alam bersenandung di gendang telinga menyadarkan ingatan. Senja sengaja ditutupi halimun yang beraroma dingin mencolek tubuh yang gagap bersama waktu. Secuil harapan dikemudian hari merengkuh bagai sembilu untuk mempertaruhkan hidup dimasa tua bertarung sendiri demi hidup yang semakin terhimpit. Tentunya dalam nadinya tersebar memuat getaran-getaram yang keluar dari batinnya ialah untuk anak dan keutuhan keluarga.
            Selama itukah Ma dan Mbirokateya harus berkisah. Tentang hidup yang harus selalu di perjuangkan tanpa beban bukan semata-mata dijalankan.
            "Bukan lantaran nasib, tidak lebih. Kesabaran dalam memilih dan keteguhan sebagai manusia yang tabah adalah tameng yang kuat. Mungkinkah hanya hidup begini atau karena ditinggalkan seseorang kita harus menyerah. Alangkah naif manusianya.”
            Begitulah Ma menggunakan sisa-sisa hidupnya yang sering ditunggui waktu. Kini aku berada sendiri di sini meniti kedewasaan berbaur bersama suaranya dengan bayang nya pula.                                                    ***
            “Mbirokateya, Anakku! Perempuan harus dimanusiakan? Lelaki selalu tega  mem-biarkan seorang perempuan merambah hutan. Tidak perduli melihat perempuan men-dayung perahu sendirian. Termasuk memangur sagu atau menjaring ikan. Padahal semua untuk keluarga. Jika bersisa dijual di pasar. Lelaki hanya menghabiskan uangnya untuk sekadar membeli rokok. Perempuan tidak boleh berdiam diri, dengan tidak melakukan pekerjaan itu. Jika tidak, tombak, panah, atau apa saja siap dihunuskan lelaki yang bisa menakuti segala kelemahan perempuan.”
            Perempuan hanya punya airmata pada akhirnya. Seorang ibu yang tak memiliki kekuatan apa-apa. Sebagai anak tertua kau pun hanya bisa meringkuk. Adikmu hanya bisa memecahkan tangisnya, bersebab melihat lelaki yang mendaulat diri sebagai bapak  menghantamkan benda tumpul ke kepala ibu kalian. Raungan pun tidak pernah diperdulikan, ketika kaki lelaki itu menendang perut perempuan meskipun sedang membuncit. Meskipun sedang hamil. Jangankan berlari, mengangkat kaki untuk sekedar meminum air mentah di dapur pun sudah tak mampu. Lalu pingsan, dan darah mengalir dari liang, bersebab orok keluar dari rahim, serta tali plasenta melingkar terlihat keluar.
Tetapi lelaki yang mengaku bapak itu malah menjerit kehilangan nyali, honai segera ditinggalkan, darah yang berceceran merupakan pantangan. Bukan keguguran dan jatuh pingsan yang menjadi persoalan. Katanya bisa menimbulkan penyakit dan kematian, apalagi membasahi lantai honai. Darah kehamilan harus ditumpahkan di dalam bevak di tengah hutan, sendiri. Di sinilah kita akhirnya menyimpulkan, bahwa kemanusiaan sebagai hak kaum perempuan telah lama dibumihanguskan, Mbirokateya! Perempuan adalah manusia yang terpinggirkan. Jangankan sekadar bermain lumpur atau berenang di sungai. Menikmati titik rintik hujan turun saja harus bersiap dibantai. Perempuan adalah penunggu dapur.
Mengimpikan sekolah mengharuskan kita menjadi punguk merindukan bulan. Sekolah dianggap tempat untuk membuang segala waktu yang lebih berharga. Padahal, meskipun sudah lapuk sekolah adalah gawang untuk mengubah nasib. Nasib kaum perempuan. Ternyata, langkah kita langkah yang itu ke itu juga. Kita berjalan di tempat. Pada akhirnya kita yang harus berjuang sendiri. Jangan terlalu berharap kita dapat memperjuangkan orang lain. Sebab kita masih di bawah kekuasaan otoriter kaum lelaki. Terutama tatkala mereka memperlakukan kita lebih hina dari seekor hewan.
Mbirokateya bersyukur dalam hati, ketika Ma membandingkan dirinya dengan Ma di saat masih muda. Kulitnya lebih halus dibanding Ma, ketika seumurnya. Mbirokateya hanya perlu memikirkan pelajaran, termasuk di saat alat reproduksi perempuan telah ranum, dan vagina yang harum itu tidak dibaluti oleh sali atau yokal untuk perempuan yang sudah berkeluarga. Ia tidak perlu repot mengikuti pesta dansa tiap hari minggu, mencari pasangan, calon suami, dan sekenanya membakar sagu untuknya di honai seperti yang dilakukan perempuan muda dulu, di kampungnya. Mbirokateya hanya perlu memikirkan pelajaran, tak lebih dari itu. Ma yang selalu menegaskan hal itu.
            Ma selalu mengajak Mbirokateya ke mana-mana, kecuali ke kota. Jarang sekali ia diajak Ma untuk ikut ke kota, paling cuma di hari Minggu. Itu pun hanya beberapa kali. Ma suka melihat Mbirokateya sekolah. Suka mengantarkannya ke sekolah, walau jaraknya luar biasa jauhnya.
            Ma harus melewati perbukitan dan jalanan setapak untuk mengantarkannya ke sekolah dulu dengan menggunakan sepeda butut. Jarak rumah dan sekolahku cukup jauh tapi Ma tidak pernah mengeluh dengan hal sepele seperti itu. Jalanan menurun dan mendaki maupun zigzag tidak membuatnya lupa.
            Ma sudah hafal betul letak sekolahan Mbirokateya yang dipasung kayu berpalang, menjulang tinggi mencakar langit. Dari kejauhan sudah tampak tanda-tandanya. Setelah cukup dekat di depan sekolah, ia melepas Mbirokateya dengan isyarat dan ciuman.
            Ingat! Dengarkan semua ajaran guru dan ikuti keterangannya serta jalankan perintah guru agar kelak kamu menjadi orang berguna bagi keluarga dan bangsamu. Sepulang sekolah kamu tunggu di sini, sambil menunjuk ke pohon kapas tempat berhenti. Begitu lah suaranya sebelum meluncur cepat dan hilang dihalangi kabut untuk selanjutnya pergi.
            Siang terasa berlalu begitu saja. Apa yang diperoleh selama belajar tadi belum semuanya masuk ke otaknya. Banyak yang terbersit di telinga. Bersamaan dengan bel sekolah terdengar riang diiringi teriakan teman-teman menyambutnya gembira.
            Jam menunjukkan angka satu. Mbirokateya keluar dari ruang kelas dengan langkah gontai menuju pohon kapas seperti janji sebelumnya. Tidak terlalu lama menunggu sesosok tubuh yang kekar mengiringi derap ayunan yang berlipat-lipat dari kaki yang mulai cadas. Mbirokateya mendekat naik di boncengannya! Selama perjalanan, mata Mbirokateya tertuju pada sekujur badan Ma dan tertegun meratapnya. Sekecil itu, Mbirokateya semakin merasa iba dengan keadaannya yang terus-menerus seperti ini mengarungi bahtera kehidupan dengan segala peluh dan jerih-payah. Tidak tampak sedikit pun rasa gusar yang melingkar di tubuh Ma. Begitu lamunan itu sudah terbuai, Mbirokateya tak mampu berbisik walau di dalam hati. Terdengar agak kabur bahwa Ma memblokir lamunan Mbirokateya.
            ”Mbirokateya! Engkau salah. Perjuangan tidak sampai di sini. Kita melakukan gerak perubahan perlahan secara menyeluruh, dengan membangun yayasan pengembangan masyarakat terutama perempuan, menghidupkan puskesmas, mengadakan penyuluhan, memperkenalkan keluarga berencana. Ma kira, beberapa tahun akan terjadi pergeseran sistem budaya?”
Ma menarik Mbirokateya duduk di dekatnya. “Mbirokateya, Anakku. Ma kira, Ma lelah. Ma, kakak tertua dengan banyak adik lelaki dan adik perempuan. Jarak kelahiran kami rapat sekali, hanya terpaut satu tahun saja. Perempuan kita tidak mengenal keluarga berencana. Adik Ma satu persatu menemui ajal karena penyakit ispa dan malaria. Asap tembakau yang memenuhi honai, juga asap perapian yang mengepul di langit-langit, tembus hanya sedikit saja dari atap rumbia, tidak lewat jendela karena honai tak punya jendela, tidak lewat dinding gaba-gaba, tetapi sebagian lagi masuk lewat nafas, dan tersimpan dalam paru-paru. Terkadang mereka sibuk bermain lumpur, sehingga lupa mengisi perut, terkadang langsung membantu memangur sagu.
            Selanjutnya giliran Ma yang mesti memanggul bernoken-noken sagu. Menikmati goresan taring nyamuk dan lalat babi berdarah, yang lengket di tiap kulit Ma. Nafas Ma yang terengah-engah. Keringat yang muntah, melepuh di sekujur tubuh, sudah menjadi rutinitas. Tulang sendi Ma yang ngilu tidak diperdulikan. Ma tak sempat memejamkan mata, sudah berlalu lagi dengan sekeranjang ikan untuk dijual ke pasar di desa seberang. Dan sebagian uangnya ditabung. Airmata yang tumpah adalah airmata kebahagiaan, terutama saat nenekmu menyetujui ketika Ma mengutarakan keinginan Ma untuk sekolah.
Ma tahu, betapa sulitnya mengubah pola pikir masyarakat yang cenderung pada sistem patriarkis. Perempuan yang bersusah-susah, lelaki yang akhirnya menghabiskan segala upah. Lalu giliran perempuan yang terpaksa menyiksa dirinya sekadar melampiaskan segala gundah. Banyak cara yang dilakukan, demi melampiaskan segala kekesalan. Misalnya, menyayat kulit buram dengan benda-benda tajam. Wajah sembab penuh isak. Perih tertahan, bersebab darah yang membasah, mengolesi segala luka. Tak ada keluh, karena lelaki akan segera menambah lepuh. Mereka, para lelaki, tak peduli dengan segala gundah-gulana demi mendapatkan kenikmatan di atas segala penderitaan kaum perempuan.
Mbirokateya, Anakku. Pendidikan memang harus diperjuangkan untuk menambah pengetahuan. Sebagai penyadaran akan tajamnya sebilah kebringasan yang tak berke-sudahan.”
Mbirokateya ingin menjerit jika mengenangkan hal itu. Kecerdasan Ma ternyata tak sebanding dengan keberingasan bapak. Bapak, sebagaimana kaum lelaki lainnya, senang beristri lebih. Mungkin memang sudah suratan badan bagi perempuan di kampung kami. Perempuan sebagai tempat persinggahan. Pelabuhan yang berkali-kali disinggahi kapal yang berbeda yang bernama lelaki. Tak ada yang kuasa berontak. Tak guna cemburu yang meradang. Sebilah kapak akan meruntuhkan lara.  Entah kini atau esok hari. Ini sebenarnya yang harus segera dicegah. 
Mbirokateya menghela nafas. “Ma memperjuangkan agar aku tetap sekolah. Aku menyanggupi. Teser harus dihidupkan, perempuan sebagai makhluk sakral. Perempuan perwujudan kedua mama tua, ucukamoraot (roh pohon beringin) dan paskamoraot (roh kayu besi), yang dilahirkan oleh ibu bumi. Aku harus tetap sekolah walau apa pun yang terjadi. Sekolah tetap harus diperjuangkan.”
            Angin berhembus memecah sunyi. Mbirokateya bakal menapaki sepi. Segalanya masih begitu jauh. Mbirokateya tak sabar melempar sauh. Segalanya begitu sederhana. Jauh dari kesan pesta dan hura-hura. Pakaian hanya sekadarnya. Tak layak untuk ke pesta. Sepasang sandal yang sudah usang adalah tanda semangat berjuang. Noken menjadi saksi, sebuah ijazah sekolah rakyat yang diletakkan di dalam, digamitnya erat-erat. Airmata Ma hanya tertahan, ia tidak ingin rindu memikul beban. Menghadang resah melihat Mbirokateya sekolah. Ma bahagia. Desa Bis Agats akan menjadi saksi cerita. Tercapainya segala cita-cita. Sejumlah uang seadanya jadi bekal sampai di sana. Dan, rumah saudara perempuan Ma menjadi persinggahan akhirnya.
            Ma sumringah. Ia tidak ingin menitip resah. Melambaikan tangan sambil menutup wajah. Mbirokateya melihat agak terperangah. Ia mungkin lupa bahwa sebagian jari Ma telah terbungkus kulit kayu. Ia mengingat-ingat jemari yang terpotong itu disatukan dalam kantong berisi abu jenazah kakek, dan digantung pada honai bapak. Mungkin Ma mela-kukan mutilasi tanpa setahu Mbirokateya.
            “Mbirokateya, Anakku. Sebagai cucu Asmat, masa gemilang kita takkan pernah didapat tanpa berjuang. Tanah ini adalah hidup kita, tempat kita dilahirkan. Kita yang harus menentukan dan menunjukkan, siapa kita yang sebenarnya. Sistem adat yang kita punya.  Budaya yang kita jaga adalah kekayaan kita satu-satunya. Dan hanya kita yang bisa mengubahnya, bukan siapa-siapa. Jangan pelihara segala kegagalan. Pupuklah segala keberhasilan. Sekolah adalah salah satu jalan menuju keberhasilan. Ilmu yang tinggi akan membuat martabatmu menjulang. Lepaskan ikatan budaya masa lalu, yang membelenggu. Keterbatasan ilmu akan membuat dirimu tidak akan pernah maju. Kau akan selalu di bawah bayang-bayang lelaki, serta jauh dari Tuhan. Kau harus mampu keluar dari lingkaran yang tak berujung dan berpangkal. Meninggalkan segala kegelapan demi sebuah perubahan.”
            Mbirokateya harus mempelajari cara perempuan Muyu berladang, melakukan pokomber atau usi menanam pisang, ubi, tebu, kangkung, dan hasilnya dijual di pasar. Menjaring ikan, dan sering menukarkannya dengan beberapa noken sagu pada tetangga, seperti yang sering dilakukan oleh Mama muda. Mama muda tidak bisa membiayai sekolah Mbirokateya, mereka miskin dan Mbirokateya harus berjuang. Ma tentu tidak selalu mengirimi uang. Bersebab tingkat ekonomi yang tidak jauh beda. Maka, Mbirokateya rela saja melakukan apa saja demi sekolahnya.
            Bulan berlalu berganti tahun. Angin berhembus perih. Sepi semakin menggigit. Mbirokateya sakit. Ia luka, setelah kabar yang didengar mengharuskannya hidup sebatangkara. Airmata yang jatuh adalah kisruh gemuruh. Resahnya melumpur, bukan tubuh. Hidupnya tercukur, bukan rambut. Nyawanya sebelah telah terbelah, bukan telinga. Empat puluh hari masa berduka tak dilakukannya. Memang itu adat, tapi ia ingat pesan Ma. Ia lebih memilih memendam diam. Ia lebih memilih memejam pandang. Ia lebih memilih mengatup suara, menenggak segala isak. Honai saksi setengah kehidupan tak lagi rekah. Memendam geram membayang wajah tawa bapak yang tertahan, memandang jasad Ma yang damai dalam diam.
            Kampung Ewer rasanya ingin dibakar. Tetapi sebilah pisau mengundang risau. Ingin menjemput adik-adiknya, segala jadi tertahan sebab kesumat yang tak berkesudahan. Di dalam ebey, goda membuai. Mbirokateya tak lagi bisa menahan geram. Adat harus dilaksanakan, ia menggenggam pisau dan diletakkan di antara jarinya. Entah siapa mengundang, roh Ma melintas perlahan. Ma tersenyum, bibir hitamnya terkulum.  Begitu sumringah. Mbirokateya menahan beban, ia teringat sebuah pesan. Sekolah harus dilanjutkan. Ia tersentak. Pisau di tangan jadi korban. Dicampakkan begitu saja bersama airmata yang menetes perlahan. Ia terduduk, pandangan matanya menembus kaso-kaso, menatap senyum Ma yang terselip di balik awan.
            “Maafkan aku, Ma. Aku telah gagal dan aku akan segera pulang...,” isaknya. ”Segala perjuangan telah kulakukan. Aku bersekolah, Ma. Kesucianku tetap kupertahankan. Aku bekerja pada seorang majikan yang budiman. Dengan menumpang kapal perintis dan singgah di dermaga Merauke, SMP telah kuselesaikan. Kutahankan rasa lapar. Kutahankan keinginan memiliki pelabuhan cintakasih. Demi cita-cita. Demi untukmu, Ma. Tapi, Ma. Aku tak mampu menyelesaikan SMA. Petromaks ini jadi saksi. Aku tidak mau melacurkan diri demi uang, memuaskan hasrat laki-laki para penebang kayu gaharu. Tidak, Ma. Tidak. Aku masih punya harga diri. Sakit kutahankan bersebab cita-cita. Bersebab dirimu, Ma. Aku sudah memulai, maka aku harus menyelesaikannya. Aku harus berubah, tidak mesti berada antara hutan, sungai dan pasar.
            Hidup adalah perjuangan, katamu Ma. Aku setuju. Berguna bagi siapa saja. Berguna bagi masyarakat. Hidup harus bermanfaat bagi manusia. Aku sudah melakukannya, Ma. 
            Menjadi guru adalah cita-citaku, Ma. Membagi ilmu. Memperjuangkan nasib kaum perempuan di kampung kita. Menyadarkan para lelaki, ukiran patung yang bernilai seni yang tinggi dan dikagumi oleh pecinta seni dunia.
            Bukankah kepuasan sangat berharga, Ma, ketika senyum bocah-bocah bermata bulat memandang kita. Mata yang hitam, pekat dan tajam, terbelalak lebar. Mereka duduk memandang kita di dalam sebuah sekolah berlantai tanah. Di sisi kiri-kananya ilalang menjulang. Di atasnya langit biru menjulang. 
Ah, Ma. Akhirnya semua hanya angan-angan yang tak berkesudahan. Tapi itu pun harus tetap diperjuangkan. Demi cita-cita. Demi dirimu, Ma. Harus. Harus!”
***
            Mbirokateya memegangi perutnya. Peluh mengucur deras dari dahi dan sekujur tubuhnya. Ia masih teringat pesan Ma. Perasaan menyesal seperti tiada guna, pikirnya. Ketika itu Ma mengajaknya ke bevak di tengah hutan. Kini ia yang harus berada di dalam bevak sendirian. Sebab, suami Mama muda telah berhasil membobol pintu kamarnya diam-diam, dan membobol pintu kegadisannya dengan ancaman setelah ia kelelahan pulang dari sekolah di perkampungan Ewer. Dengan penuh beban dan rasa malu berbulan-bulan, ia akhirnya kembali ke kampung. Segera menuju bevak.
            “Ma, mungkin tubuhku telah kotor. Tetapi pesanmu tetaplah suci. Aku akan tetap memperjuangkannya. Bukankah perjuangan memang butuh pengorbanan? Jadi, Ma, tolong jaga cucu perempuanmu, juga aku.”***

Keterangan (isilah titik-titik dengan kata/ istilah yang dimaksudkan)
1.                         : bangunan di tengah hutan.        
2.                         : Rok dari serat kayu, kulit kayu, rumput yang dirangkai menjadi jumbi-jumbi yang
  dililitkan pada pinggul dan diikat, pada anak perempuan/ kaum wanita Asmat (Maulana,
  1996: 57).
3.                        : Terbuat dari labu yang dikeringkan, menyerupai tabung silinder untuk menutupi penis
  (Maulana, 1996: 57).
4.                       : Bangunan berbentuk silindris yang dipergunakan sebagai tempat tinggal (Maulana,  
  1996: 62)
5.                        : Pemerintahan oleh para pria.
6.                        : Tas anyaman dari serat melinjo (Sekarningsih, 2000: xv).
7.                        : Adat kebiasaan untuk mengungkapkan duka-cita dengan mutilasi, misal mencukur  
rambut,  memotong telinga, atau memotong ujung jari tangan dengan parang atau pisau     (Linggasari, 2004: 31).
8.                         : Mencari makan di hutan dari pagi sampai sore (Linggasari, 2004: 28).
9.                        : Memangur sagu selama dua minggu sampai tiga bulan (Linggasari, 2004: 28).
10.                    : Struktur atap yang terdiri dari kaso-kaso dari kayu bulat yang menghubungkan pusat
  honai ke dinding (Agusto, 1996: 193).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar