Senin, 29 Februari 2016

TORSA YANG TAK SELESAI



M. Raudah Jambak
TORSA YANG TAK SELESAI

Alunan merdu onang-onang di ruang tamu yang berasal dari computer yang selalu digunakan suamiku mengerjakan pekerjaannya, membawa cerita masa laluku. Aku  duduk di sebelah putri kecilku yang sedang tertidur, beralaskan selembar ambal usang. Air mataku menetes perlahan, jatuh tepat di atas pipinya yang putih dan bersih.
“Kalau kau rindu padaku, putar saja onang-onang itu,” begitu selalu ia katakan setelah mengecup keningku lalu pergi bekerja. Tidak berapa lama kemudian meluncur bersama mobil dinas ke gedung Dewan.
Tetapi pagi itu, entah perasaan darimana aku berusaha untuk menahannya. Suamiku hanya tersenyum.
Aku ingin hari ini kamu di rumah saja. Hatiku sedang tidak enak.”
Tunggulah di rumah. Putar onang-onang itu agar hatimu tenang. Aku pasti pulang.”
Sepeninggalnya, aku putar onang-onang itu dari computernya. Suasana terasa menyenangkan sembari diiringi alunan musik onang-onang yang mengingatkanku pada saat aku dan suamiku jadi raja sehari duduk di atas pelaminan   dengan bulang yang menambah pesona mata yang memandang. Mata kami selalu beradu pandang, jemari saling meremas, hati melayang sampai ke angan-angan.
Suara yang lantang dan penuh wibawa keluar dari mulut Ompung Denggan yang mulai terlihat menggeriput. Acara Markobar terus menerus dilakukan. Pesta pernikahan yang sakral ini terus berlanjut. Seluruh keluarga hadir menyaksikan pesta pernikahanku. Tak terkecuali Parlin paribanku anak tulang Sori dari Singapura.        
Halaman rumah umak yang biasanya muram karena belum satu tahun ayah, orang yang paling dicintai umak, meninggal dunia, kini berubah menjadi lautan kebahagiaan. Karangan bunga ucapan selamat atas pernikahan kami, Ulina dan Doli, terpajang sampai ujung gang,  menutupi lopo Ompung Sihol yang ramai dikunjungi bapak-bapak untuk minum kopi, tes manis sambil bermain catur.
***
Satu cerita hampir kuselesaikan. Aku segera bergegas. Orang-orang telah berkumpul menyambut malam. Hiruk pikuk kian mengetuk, seolah riuh pesta perkawinan saja. Ada debar terdengar. Bagas Godang semakin sesak. Alaman Bolak terasa menyemak. Gordang mulai dipalu, Gordang Sambilan membahana. Sembilan buah gendang dengan ukuran berbeda-beda. Terbuat dari kayu dan kulit lembu. Dimainkan tujuh orang pemusik. Variasi pukulan dipadu sedemikian rupa, sehingga menghasilkan gelombang irama yang khas. Seperti suara alam. Tampak penabuh gordang paling ujung menari-nari. Sesekali matanya terpejam, larut dalam irama. Bagai digerakkan kekuatan misitis, ia melompat-lompat. Terkadang menunggangi gendang sambil memukul. Seperti kesurupan. Meski atraktif begitu, pukulannya tak pernah sumbang. Berbeda dengan Onang-onang.
   Di Sopo Godang para petinggi kampung telah hadir. Juga Kepala Kuria. Aku ada di antara mereka. Duduk di atas tikar pandan berlapis dua, kedua ujungnya disatukan dengan menjahitkan kain warna merah pada keempat sisinya. Dalam bahasa adat, ini disebut amak lampisan.
   “Ambilkan Pangupa!” perintah Bayo Datu. Seseorang datang menating nyiru. Kepala kerbau diletakkan di atasnya, beralas daun pisang. Di sampingnya, seseorang lagi menating piring besar bernama pinggan pasu, berisi bahan pangupa lainnya: nasi putih, tiga buah telur ayam, garam, ikan garing, udang, dan daun ubi. Juga ditutup dengan daun pisang. Paling atas ditutup dengan kain adat Tonunan Patani.
   ”Turupa-upa...turupa-upa...turupa-upa...” ratap Bayo Datu memulai acara mangupa.
   Seseorang memutar-mutarkan nyiru di atas kepalaku. Begitu panjang kalimat pangupa tersebut. Juga dibacakan beberapa mantra. Kakiku kesemutan. Tentu saja kutahan. Menurut adat, seseorang yang berpergian jauh harus diupa-upa untuk memberi kekuatan dan keberanian.
   Setelah itu aku disuapi dengan makanan yang berada di Pinggan Pasu. Dicicipi satu persatu. Bayo Datu menjelaskan maksud dari setiap jenis makanan. Prosesi berlangsung alot. Juga sakral.           
    “Nanti malam kau ikut Umak manortor, Amang!” ujar Umak beberapa waktu yang lalu. Aku masih kelas lima esde. Dan Amang sudah lama meninggal, sebulan setelah aku dilahirkan. 
    “Manortor? Apa itu manortor, Umak?” Umak tersenyum.
    “Manortor itu yang begini, Amang’” Umak melakukan beberapa gerakan, yang masih asing bagiku.
   “Oh, menari, Umak?” Umak kembali tersenyum. Dia menarikku, lalu menyuruhku duduk di kursi kayu yang dibuat Amang dari bamboo.
   “Manortor, ya, manortor, Amang,” Umak membelai rambutku pelan.” Tapi kalau kau bilang menari boleh juga. Bedanya manortor tidak seperti menari biasa. Kalau menari hanya sebagai hiburan, manortor itu sudah termasuk dalam adat istiadat kita. Dan nanti semuanya harus menari, tanpa terkecuali.”
   “Aku laki-laki, Umak. Aku tak pandai menari.”
   “Ingat ! Tanpa terkecuali.” Aku masih kebingungan, Umak hanya tersenyum mengambang.
   “Nanti juga kau akan paham, Amang.” Gordang kian ramai dipalu. Hentakannya terdengar bertalu-talu. Jari-jemari terus digerakkan sesuai irama. Begitu juga dengan kaki dan tangan. Gerakan laki-laki dan perempuan ada sedikit perbedaan. Gerakan jari-jemari diluruskan seperti menjepit sesuatu secara serentak. Gerakkan perempuan terasa lebih gemulai. Sementara yang laki-laki terkesan lebih gagah.
   “Manortor itu untuk apa, Umak?”
   “Ya, untuk acara-acara tertentu, Menyambut tamu, mengantar bagi yang berpergian  ke tempat yang jauh atau ajang mencari jodoh.”
Suasana sore begitu kontras dengan hamparan sawah depan rumah. Umak berbicara padaku panjang lebar, bercerita tentang apa saja. Termasuk cerita tentang tanah leluhur ini. Selalu menarik dan memancing rasa ingin tahu. Angin yang berhembus selalu menghadirkan ketenangan dan rasa damai.
Cerita Umak semakin melebar kemana-mana. Tentang Amang yang jadi pengembala kerbau ketika kecilnya. Aku tersentuh membayangkan Amang kecil bersama rombongannya melintasi sore bersama kerbau mereka. Alangkah bahagianya, merasakan kegembiraan bersama matahari yang perlahan menuju peraduan di tengah-tengah hamparan sawah yang begitu luas.
Sambil mendengarkan cerita Umak, aku teringat kembali kisah Umak yang sempat ia beberkan padaku, beberapa waktu yang lalu. Aku berpikir apakah aku akan sampai pada kisah seperti ini.
                                                                ***
Umak terduduk, memeluk kedua borunya. Suasana yang tenang dan damai itupun berubah menjadi lautan air mata, ketika Masniari mengingatkan kembali bagaimana awal mula rumah tangga yang damai itu dipertahankan. Suasana tegang sedikit mencair melihat si kecil halomoan yang bermain-main, mengoceh tak tentu arah.
Masniari tersadar. Masa lalu itu selalu menghantui pikirannya. Ia lalu duduk di atas sofa empuk sambil memandangi kedua buah hatinya yang juga sedang bermain-main. Dering telepon kembali menghantam lamunan Masniari. Hatinya berdebar. Tangannya tergetar. Suara di telepon yang begitu dirinduinya, lantang bersuara.
“Inang, dua poken nai anggimu giot marbagas,’’ terdengar suara umak bahagia. Masniari diharuskan dating menyaksikan acara yang dianggap sakral itu. Apalagi Masniari adalah kakak tertua dari dua bersaudara. Ayah mereka sudah lama tiada sewaktu Masnauli duduk dibangku SD. Tinggallah umak yang membesarkan mereka dengan berjualan toge (makanan khas panyabu- ngan). Sambil membantu umak berjualan, Masniari kuliah di salahsatu perguruan tinggi swasta di Padangsidempuan. Di sanalah ia mengenal seorang yang telah menjadi ayah dari anaknya kini.
Dua minggu kemudian Masniari dan keluarganya pulang ke kampung. Acara pernikahan dengan adat yang cukup sakral dilaksanakan, dengan petuah-petuah yang sakral pula (Markobar). Di tengah keramaian suasana itu yang dihadiri seluruh keluarga  dan snak famili Masniari terhem pas dalam gelombang yang meluluhlantakkan hatinya, diantara kegembiran yang tergambar di wajah semua orang Masniari teringat akan masa lalunya yang menghantam keras perasaannya. Pertemuan dengan Parlindungan yang ditentang keras oleh umak. Sulit rasanya umak melupakan bagaimana perlakuan orangtua Parlindungan yang terkenal si toke beras pada saat Masniari masih berumur satu tahun.
   Ayah  Masniari yang waktu itu hanya sebagai buruh angkut di pabrik orangtua Parlin dungan membutuhkan pertolongan pinjaman uang disaat keluarga terhimpit untuk biaya berobat Masniari yang sakit muntaber.ditolak oleh umak si Parlindungan dengan alas an beribu alasan. Umak hanya memendam itu dalam hatinya tanpa diketahui oleh anak-anaknya agar tidak terbawa dendam oleh mereka, cukup hanya dia yang merasakannya. Bagai disambar petir umak men-dengar pengakuan Masniari bahwa ia ingin menikah dengan parlindungan.
“Umak, Bang Parlindungan giot manyapai au, Mak,” ujar Masniari mengutarakan maksud Parlindungan yang mau melamarnya pada Umak. Lama Umak terdiam hanya memandangi wajah cantik anaknya dan dengan bijak sambil menahan semua perasaan umak menyabarkan Masniari agar memikirkan lagi maksudnya.
“Inang, nape do sidung sikolahmu,” ujar umak agar Masniari menyelesaikan pendidikan-nya dulu dan tidak memikirkan hal itu. Hari berganti hari, bulan berganti bulan, Masniari tetap pada pendiriannya ingin menikah dengan Parlindungan karena mereka sudah siap berumahtangga apalagi kuliah mereka hampir selesai. Masniari kembali menyampaikan maksud berdua pada umak. Tetapi, masih sama dengan yang lalu-lalu beribu alasan yang dilontarkan umak. Pada akhirnya Parlindungan memberanikan diri langsung datang menghadap umak Masniari. Suasana hening dan senyap saat Parlindungan membuka pembicaraan.
“Umak madung leleng au mardongan dohot Masniari, jadi maksudku mau melamar boruni, Umak.” Parlindungan langsung menyatakan maksud kepada umak. Umak hanya diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Lama mereka menunggu jawaban dari mulut umak. Sambil bersimpuh di kaki Umaknya sambil memohon tak ada satu katapun yang terlontar dari mulut umak. Hanya air mata yang jatuh membanjiri pipi tua umak.
“Mak, bolehkan, Mak,” Masniari terus memohon , “Jawablah, Mak.”
Masniari terus memohon. Sesak terasa hati Masniari berlinang air mata membanjiri kelopakmatanya mendengar jawaban umak.
“Inda. Tidak akan pernah kubolehkan anakku marbagas dengan anaknya si Raja toke beras itu. Inda, Inang.”
Umak menangis sambil berteriak histeris. Masniari tertunduk air matanya berlinang tak terbendung lagi. Hancur sudah harapan mereka berdua untuk mendapatkan restu dari umak. Parlindungan pulang dengan hati yang hancur. Masniari terus menangis.
“Kenapa, Mak. Kenapa?”
Pertanyaan yang tidak ada jawabannya hanya berkecamuk di dalam hati yang paling dalam. Sejak saat itu Masniari lebih memilih menjadi gadis yang pendiam dan tertutup.
Dua  insan yang berlainan jenis itu tetap bertekad untuk mewujudkan cinta mereka, melanjutkan hubungan mereka meskipun tanpa restu dari orang yang sangat dicintai. Marlojong itu salah satu pilihan yang mereka tempuh sebagai bukti kekuatan cinta mereka.   Di antara galau hati umak memikirkan anak sulungnya yang membuat hancur hatinya.
***
Masniari menikmati kebahagiaan bersama suaminya, walaupun bayangan umak selalu hadir di saat Masniari mulai merasakan adanya gerakan lembut buah cinta mereka dalam perutnya. Masniari selalu berkata pada suaminya.
   “Bang alangkah enaknya kalau umak mau melihat keadaan kita ya, Bang?”
   “Sudahlah, Niar. Tidak usah berpikir yang macam-macam,” suaminya menarik napas panjang, “Mudah-mudahan anak kita yang bakal lahir ini bisa membuat hati ompungborunya lembut dan mau menerima kita.”
   “Mudah-mudahan, Bang.” Masniari menyambut lembut.
   Masniari masih terduduk di atas sofa. Pandangannya menatap tajam ke arah telepon yang ada di hadapannya. Menunggu-merindu. Mak, ini cucu umak akan lahir. Datanglah, Mak. Aku rindu, gumamnya. Tangannya mengelus lembut perut yang semakin membesar saja.
   Hari ini Parlindungan terlihat menikmati suasana santai di rumah dengan menonton acara televisi. Memang ini sudah kebiasaan rutinnya selama menunggu kelahiran si kecil. Sementara Masniari masih disibuki dengan kegiatannya mengurusi popok bayi yang sudah disiapkannya jauh-jauh hari sebelumnya, Parlindungan menbyibukkan diri dengan menyelesaikan hal yang lainnya. Masniari seperti menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Parlingdungan cemas.
“Bang, aduh cepat. Sakit…”
Parlindungan bergegas. Ada perasaan gembira sekaligus cemas. Dia merasa tanda-tanda kelahiran sudah mulai tiba. Merekapun bergegas ke rumah sakit.
“Bang, aku ingin menelepon Umak,”ujar Masniari seketika,”Tolong, Bang. Hubungi Umak. Aku ingin bicara sekaligus meminta maaf.”
Parlindungan segera memberikan HP. Masniari bicara tanpa jeda. Panjang lebar mengu-sung kata-kata. Umak di seberang sana hanya mendengar tanpa kehadiran sepotong suara, begitu-pun Masniari sudah merasa sangat puas..
Detik berikutnya Parlindungan sudah berteriak kegirangan. Tepatnya setelah sejam pem-bicaraan Masniari dengan Umak berlangsung.
“Wah, laki-laki, Niar,” bisik Parlindungan girang ke telinga Masniari,Istrinya,”Namanya Halomoan. Ya, Halomoan.”
Parlindungan sengaja memberi nama anaknya dengan nama almarhum mertuanya. Ayah Masniari. Sosok lelaki yang kebapakan, yang sangat dicintai dan dikagumi Masniari sejak dari kecil. Memiliki tanggung jawab dan sayang pada keluarga.   Sesuai dengan perjalanan waktu, Halaomoan kecilpun mulai sudah memahami pengaruh yang didapat. Masniari selalu mengirim foto Halomoan untuk Umak di kampung. Dengan harapan Umak mau melihat pahopunya, menatap wajah cucunya.
***
Bel berbunyi. Masniari bergegas. Di depan pintu tukang Pos berdiri di depan pintu sambil menyerahkan paket yang bertuliskan namanya Masniari.
“Umak…” tanpa sadar Masniari memekik menyambut gembira paket tersebut. Dengan rasa tidak sabar Masniari menggendong Halomoan dan membaringkannya di tempat tidur sambil membuka apa gerangan  isi paket umak ini. Tanpa terasa pipi mulus Masniari basah oleh air mata yang mengalir. Parompa, sehelai kain gendong semacam ulos kelahiran, yang bertuliskan nama Halomoan dan sepucuk surat yang bertuliskan ‘Mulakma hamu, Inang’. Masniari berteriak histeris. Ia gembira Umak memintanya pulang. ‘Terimakasih, Umak,’ jerit hatinya. Sambil menggendong Halomoan dengan kain parompa kiriman umak. Masniari berbisik di telinga mungil Halomoan, “Ini parompa kiriman ompungboru, nenekmu, Nak.”
***
  Alangkah bahagia Masniari tanda restu dari umak yang sudah lama dinanti akhirnya jadi kenyataan. Mulai hari ini lengkaplah sudah kebahagiaan keluarga mereka.
“Kak…Kak Niar,”Tiba-tiba Masniari dikejutkan dengan suara halus ditelinganya. Masni-ari tersentak. Di hadapannya, Masnauli, adiknya, memeluknya.
“Maafkan aku ya, Kak. Maafkan aku … ” Masnauli mengulang-ulang ucapannya.
“Iya anggi, iya adikku, kakak juga minta maaf,” balas Masniari sambil memeluk erat Masnauli. Umak yang duduk di sebelah Masniari memeluk kedua borunya, kedua anak perempuan kesayangannya.
“Inang, pandai-pandailah kau membawa diri di rumah boumu, di rumah mertua perempuanmu.”
“Iya, Umak. Terimakasih,” tangis bahagia bercampur haru pun pecah, mengiringi langkah kaki Masnauli mengarungi bahtera hidupnya.
***
“Umak selalu diberi kesempatan untuk duduk di punggung kerbau, menikmati sore yang indah,” Umak menarik nafas panjang,” Dan setelah dewasa Umak selempangkan ulos tenunan sendiri melingkari leher Amangmu di acara manortor waktu itu.” Dan di acara semeriah ini, setelah pembicaraan tentang Umak yang manortor dengan Amang ,ia kelelahan. Tanpa sadar Umak tertidur di kursi bamboo buatan Amang.
Bahagian akhir cerita hampir selesai. Aku terduduk mengenang. Sejak itu aku tak tahu Umak berada dimana. Aku baru tahu Umak sudah meninggal dunia. Kabar itu kudengar, ketika aku duduk dibangku SMA. Aku baru sadar mengapa Tulang memaksaku untuk tinggal bersa-manya di Jakarta.   Sebagai anak tunggal, aku ingin mengunjungi pusara Amang dan Umak. Tulang selalu mengajakku jalan-jalan, setiap selasai dari pemakaman. Termasuk menikmati acara Manortor yang selalu diceritakan Umak. Dan malam ini, jelas aku berada disini.
Orang-orang segera mengenaliku, ketika Tulang mengajakku berkunjung ke tempat para handaitaulan. Rasa kagum dan kasihan seperti melebur, membatu. Setelah leleh kami pun pulang ke rumah ompung, tempat aku dan Tulang menginap untuk beberapa minggu. Amang bersaudara hanya bertiga. Dua laki-laki, dan satu perempuan. Kami selalu saja berkumpul-kumpul menyam-but malam.
***
   Hiruk pikuk kian mengetuk, seolah riuh pesta perkawinan saja. Ada debar terdengar. Gordang mulai dipalu.  Dalam pikiran dan hatiku yang kian tak menentu.
   Dan sebelum kembali ke kota akupun diupa-upa. Orang-orang telah berkumpul me-nyambut malam. Hiruk pikuk kian mengetuk, seolah riuh pesta perkawinan saja. Ada debar terdengar. Bagas Godang semakin sesak. Alaman Bolak terasa menyemak. Gordang mulai dipalu, Gordang Sambilan membahana. Sembilan buah gendang dengan ukuran berbeda-beda. Terbuat dari kayu dan kulit lembu. Dimainkan tujuh orang pemusik. Variasi pukulan dipadu sedemikian rupa, sehingga menghasilkan gelombang irama yang khas. Seperti suara alam. Tampak penabuh gendang paling ujung menari-nari. Sesekali matanya terpejam, larut dalam irama. Bagai digerak-kan kekuatan mistis, ia melompat-lompat. Terkadang menunggangi gendang sambil memukul. Seperti kesurupan. Meski begitu atraktif, pukulannya tak pernah sumbang. Berbeda dengan Onang-onang.
Di Sopo Godang para petinggi kampung telah hadir. Juga Kepala Kuria. Aku ada diantara mereka. Duduk di atas tikar pandan berlapis dua , kedua ujungnya disatukan dengan menjahitkan kain warna merah pada keempat sisinya. Dalam bahasa adat , ini disebut amak lampisan.
“Ambilkan Pangupa!” perintah Bayo Datu. Seseorang datang menating nyiru. Kepala kerbau diletakkan di atasnya, beralas daun pisang. Di sampingnya, seseorang lagi menating piring besar bernama pinggan pasu, berisi bahan pangupa lainnya: nasi putih, tiga buah telur ayam, garam, ikan garing, udang, dan daun ubi. Juga ditutup dengan daun pisang. Paling atas ditutup dengan kain adat Tonunan Patani.  
“Turupa-upa...turupa-upa...turupa-upa...” ratap Bayo Datu memulai acara mangupa.   Seseorang memutar-mutarkan nyiru di atas kepalaku. Begitu panjang kalimat pangupa tersebut. Juga dibacakan beberapa mantra. Kakiku kesemutan. Tentu saja kutahan. Menurut adat, seseorang yang berpergian jauh harus diupa-upa untuk memberi kekuatan dan keberanian.
Setelah itu aku disuapi dengan makanan yang berada di Pinggan Pasu. Dicicipi satu persatu. Bayo Datu menjelaskan maksud dari setiap jenis makanan. Prosesi berlangsung alot. Juga sakral.
Sebelum pulang seorang gadis misterius mengirimkan hodong, bulung nipau, mare-mare, sontang dan pining. Sebuah isyarat cinta melalui bahasa daun, pertanda kesetiaan, cinta yang tak terpadamkan. Sebuah markusip penuh misteri. Biasanya seorang lelaki mengendap di antara pohon kopi, di bawah sinar purnama. Lalu di dinding kamar perempuan dibisikkan beberapa bait pantun asmara.
***
“Macam mana ceritaku?”
Parlindungan menyerahkan kertas yang berisi tulisan tangannya. Masniari tersenyum tipis.
“Kok Cuma senyum?”
Masniari diam. Pandangannya berkaca. Ia seolah berdilaog dengan malam.
“Belum selesai...”
Lampu padam.

Komunitas Home Poetry, 07-13

1. Bagas Godang, rumah adat suku batak mandailing
2. Alaman Bolak, alun-alun
3. Gordang Sambilan, alat musik bersjumlah sembilan gendang dengan ukuran yang berbeda
4. Onang-onang, lagu bernada lirih tentang romantisme hidup dan kemiskinan
5. Sopo Godang, gedung yang berada di depan Bagas Godang
6. Pangupa, semacam upacara keselamatan-doa selamat
7. Bayo datu, orang yang bertugas meminpin acara ”mangupa”
8. Turupa-upa..., kalimat pembuka dalam acara ”mangupa” 9.
RIAK SUNYI SUNGAI DELI
Oleh : M.Raudah Jambak
Aroma bau itu menebar, searah dengan hembusan angin ketika matahari tepat di atas kepala. Menebar bersama derasnya alur aliran sungai yang melintasi bawah jem-batan, terus sampai menghilang di ujung kelokan.
Gjebuuur…….
Aaakh………..
Suara benda berat yang jatuh menembus permukaan sungai yang masih menyisakan aroma bau yang menusuk hidung. Lalu-lalang kendaraan bermotor yang melintasi atas jembatan siang itu nyaris tak sempat menyisakan kesaksian atas peristiwa yang baru saja terjadi. Dan kisah itu tidak akan pernah terekam dalam ingatan jika saja seorang pemulung tua tidak berteriak minta pertolongan.
Seperti biasanya Ompung, si pemulung tua itu, hendak buang air besar persis di ba-wah jembatan. Dia melirik ke kiri dan ke kanan. Memastikan tidak ada orang yang mengintipnya. Paling tidak beberapa orang anak kecil yang suka usil melemparinya dengan batu kerikil di saat dia menuntaskan hasratnya, tidak sembunyi-sembunyi menanti kesempatan itu.
Pelan-pelan Opung berjongkok, ketika suasana dianggapnya sudah aman. Matanya masih mencari-cari, mengawasi sekitarnya. Di saat itulah matanya tertuju kepada seorang perempuan muda yang berdiri hendak terjun ke sungai. Opung hanya merasa heran ketika perempuan itu berteriak dan menangis tidak jelas. Dia menangkap gela-gat yang aneh. Segera saja niat yang hendak disalurkan tadi dihentikannya. Dia segera berdiri, hendak menghardik perempuan itu. Tapi, terlambat, perempuan itu sudah ter-lebih dahulu melompat. Dan tubuh itu tidak juga muncul ke permukaan. Kontan saja pemulung tua itu panik. Dia berteriak sekuat-kuatnya.
“Tolong…! Ada yang jatuh ke sungai…!”
Berkali-kali pemulung tua itu berteriak. Suaranya dihantam deru knalpot yang mem buru, bunyi aliran sungai, dan aroma yang dihembus angin. Akhirnya , seorang pemu-lung muda turun ke sungai. Pemulung muda itu pulalah yang menjawab kesaksian itu dengan berlari cepat menuju sungai, setelah mendengar suara parau Opung yang diba wa angin ke gendang telinganya. Diikuti beberapa orang temannya yang menyusul ke mudian. Juga bebrapa pengamen jalanan yang tidak sengaja melintas di atas jembatan. Begitu juga dengan penjual rokok dan beberapa orang pejalan kaki.
Kontan saja dalam waktu singkat areal jembatan dan aliran sungai menjadi ramai dengan pengendara sepeda motor yang berhenti hanya sekedar menyaksikan peristiwa yang gratisan itu. Termasuk para pegawai sebuah plaza yang berdiri tak jauh dari sungai, melihat kerumunan orang banyak . Jalanan macet total. Polisi kemudian sibuk lalulalang pula menyelesaikan persoalan.
Di bawah jembatan, sepanjang aliran sungai beberapa orang telah masuk menyisir sepanjang aliran, seputar jatuhnya sosok tubuh perempuan muda yang menembus permukaan sungai. Aroma yang menyengat sepanjang tumpukan sampah dan warna permukaan sungai yang coklat kehitam-hitaman serta agak berlumpur itu, apalagi disaat musim hujan turun, tidak lagi menjadi halangan.
Harapan ternyata tetaplah selalu ada. Beberapa orang masih memiliki nurani. Mere ka tidak memperdulikan lagi aroma yang “mewangi”, terus melakukan pencarian. Di antara mereka masih sempat melihat tangan yang timbul tenggelam itu, seperti meng gapai-gapai.
“Ini dia! Telah kudapatkan!”
Seorang pemulung muda menarik pelan-pelan sosok tubuh perempuan yang sudah terlihat tidak berdaya itu ke bantaran sungai, mungkin lebih tepatnya parit besar yang penuh dengan tumpukan sampah dan warna permukaan yang sudah tidak jernih lagi, mencari tempat yang agak teduh, di bawah jembatan.
Demi melihat itu, orang-orang yang berkumpul penuh sesak itu segera meninggal kan tempat itu, termasuk Polisi yang menganggap situasi sudah terkendali. Ada yang mengelus dada. Ada yang menggelengkan kepala. Ada yang senyum-senyum sendiri. Dan ada pula yang setengah gila, tertawa-tawa sendiri. Entah apa yang sedang berkecamuk dalam pikiran orang-orang itu. Pastinya tinggal beberapa orang yang masih perduli, mengitari ,Tiur, perempuan muda yang mencoba bunuh diri itu. Dia masih belum bicara setelah mengeluarkan air sungai yang sempat tertelan itu.
“Bagaimana dia?” si Pemulung tua itudatang menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Beberapa orang pengamen jalanan menyingkir memberi ruang.
“Tunggu saja, Opung. Sebentar lagi dia pasti sadar!” seorang penjual rokok, yang biasa mangkal di seputaran Deli Plaza, yang ikut terjun menolong, memberi penjelas an, tetapi si pemulung muda itu segera menukasnya:
“…dia sudah sadar, Pung! Hanya saja badannya masih lemas. Tadi dia berusaha un tuk bertahan hidup. Dia ternyata masih punya keinginan untuk hidup, masih punya ha rapan, seperti harapan orang-orang yang hidup di sepanjang aliran sungai yang meng hitam ini. Setahuku sudah yang ke sekian kalinya si Tiur melakukan ini. Terutama se belum Opung bergabung dengan kami. Entah apa penyebabnya, setiap aroma yang me nusuk hidung itu terasa begitu menyengat, detik berikutnya dia muntah-muntah dan tidak berapa lama setelahnya, Tiur menerjunkan dirinya ke sungai. Saat itu matahari tepat di atas kepala. Dan kejadian ini lebih parah dari sebelumnya!”
“Mungkin dia hamil? Atau keracunan barangkali?”
“Coba saja Opung periksa. Kemungkinan itu pasti ada. Tapi mengapa harus bunuh diri di saat matahari meninggi tepat di atas kepala, dan aroma sungai yang mulai me nyesakkan dada?”
Lungun, si pengamen jalanan, yang lebih memilih diam, merasa terheran-heran.
“Mungkin pengaruh ngidam?”
Darman, si pemulung muda itu, terdiam. Dia berpikir, apakah pengaruh mengidam sampai seburuk itu? Ada semacam perasaan cemas dalam kepalanya. Sekarang dia le bih cenderung sebagai pendengar saja. Matanya tak lepas-lepas memberi sinyal kepa da Lungun butuh kejelasan.
“Apa memang sudah lama dia tinggal di sini? Sebelum Opung?” selidik Opung selanjutnya.
“Lebih lama memang dari Opung,”jawab Lungun,”Tiur sekarang tinggal tepat di bawah jembatan ini, pergi meninggalkan rumah Inangnya di pinggir sungai sebelah sana.”
“Begitu, ya,” Opung berpikir sejenak,” yang di rumah kardus itu? Sendiri saja??”
“Dulu Saodah pernah tinggal dengannya. Sekarang Saodah menempati rumah Inang Tiur yang sudah lama kosong. Inang Tiur menghilang. Tiur tak mau lagi me nempatinya, walau dibujuk Saodah berkali-kali. Padahal keberadaan Saodah di rumah Inang Tiur itupun atas desakan Tiur sendiri. Dan biasanya saat ini Saodah sedang ngamen di simpang Petisah.”
“Tolong panggilkan. Opung mau menanyainya, Ucok!” seorang tukang semir cilik yang ditunjuk Opung mengangguk, segera berlari.
“Apa dia hamil, Opung?”
Perempuan tua itu hanya menggeleng lemah. Tidak berapa lama kemudian Tiur duduk perlahan. Dia muntah-muntah. Matanya melotot. Segera dia berdiri dan berlari ke arah sungai. Hampir saja dia menceburkan diri kembali kalau Darman tidak segera mencegahnya. Tiur meronta-ronta. Darman memperkuat cengkramannya. Dia mena han sekuat tenaga, agar perempuan dalam cengkramannya tidak terlepas. Tapi Tiur jadi semakin menggila. Dia semakin meronta, memandang jijik dan muak ke arah Dar man. Mulutnya menyumpah. Tangan sebelah kanannya, yang tidak dicengkram, me raih-raih sesuatu di atas tanah. Mengambil batu, dilemparkannya ke arah Darman. Cengkramannya terlepas. Tiur terguling-guling. Tubuhnya yang hampir dipenuhi pa nu dan kurap itu, berdarah, tergores kerikil tajam yang tersebar di tanah. Tubuhnya baru terhenti bergulir di atas tumpukan sampah yang sudah membusuk. Belum sempat yang lain sadar dalam keterpukauan, Tiur segera terjun ke sungai. Untung saja, kali ini, Lungun menarik kakinya.
Tiur terjerembab. Dia kembali mengamuk. Dia menyerang dan menyumpahi Lung un habis-habisan, menggumulinya. Lungun tidak siap. Dia melakukan perlawanan se-bisanya. Saling pukul, saling jambak dan saling cakar terjadi. Tiur memaki-maki. Ka ta-kata kotor mengalir deras dari mulutnya bersama sampah yang mengalir di deras nya aliran sungai yang mengalir. Jerit penderitaan begitu pekatnya. Arus kehidupan yang tidak mudah di duga kemana bermuara. Begitu tipisnya perbedaan antara harap an dan kesengsaraan di ruang kenyataan. Dia hadir dan mengalir begitu saja. Bunyi air yang mengalir, deru knalpot, dan kecipak dayung perahu sampah berpadu dengan riak napas kehidupan yang semakin pekat.
“Plak!”
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Tiur. Lungun berteriak sekeras-kerasnya. Modal suara yang terbina ketika menjadi kernet angkot sebelumnya ternyata tidak mampu menggetarkan Tiur. Tamparan, tendangan dan pukulan silih berganti men-darat di muka, perut dan dada Tiur disertai bentakan dan teriakan….
Mangidok au, Inang…!”[1]Tiur terguling, Tiur histeris! Dan pukulan Lungun kian tak terbendung.
“Tidak tahu diuntung! Tidak tahu ditolong! Apa masih belum kapok ? Ha!?”
Tiur tengkurap. Dia menangis sejadi-jadinya. Hatinya pedih bersama darah yang me netes dari tubuhnya yang tergores. Bercampur bersama sisa pekat air sungai yang ter- tinggal dan aroma sampah yang memabukkan. Lungun menghentikan hardikan dan pukulannya.
“Apa maksud kau! Cakap kau, cakap!”
Tiur tidak juga bicara. Dia menatap garang kepada Lungun. Baginya Lungun tidak lebih baik dari sampah-sampah yang membusuk sepanjang bantaran sungai. Lungun terpanggang birahi. Tamparan demi tamparan kembali mendarat di muka Tiur.
“Kemasukan hantu sungai ini kurasa kau!”
Lungun terus melayangkan pukulannya ke arah Tiur. Tiur sudah tidak merasakan apa-apa lagi. Kesakitan baginya sudah menjadi hal yang sangat biasa. Penderitaan adalah menu hidupnya sehari-hari. Dan untuk itulah Tiur masih hidup sampai seka rang, ternyata!
Dari jauh Saodah berlari mendekat,diiringi ucok di belakangnya. Demi melihat itu Opung segera mencegahnya.
“Tiur kemasukan. Kau tenang saja ,”bisik Opung.
Saodah terdiam. Pikirannya mengawang kepada Wan Nurdin, ayahnya, yang menurut cerita ibu sangat memegang teguh adat, tetapi ternyata tidak kenyataanya. Ibu Saodah menceritakan tentang mandi bergimbar[2]. Mandi dengan mengenakan pa kaian pengantin, dan juga saling siram, dilanjutkan menyirami orang tua, famili dan tamu-tamu yang ada sepanjang bantaran sungai. Dimaksudkan pengantin harus siap dan tabah menghadapi segala cobaan yang bakal datang, baik dari Yang Maha Kuasa, maupun dari pihak orang tua, atau lingkungan masyarakat sekitarnya.
Prosesi diawali dengan peminangan oleh keluarga pihak pria kepada keluarga pihak wanita. Jika dicapai persetujuan kedua belah pihak, maka diadakan pertunangan yang dilaporkan kepada pihak wanita. Seandainya pihak wanita membatalkan pertunangan, mereka harus membayar dua kali uang antaran.
Biasanya, pesta dimulai dengan berbalas pantun sebelum mempelai pria diperboleh kanmasuk “menjemput” sang istri. Sehelai kain dibentangkan di depan pintu masuk dan dimulailah berbalas pantun. Dan jika tamu-pihak pria-kalah dalam berbalas pan-tun, sang pengantin tidak dibenarkan masuk.
Jika menang dalam berbalas pantun, maka diperkenankan masuk. Setelah masuk upacara nasi hadap-hadapan pun dilaksanakan. Berbagai aneka makanan dan pangan an dihidangkan. Yang terutama adalah pencabutan bilahan bambu –minimal sembilan bilah, melambangkan angka kesempurnaan-yang ditancapkan didalam nasi hadap-hadapan tersebut. Daging ayam ditusuk di tiga ujung bambu. Sementara jumlah bam-bu yang tidak ada daging ayamnya lebih banyak. Ada perlombaan antara kedua mem-pelai. Mempelai yang mendapatkan dua bilah bambu yang ada daging ayamnya, men-jadi pemenang. Anehnya, jika sang istri yang menang, maka kata orang-orang tua, alamatlah si istri yang “menguasai” suami.
Saodah tersontak. Mengenang bagaimana ayahnya memukuli ibunya yang ingin bu-nuh diri, menceburkan tubuhnya ke sungai. Ayahnya berhasil menyelamatkan ibu, karena sungai yang jernih waktu itu, memperlihatkan sosok ibu yang tenggelam. Tapi pukulan dan tamparan justru yang diberikan. Alasannya ibu kemasukan hantu sungai.
Padahal menurut cerita ibu di suatu ketika, ayah merasa dipermalukan, sebab kalah dalam acara berbalas pantun waktu itu. Tapi ada pula yang mengatakan,ayah selalu mengulang-ulang kalau ibu gagal halua[3]katanya ibu sudah terenggut keperawanannya di bantaran sungai ketika itu.
Yah, memang bedanya sungai waktu itu begitu jernihnya. Pandangan kita dapat menembus permukaan sampai ke dasarnya. Bebas polusi. Bebas sampah. Pemukiman tidak sepadat sekarang. Restauran, hotel dan plaza hampir jarang. Lain halnya dengan sekarang, sepanjang sungai dipenuhi dengan limbah dan sampah. Ditambah lagi se-karang telah menjadi tempat untuk menghabisi nyawa diri sendiri dan orang lain.
Persis seperti sekarang ini. Lungun memukul Tiur habis-habisan. Namun, Saodah sudah tidak sabar lagi untuk menghentikan perlakuan Lungun terhadap Tiur, dan ingin memaki orang-orang yang bisanya hanya berdiri mematung. Kesabarannya telah habis saat ini. Segera ia melepaskan cengkraman Opung, untuk menghentikan tindakan Lu-ngun. Sepanjang aliran sungai matahari menyengatkan sinarnya pada riak yang ber-loncatan di atas limbah sampah dan bebatuan.
“Jangan kau teruskan, Bodat![4]
“Dia kemasukan , Ito.![5]
“Sok tahu kau!”
“Kemasukan hantu sungai!”
“Tutup moncongmu !” Saodah meraih Tiur, membantunya berdiri.
“Hei, hantunya belum keluar!” Lungun meraih kembali Tiur. Terjadi aksi tarik me narik.
Masing-masing dengan kekerasan hatinya. Sungai mengalir membawa limbah sampah bersama warna yang buram, seburam suasana yang hadir saat ini. Debu yang berterbangan dari atas jembatan. Tatapan mata saling beradu garang. Dan Opung me-mahami situasi ini.
“Sudah! Biar Opung dan Saodah saja yang mengurus Tiur!” Opung meraih Tiur,“yang lain pergi sana! Bubar!”
Lungun terdiam. Darman tercenung. Ada rasa was-was dalam pikiran mereka. Pengamen, pemulung, dan tukang semir yang lain tidak ambil pusing lagi. Mereka kembali menebar, menyebar, mengutip rimah-rimah harapan kehidupan yang mung kin masih tersisa di sepanjang sungai maupun simpang-simpang jalan. Menyetop ang-kot untuk berhenti dari persimpangan yang satu ke persimpangan berikutnya. Semua kembali dengan kesibukan masing-masing. Lambat tapi pasti seperti kitaran matahari yang lamat-lamat tenggelam dan kembali terbit di pagi hari. Opung, Saodah dan Tiur telah terlelap membagi sepi.
*******
Di rumah kardusnya Tiur dan Saodah terduduk menikmati sisa teh semalam. Sisa darah yang mengering telah mulai terkelupas. Opung masih berselimut rindu dendam.
Betapa Saodah tidak akan pernah melupakan Tiur. Saodah tidak akan pernah melupa kan tragedi itu. Ketika itu hujan lebat turun, air sungai sudah lama membuncah. Sao-dah mendapatkan dirinya sudah berada di atas bubungan atap rumahnya. Dia sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi selain dirinya. Ingin rasanya ia memanggil Ibu dan ayahnya, tapi tenggorokannya terasa tersumbat. Tidak ada pikiran lain yang melintas, selain menyelamatkan diri. Di atas bubungan, Saodah meraih ranting-ranting kayu. Belum sempat tanganya meraih ranting pohon itu, sebuah terjangan air menerjangnya.
Saodah terbawa pusaran air. Dia masih berusaha untuk meraih apa saja. Berusahamelawan arus sungai yang meluap. Tubuhnya timbul tenggelam bersama tumpukan sampah yang juga terbawa arus.
Dalam hitungan detik pusaran arus itu semakin menggila. Saodah merasakan diri-nya dihempaskan kesana kemari. Rasa pasrah sudah menggelayuti pikirannya. Pada satu titikpasrahnya yang paling afkir, Saodah merasakan kekuatan yang luar biasa mengangkatnya dari pusaran arus sungai yang mematikan. Sayup-sayup Saodah mendengar teriakan yang menyayat:”bertahanlah, Inang! Hu salamatton do ho!”[6]
Detik berikutnya Saodah merasakan tubuhnya diangkat, di bawa terus menuju silau cahaya. Sesekali dia mendengar deru knalpot yang tidak asing lagi di telinganya.
“Peristiwa itu tidak akan pernah kulupakan,” ujar Saodah dengan air mata yang mengalir mencari aliran nya ke bantaran sungai,”jika kau tidak segera menyelamatkan aku dan membawa ke atas jembatan, mungkin aku entah berada di mana sekarang. Kaulah dewa penolongku!”
“Kau pembohong!”
Saodah terdiam. Suasana kembali sepi. Rumah kardus itu terasa semakin sempit saja. Opung masih mendengkur menyulam rindu.
“Kau tahu peristiwa itu. Dan kau tahu aku tidak bermaksud menolongmu!”
“Ternyata kaulah pembohong sebenar-benarnya. Kau terlalu egois. Mari lupakan masa lalu…”
Tiur tercengang. Bagaimana Saodah begitu mudahnya melupakan masa lalunya. Bagai-mana pula dia harus melupakan masa lalunya. Kekejaman ayah Saodah. Dan kekejaman orang yang telah menghancurkan masa depannya. Bagaiamana ia lahir dari rahim sungai, seperti cerita Inang, ibu angkatnya, waktu itu.
Ketika itu Inang sedang mencuci pakaian. Biasanya yang mencuci pakaian waktu itu cukup ramai di sungai. Entah mengapa hari itu hanya Inang. Dan Inanglah yang menemukan sebuah kotak yang terhanyut di permukaan sungai yang mengalir tenang. Segera Inang meraih kotak kardus besar yang biasa dipergunakan untuk mie instan itu. Alangkah terkejutnya Inang. Takut campur senang. Betapa ia takjub melihat seso sok tubuh bayi mungil. Sesosok tubuh bayi perempuan yang cantik.
“Kalaulah kau laki-laki aku akan adakan mangan indahan esekesek manupaupa. Atau jugapaebathon buha baju tu ompung na bao, serta tidak lupa tardidi.[7] Tapi tak apalah yang penting aku senang!”
O, betapa waktu itu kisahmu seperti Musa yang dininabobokkan di permukaan sungai Nil. Hanya saja mungkin kau tidak tahu bahwa Musa diselamatkan dari Fir’ aun yang zalim. Sedangkan kau hanyalah anak di luar nikah yang dicampakkan demi nama baik keluarga. Menyelamatkan nama baik. Puih !
Kisahmu sangatlah menyedihkan. Setelah kau menanjak besar, Inangmu yang seba-tangkara bermakam pula di sungai. Di bunuh. Dan mayatnya dicampakkan ke sungai terbenam di bawah tumpukan sampah yang membusuk.
Ketika Inang dan kau mencuci di sungai yang berwarna keruh. Seperti waktu dite-mukannya kau dulu. Di sekelilingmu detik-detik waktu mengurai sepi. Hanya satu dua orang yang terlihat membuang sampah dari atas jembatan. Atau anak-anak yang berlari terburu-buru hendak membuang kotoran, sementara saudaranya berendam beberapa meter saja, selebihnya sunyi. Ketika matahari tepat di atas kepala tinggallah kalian berdua, setelah seorang perempuan tua mengambil air dari sungai untuk dima-sak.
Mula-mula kau tidak begitu curiga, ketika dua orang pemuda, yang biasa mengajak mu bercanda bagai orang dewasa, mendatangi Inangmu. Mereka berbicara berbisik sambil melirik penuh birahi padamu.
Tiba-tiba kau melihat Inang berdiri, sambil memaki, membentak kedua pemuda itu. Memukuli mereka dengan kain cucian bertubi-tubi.
“Apa bisa kalian, ha!?. Kalian hanya pengamen jalan dan juga pemulung. Usia kalian pun masih belum cukup. Mau kalian kasih makan apa anakku, ha?!”
Kau begitu ketakutan ketika pukulan bertubi-tubi Inangmu dibalas dengan tusukan sebilah pisau, tepat di jantung Inangmu. Seketika Inangmu roboh. Darahnya mengalir sampai ke sungai menambah pekatnya permukaan sungai. Tidak sampai di situ saja, tubuh renta yang sudah tidak berdaya itu dicampakkan begitu saja ke sungai tepat terbenam di bawah tumpukan sampah yang membusuk. Di saat itu pulalah kedua pemuda itu pergi begitu saja, setelah menuntaskan hasrat kelelakian mereka padamu.
Sakit yang luar biasa dari robeknya keperawananmu tidaklah begitu kau rasakan. Tapi luka di hatimu cukup dalam, melihat Inang yang terbenam tanpa nyawa tanpa kau bisa berbuat apa-apa. Hatimu remuk redam. Usiamu masih begitu belia ketika itu, tujuh belasan, dan begitulah, kesakitan yang dirasakan dengan mengalirnya air dari sungai matapolosmu itu, mencabik-cabik jiwamu, meninggalkan luka yang menahun, bahkan sampai saat ini! Seandainya saja rasa perduli dan bertanggungjawab terpeliha-ra baik, maka mungkin suatu permasalahan tidak terjadi dengan begitu buruk, seandainya juga disertai dengan rasa kasih sayang atas nama kemanusian.
Seandainya saja kedua orangtuamu bertanggungjawab. Seandainya saja Inang tidak terbunuh. Seandainya saja pembunuh itu diberi ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya. Atau seandainya saja limbah sampah tidak menumpuk busuk. Dan seandainya Saodah tidak segera hadi, dan tidak pernah hadir. Ternyata hanya sekedar berandai-andai saja, mimpi menyulam daur kehidupan yang penuh jebakan rahasia. Membentang pada sungai yang dipenuhi limbah sampah yang menumpuk busuk dari pabrik, restauran, hotel, plaza dan pemukiman penduduk. Ternyata masih ada setetes harapan. Sungai yang kotor itu tidaklah lebih kotor dari sungai hati manusia yang paling hina. Dipenuhi limbah iri hati. Dicengkram sampah nafsu serakah. Dan minus jernihnya kasih sayang. Aroma polusi hati menghantui di sana-sini. Tapi, tidak di hati Inang. Bukan di hati Saodah. Tidak pula di hati Opung. Apalagi di hati Tiur.
************
Aroma bau itu semakin pekat menebar, ke berbagai arah hembusan angin. Tidak lagi ketika matahari hanya berada tepat di atas kepala. Tapi juga dari terbit hingga terbenammya. Menebar bersama derasnya alur aliran sungai yang melintasi bawah jembatan. Membawa tumpukan sampah yang membusuk. Menghanyutkan bangkai kotoran kemana-mana. Bersama pekatnya berbagai limbah, semakin menghitam, menebarkan jubah kematian ke berbagai pelosok kehidupan. Dari balik jubah itu, jari jemari menghunuskan kuku-kuku hitam dan tajamnya, memanjang, mencengkram, menghadirkan hawa kematian…..
Dan cengkraman itu tidak mampu menghunjamkan kuku-kuku tajamnya ke tubuh Saodah dan Tiur yang saling berpelukan. Juga Opung yang tak henti-hentinya menye nandungkan nyanyian kehidupan. Bersama aliran sungai yang masih menawarkan setetes harapan.
Medan, 06-13

[1] Ampunkan aku ibu
[2] Mandi pada acara pengantin adat melayu, kadang dilakukan di tepian sungai
[3] Sebuah upacara pembuktian keperwanan pada adat melayu
[4] Ucapan makin khas medan
[5] Panggilan untuk perempuan (bahasa batak)
[6] Saya selamatkan kamu ibu
[7] Upacara kelahiran anak laki-laki dan pemberian nama

PESAN
Pagi datang menjelang membawa  angin dingin yang menusuk tulang. Embun yang masih menempel di daun-daun yang hijau nan indah. Emak langsung membersihkan dan membersihkan rumah. Dimana-mana barang berserakan. Sulong membenahi keranjang dagangannya yang akan di bawa ke pajak. Engah yang masih terkantuk berusaha membuka matanya.
“Lekas lah buka mata engkau,” kata Sulong.
“Iyelah, Bang,”jawab Engah.
Di kamar mandi sudah menunggu piring-piring yang berserakan. Setelah semua siap, barulah Emak dan Sulong pergi ke pajak Tanjung Balai. Pajak memang tidak terlalu jauh. Hanya berjalan kaki saja kita sudah sampai. Kira-kira 10 menit waktu yang dibutuhkan. Dari jauh sudah tampak gerbang kayu yang lapuk. Emak dan Sulong memasuki gerbang. Sudah banyak pedagang yang bersiap untuk berjualan. Kios Emak dan Sulong berada di paling ujung. Kedai yang terbuat dari triplek yang tipis dan empat penyangga kayu yang sudah berlubang di makan oleh rayap.
Sampai di kedai Emak dan Sulong membuka kedainya. Sulong membawa keranjang yang berisi kakeras yang harum wanginya meski sudah tidak hangat lagi dan dodolnya juga sangat harum membuat selera saja. Emak mengambil keranjang kecil yang ada di dalam kerang keranjang besar.
“Emak tak istirahat dulu mak, tak letihkah?,”tanya Sulong.
“Nantilah,maseh bebanah lah,”jawab Emak.
Kakeras adalah sebuah kue kering khas melayu yang berbahan baku tepung dan gulang tebu yang masih asli. Sedangkan dodol yang dibuat Emak adalah dodol yang paling laris di pajak Tanjung Balai.
“ Ayo kak, beli…beli… kakeras harum… dodol Emak ... murah…murah,” teriak Sulong.
Lelah berteriak,menarik pelanggan untuk membeli dagangannya. Akhirnya Sulong merasakan lelah. Sulong beristirahat duduk di samping Emak. Belum ada yang singgah untuk membeli. 10 menit kemudian datang seorang wanita yang cantik. Wajahnya yang cantik membuat Sulong terpukau.
“ Aih mak molek betul,”kata Sulong.
“Ih matalah… dose long,” kata Emak sambil memukul bahu Sulong.
“ Mayelah mak…?”kata Sulong sedikit kesal.
Emak kembali ke belakang kios menyiapkan dodol yang belum di bungkusin. Sementara sulong melayani wanita tadi. Wanita itu datang bersama dengan seorang bapak setengah baya.
“Abang berape kue ni?,” kata wanita itu lembut.
“ Satu,seribulah,”kata Sulong.
“ Tide kuranglah,”kata wanita itu.
“Tak, udah tak bise kurang lagi. Buntung awak nanti,”kata Sulong.
“Ya udehlah, nak beli 10 ye tapi Sembilan ribulah”kata wanita itu.
Tawar menawar terjadi. Emak yang berada di belakang kedai mendengar keributan antara Sulong dan seseorang. Kerena penasaran Emak keluar. Betapa terkejutnya Emak. Emak menatap tajam ke arah wanita itu. Wajah Emak memerah bagai api yang berkobar. Memang iya hati Emak di selimuti api yang berkobar besar.
“ Pergi kau dari sini…. Tak mau awak tengok muka engkau lagi,” kata Emak sambil mendorong wanita itu.
“Emak awak minta ampun. Awak emang salah mak, maaflah mak,”kata wanita bersimpuh di hadapan Emak.
“Sebab kau,keluarge awak musnah, tak pantas engkau di ampunkan,”kata Ema k berusaha melepas tangan wanita itu.
Sulong tampak bingung dengan kejadian yang di lihatnya. Sulong hanya mampu terdiam seribu kata. Belum pernah dia melihat Emak semarah ini. Apa yang terjadi? Apa maksud omongan Emak? Melihat mereka sama-sama menangis mengeluarkan air mata.
“Pergi…pergi… lekas pergi…,”teriak Emak.
Wanita itu tak dapat berbuat apa-apa lagi. Akhirnya dia pergi meninggalkan kedai Emak dan Sulong. Wajah Emak merah padam, air matanya jatuh berlinang. Sulong tampak heran melihat Emak semarah itu.  Setahunya dia tak ada dendam apalagi dengan orang lain.
Sulong tak berkata apapun setelah melihat kejadian tadi. Sulong membiarkan Emak tenang di dalam kedai sendiri. Semakin siang semakin banyak pula pembeli yang datang. Hari ini Emak dan Sulong menjual semua kue dan hampir habis tapi dodolnya tak satupun terjual. Mereka pulang membawa satu keranjang yang kosong sementara keranjang satunya lagi masih terisi banyak dodol.
Di perjalanan pulang Emak masih saja diam membisu tanpa mengeluarkan kata-kata. Hati Emak bagai di hantam batu keras,bagai di cabi-cabik burung Elang. Rasa kesal,amarah dan dendam jadi satu.
“Emak tak ape-ape?,” tanya Sulong.
“Ye,hanya Emak ingat masa lampau, sebab wanita tadi tu,” jawab Emak.
“ Emak, maye kesalan wanita tadi tu?,” tanya Sulong.
“Udah tak usah di bahas, ayok lah balik,”kata Emak.
Wajah Emak masih dibasahi air mata yang terus jatuh berlinang. Sampainya di rumah, Sulong masuk ke dapur menaruh barang dagangannya. Sementara Emak masuk ke dalam kamar. Emak seperti bercerita dengan Abah. Sulong yang duduk di lantai sambil menyilangkan kaki berusaha berfikir apa yang tadi mebuat Emak marah. Ada hubungan apa Emak dengan wanita tadi. Rasa ingin tahu menghantui Sulong.
Setelah makan malam, Emak, Abah dan Engah langsung tidur. Sementara Sulong masih terjaga entah apa yang difikirkannya. Matanya msaih menatap langit-langit rumah yang hampir rusak.
v   
Sulong beranjak dari tempat tidur, kali ini dia bangun lebih cepat untuk menyiapakn semua kue dan dodol yang sudah di siapkan Emak kemarin sore. Tapi sebelum dikemasnya. Keu-kue itu di panggangnya lagi agar terlihat lebih hangat dan mengluarkan aroma yang wangi.
“Cepat kali engkau bangun, long,”kata Emak dari belakang.
“Tak boleh tidur awak semalam,”kata Sulong.
Seperti biasa, setelah semua selasi barulah Emak dan Sulong pergi ke pajak bersiap untuk menjajakan kue-kuenya. Emak membawa semangat yang tinggi. Sulong membuka kedainya. Tanpa menunggu lama sudah banyak pembeli yang datang. Setelah semua pemebeli di layani. Emak menyuruh Sulong mengantarkan kuenya. Sulong pun pergi, karena jaraknya cukup jauh Sulong pun meminjam sepeda pemilik kedai baju yang berada di sebelahnya.
Sampailah Sulong di alamat yang diberi Emak. Tanpa disadari orang yang memesan kue adalah wanita yang semalam membuat Emak marah.
“Awak Cuma nak ngantar kue ni,”kata Sulong.
“Ntar bang,bilangkan sama Emak kalau awak minta ampun, sebab kejadian sepuluh tahun yang lalu,”kata wanita itu.
Karena penasaran Sulong bertanya pada wanita itu dan wanita itu menjelaskannya panjang lebar. Mendengar cerita dari wanita itu. Wajah sulong pun memerah dan membentak wanita itu. Wanita itu hanya menangis. Kerena iba dan kasihan melihat wanita itu. Sulong pun memaafkan wanita itu. Tapi dengan syarat pergi dari Tanjung Balai dan jangan datang ke pajak Tanjung Balai lagi. Wanita itu menyetujuinya.
Sulong membawa kembali uang pesanan kue tadi. Tapi saat dia kembali ke kedai dia melihat lima orang lelaki mengacak-acak kedainya. Sulong langsung mearuh sepedanya dan bergegas berlari ke arah kedai. Emak sudah menangis tak berdaya menhadapai kelima lelaki itu.
“Hei… Mayelah, maye engkau buat ni?,”teriak Sulong.
“Sebab engkau tak mau kasih pesangon sama kite,”kata salah satu lelaki.
“Siape kalian?,”tanya Sulong.
“Kami ni preman di pajak ni,”jawab lelaki itu lagi.
“Awak tak mau bayar,buntunglah,”kata Sulong lantang.
Karena Sulong melawan, lelaki yang mengaku preman pajak itu pun mengacak-acak kedainya. Semua orang yang ada di pajak melihat tapi tak ada satu pun yang mau membantu. Emak menangis tersedu dan meraung sekencang-kencangnya. Sampai salah seorang preman menghantamkan batu besar ke arah ke penyangga kedai. Habislah kedai milik Sulong. Kedainya rubuh,penyangga yang sudah lapuk tak kuat menahan bahan batu besar yang di lempar oleh preman. Emak dan Sulong menghadapi semuanya. Sulong hanya membawa uang dari pesanan kue tadi.
Putus asa yang di landa Sulong dan Emak. Karena tak dapat berbuat apa-apa lagi Emak dan Sulong memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah, Engah yang sedang duduk di teras melihat Sulong yang  sudah babak belur terkaget-kaget.
“Ya ALLAH… mayelah bang?,”tanya Engah.
“Kedainya rubuh,tak bisa berjualan lagi kite,”kata Sulong.
“Ya ALLAH, cemanalah bang mau buat maye kite,”tanya Engah.
Sejenak suasana hening. Sulong hanya terpaku melihat Emak dan Engah berbincang. Di dalam Abah duduk sambil menangis mengeluarkan air mata yang mengalir tanpa henti. Mereka tak tahu mau melakukan apalagi. Sulong pun berfikir dan mendapatkan sebuah gagasan.
“Engah,engkau pande menari ye?,”tanya Sulong.
“Ye nape bang?,”tanya Engah kembali.
“Iyelah,engkau bisa buat sanggar tari lah,”sahut Emak.
“IYE…,”teriak Engah.
Besoknya Engah mempromosikan saggarnya pada anak-anak yang ada di desa Tanjung Balai. Lima hari kemudian Engah mendapatkan dua puluh lima orang murid. Semantara Sulong memainkan music yang akan mengiringi tarian Engah dan anak didikya. Bersama remaja yang tidak bersekolah Sulong memainkan beberapa alat musik khas daerah mereka yaitu Ceracap,Serunai,Rebab,Gondang Panjang dan Gondang Sembilan.
Sudah dua bulan sanggar mereka berjalan semakin hari semakin banyak peminatnya dan yang mendasftar sebagai murid di sanggar milik Engah. Musik yang merdu ditambah dengan tarian yang mendayu, sangat memikat hati.
v   
Malam menjelang, bintang-bintang sudah bertaburan dengan indahnya menghiasi langit. Sulong menuntun Abah yang meminta untuk keluar rumah. Abah meminta mau duduk di luar ingin merasakan semilir angin malam. Abah duduk di kursi goyang sementara Sulong duduk di bawah lantai.
“Bila Abah bisa jalan pasti kite gak macem ni ye,”kata Abah.
“Hah... maye bah. Tak boleh ngomong macam tu lah,”kata Sulong.
“Sebetulnya Abah tak mau engkau pande main alat beralun,”kata Abah.
“Musik bah, Kenapelah?,”tanya Sulong.
Abah diam sejenak tanpa berkata. Wajah Sulong juga terasa tak di alir darah dia penasaran apa maksud abahnya.
“Lalu dulu Abah punya sanggar tari,karena sanggar Abah lebih banyak yang datang jadi ada pesaing Abah yang tak suka,”kata Abah.
“Jadi cemana bah? Abah di celakakan. Jadi macem ni Abah tak bisa bejalan lagi dan tak dapat melihat,”kata Sulong.
“Pandelah engkau tebak cerita Abah,”kata Abah.
Sulong teringat dengan cerita wanita yang Emak tidak suka. Ternyata benar dia yang membuat Abah seperti ini. Apa yang di ceritakan Abah sama dengan cerita wanita itu. Sulong menatap Abah,
“Abah … tengok gerhana bulan,”teriak Sulong.
“Long, nanti kalau Abah tak ada lagi,engkau boleh tengok Abah di gerhana bulan ye,”kata Abah.
“Nape bah?,”tanya Sulong.
“Udah, itu nak Abah. Bila gerhane matahari pedih nak tengok. Bila gerhane bulankan elok bila engkau lihat,”jelas Abah.
 Mata Sulong langsung menatap gerhana bulan itu. Gerhana bulan sempurna yang indah sekali. Sulong mengerti apa yang di bilang Abah kalau berada di malam hari seperti ini.
Abah mau mengibaratkan orang yang baik dan berkerja keras dengan cara yang baik itu dengan gerhana bulan. Karena jika di lihat gerhana bulan dapat terlihat jelas tanpa harus menahan sakit. Tapi jika gerhana matahari di lihat dapat membuat mata sakit di ibaratkan dengan orang yang pendengki dan jahat.
v   
Keesokan harinya Sulong membuat kakeras kembali dia berjualan di depan gang desanya supaya bayak yang membeli kebetulan depan gang desanya adalah jalan besar yang sering digunakan untuk arus pulang balik. Jadi, pastinya banyak yang melepas letihnya. Hari ini Emak dan Sulong memulai semuanya. Semakin lama semakin banyak orang yang datang memebeli. Setiap hari Emak dan Sulong berjualan. Selama tiga bulan lebih mereka menjual kekeras. Suatu hari datang seorang bapak yang memeakai dasi dan jas. Bajunya sangat rapi. Ternyata dia pembisnis di kota. Dia mau memberi kemurahan hati pada Emak dan Sulong. Dia menawari toko roti yang ada di depan pajak Tanjung Balai kepada Sulong agar di kelola dengan baik.
Tanpa berfikir panjang Sulong menerima penawaranya. Sulong tak sabar untuk pulang ia ingin memberitahu Abahnya soal ini.
Sulong dan Emak sangat gembira. Di perjalanan pulang Sulong sudah bersorak-sorai dalam hatinya. Tapi,ketika sampai di depan pagar rumah sudah banyak orang yang datang. Emak dan Sulong berjalan masuk. Saat sampai didepan pintu di lihat Abah sudah terbaring kaku dengan wajah yang pucat. Engah langsung memeluk Emak.
“Abahhhhh……,”teriak Sulong.
 “Engah… nape ?,”kata Emak.
 “Tadi pagi Abah udah tak ada bang, tak lalu abang pergi,”kata Engah.
“Abah,tadikan Sulong dapat kerja. Kakeras Abah bisa di jual lagi. Banyak bah yang beli… Abah ….  Dengar Abah… Abah… bangun… lekas bah… Abah..,”kata Sulong yang seolah bergembira dengan kejadian tadi dengan air mata yang berlinang bercerita di depan jasat Abah.
Setelah semua keluarga berkumpul. Jenazah Abah di antarkan ke tempat peristirahatannya setelah di sholatkan. Sulong yang menopang keranda masih terkejut. Betepa cepat Abah pergi.
v   
Sebulan setelah kepergian Abah. Sulong ingat pesan Abah. Sulong mengelola toko kue dan di beri nama Kakeras Bulan Sulong. Sementara Sulong membuatkan sanggar tari untuk adiknya dengan nama Bulang Sanggar’. Kata Bulanterinspirasi dari mendiang Abah yang menjadi motivasi untuk Sulong, pada setiap pesan-pesannya.











Kasih  Isrun kat Laut
Abah menimang anak lelakinya yang masih berumur 2 tahun ini. Dengan suara merdunya menyanyikan lagu khas yang sering dinyanyikan untuk buah hati tercinta. Sambil mengelus kening wajah anaknya yang sudah terlelap. Setelah sang buah hati tertidur barulah Abah letakan anaknya di atas tempat tidur kayu yang kuat.
Tapi suara decitan kayu pada tempat tidur,membuat sang buah hati terbangun.
“Aduh inde … jangan bangun,”kata Abah.
Matanya melihat ke arah Abah perlahan wajahnya memerah karena masih mengantuk. Akhirnya anaknya menangis. Karena Abah tak mengerti mendiamkan anaknya. Abah pun berlari ke dapur mencari sang istri tercinta.
v   
Keesokan harinya Abah mengajak anaknya untuk pergi ke laut. Untuk mengajarkan pada anaknya pekerjaan sang Abah. Perahu nelayan sudah tersusun rapi di tepi-tepi sungai. Teman-teman satu perjuangan Abah menyapa Abah dan anaknya yang manis. Sang buah hati melempar senyum pada teman-teman Abahnya. Yang membuat teman-teman Abah bersorak geram melihat tingkah lucu buah hati temannya itu. Abah membawa buah hatinya pada sebuah perahu yang sudah rusak dan tak dapat di pakai lagi.
      “Ni dia Isrun tempat Abah kerja,”kata Abah menggendong anaknya.
      “Besar bah, Abah.. Abah.. apa itu?,”kata Isrun sambil menunjuk sebuah benda yang berada di belakang Abah.
      “Itu namanya Tombak,untuk tangkap ikan”kata Abah.
      “Tangkap ikan Abah,”tanya Isrun
      “Iya , nanti kalau Isrun udah besar Isrun pasti bisa jadi macam Abah sekarang,”kata Abah.
Setelah puas melihat-lihat kapal akhirnya Abah dan Isrun pulang ke rumah. Saat sampai rumah mereka makan malam dengan makannan yang sudah di siapkan Mak yang sangat enak. Setlah makan malam Isrun tidur dengan lelap. Malaikat kecil Abah dan Mak yang sangat disayangi mereka. Mereka menaruh harapan terhadap Isrun.
v   
Siang hari yang terik membuat Abah mengantuk. Kantuk yang di rasa Abah tak dapat di tahan lagi akhirnya Abah masuk ke rumah untuk beristirahat sebentar. Mak yang sedang asyik meracik makannan untuk nanti malam. Kebetulan hari ini Abah tak berkerja.
Isrun asyik menggiring bola yang terbuat dari kain-kain yang sudah tak terpakai yang di gulungnya menyerupai bola. Dia masih asyik bermain dengan sahabat karibnya. Asnan anak tukang bengkel kapal tempat biasa Abah Isrun membetulkan kapalnya. Mereka sering bermain bola di tepi laut tempat Abah sering melakukan pekerjaannya yaitu nelayan. Itu tempat favorit Isrun.
      “Oi Asnan tangkap bola ni,”kata Isrun.
      “Aduh.. saket. Ih.. awak belom siaplah,”teriak Asnan kesakitan.
      “Yah…ampun awak tak tahulah,”kata Isrun.
Karena merasa lelah dan kepanasan terkena sengatan matahari yang sangat terik,mereka pun mengakhiri permainannya. Dan duduk di bangku yang berada di depan bengkel kapal Abah Asnan sambil meminum air kelapa muda yang mereka ambil langsung dari pohonnya tempat Babak Kasim. Pancaran keceriaan dari wajah Isrun dan Asnan menambah keindahan siang hari.
Mereka masih duduk di bangku itu. Padahal sudah jam 3 sore. Tanpa bergerak sedikit pun dari tempat tadi. Asnan menguap tanda mengantuk. Sementara Isrun masih menahan rasa kantuknya. Merasa bosan akhirnya Asnan bangkit dari duduknya.
      “Jalan-jalan yok,”kata Asnan.
      “Kemane?,”tanya Isrun.
      “Ke ladang Mak Odah, ambil buah manggesnya, nak?,”kata Asnan.
      “Haaahhh betul,”kata Isrun.
Mereka pun bergegas pergi. Isrun sekarang sudah berumur 12 tahun sudah mampu membantu Abah di laut tapi terkadang dia malas karena dia tak berminat banyak pada laut dan memiliki trauma medalam. Tapi setiap Abah berlayar mencari ikan pada saat malam hari Isrun selalu mengantar dan menjemput Abah di tepi laut. Setiap pagi dan sore Isrun selalu menunggu Abah dengan membawa mainan ikan terubuk. Dia sangat sayang pada Abah.
Sampailah Isrun dan Asnan di rumah Mak Odah. Setiap hari mereka selalu mengambil manggis milik Mak Odah,karena Mak Odah terkenal sangat pelit sekali. Berbeda  dengan pemelik ladang yang lain. Mereka lewat dari belakang rumah Mak Odah. Mereka masuk dari lobang yang berada di dekat pagar kayu,lobang itu cukup besar jadi cukup untuk tubuh Isrun dan Asnan. Setelah itu mereka mengambil galah yang ada di samping pohon,dan mengambil manggis satu persatu. Setelah mendapat manggis yang cukup banyak akhirnya mereka pergi. Tapi, seorang anak perempuan melihat mereka dan berteriak kuat memanggil Mak Odah.
      “Makkkkk….,”teriak anak permpuan itu.
      “Aih mak, Asnan lekaslah,”kata Isrun.
Saat mereka berhasil keluar dari ladang Mak Odah. Mak Odah dan anak perempuan itu bergegas keluar dari rumah dan menuju halaman belakang. Tapi yang dilihat sudah tak ada. Isrun dan Asnan lari dengan napas yang terengah-engah. Tapi dengan tawa yang juga lebar. Mereka tampak senang sekali. Isrun termasuk anak yang sangat jail di kampong Labuhan Batu. Sampai-sampai hampir di usir dari kampong. Mungkin karena Abahnya orang baik jadi kejailan Isrun di maafkan oleh masyarakat kampong Labuhan Batu.
Mereka memakan manggis hasil curian tadi dengan lahap. Satu persatu manggis habis mereka makan tanpa satu pun tersisa. Tapi betapa pandainya Isrun dia menyimpan dua buah manggis untuk Abah dan Mak di kantong celananya tanpa di sadari oleh Asnan. Terlihat matahari terbenam, Isrun pun bergegas pulang ke rumah. Jika dia terlambat pasti Abah akan marah. Sesampainya di rumah Isrun bergegas mandi dan mengganti bajunnya. Sebelum pergi ke mushola dengan Abah. Isrun menitipkan manggisnya pada Mak. Agar di simpan kalau Isrun sudah pualng baru di makan bersam-sama.
Di mushola Isrun mengumandangkan iqomah dan adzan. Sementara Abah menjadi imam sholat. Selesai shalat Isrun mengaji dan menyetor hapalan juz Al-Qur’an yang sudah 1 tahun dia kumpulkan. Setelah semua selesai barulah Isrun pulang bersama Asnan. Saat berjalan pulang seseorang memanggil mereka.
      “Heiii…,”teriaknya.
      “Siape?,”tanya Isrun.
      “Hei engkau maling manggis tadi,”katanya.
      “Awak, salah tengok engkau,”kata Asnan.
      “Bukan engkau ja kawan engkau juga,aku tanda dengan rante punya engkau ”katanya dengan marah.
      “Ini ye,”kata Isrun.
      “Iye .. mana mangges punya Mak cik awak?,”kata anak perempuan itu.
      “Coba saje engkau ambil dalam perut awak,” kata Asnan.
Asnan dan Isrun berlari meninggalkan anak perempuan itu. Dari jauh tampak anak perempuan itu berteriak dengan kata-kata yang mengiringi suara yang keluar dari mulutnya karena kesal oleh perbuatan Isrun dan Asnan.
Sesampainya di rumah Mak yang sudah mengupas manggisnya menyiapkannya untuk Abah dan Isrun. Isrun memakan manggisnya dengan lahap.
“Engkau dapat manggesnye dari mana?,”tanya Abah.
“Dari ladang Mak Odah bah,”kata Isrun santai.
“Di kasi atau hasil maling engkau?,”tanya Abah.
“Hehehe ampun Abah,”kata Isrun.
“Esok engkau minta maaf sama Imay dan Mak Odah,”kata Abah.
“Iye bah,”kata Isrun dengan senyumnya.
“Eh ye bawakan beras merah Mak ya,”kata Mak.
Isrun hanya mengangguk. Selesai makan malam dan makan buah manggis yang tadi di ambil dari tempat Mak Odah. Isrun melaksanakan shalat Isya dan setelah itu tidur.
v   
Keesokan harinya Isrun bersama Abah datang ke tempat Mak Odah sambil membawa ikan terubuk bakar. Karena Isrun takut jadi dia berada di belakang badan Abah. Abah mengetuk pintu rumah Mak Odah. Saat pintu terbuka bukan Mak Odah yang membuka tapi seorang anak perempuan, diakan anak perempuan yang memarahi Isrun semalam.
“Assalamualaikum,”sapa Abah.
“Waalaikumsalam, wak,ada maye pa kemari?,”kata anak perempuan itu.
“Ih ini yang Abah bilang Imay,”kata Isrun terkejut.
“Maye engkau kemari,pergi..,”kata Imay.
“Imay,Isrun usah betekak kalian, mana Mak cik engkau?,”tanya Abah.
“Itu di dalam. Masuklah wak,”kata Imay.
Abah masuk bersama dengan Isrun. Di lihat Mak Odah sedang menenun songket. Imay berjalan mendahului Isrun dan duduk di samping Mak Odah membantu Mak Odah menenun. Setalah selesai menenun Mak Odah menyuruh Imay untuk membuatkan teh di dapur untuk Abah dan Isrun.
 Abah pun menyampaikan kedatangannya. Wajah Isrun yang tadinya ceria berubah menjadi pucat bagai tak aliri darah.
“Bileh maye Abah,datang kesinilah?,”tanya Mak Odah.
“Ini anak laki awak,dia semalam ambil mangges punya Mak tak ada bilang,”kata Abah dengan santai.
“Bukan awak tak mau bilang sama Mak,tapi sebab tak berani lah,”kata Isrun.
“Taka apa-apa udah biasa anak engaku ambil mangges di ladang awak,mungkin bila engkau besar bisalah engkau bantu Mak cik engkau ni,”kata Mak Odah.
Isrun hanya mengangguk-angguk saja. Dalam hatinya Isrun bertanya”kenapa Mak Odah tiba-tiba sayang sama awak,bileh mayelah. Padahal tak jarang Mak marah sama awak, macemlah,”. Selesai Abah berbincang-bincang dengan Mak Odah akhirnya mereka kembali pulang ke rumah. Saat di perjalanan seorang lelaki berbadan gemuk dengan badan yang pendek datang menghampiri Abah dia menarik Abah jauh dari tempatku. Sepertinya dia membicarakan hal yang penting dengan Abah. Wajah lelaki itu sangat serius. Isrun hanya menunggu dan memperhatikan dari jauh apa yang dilakukan Abah. Setelah selesai dengan pembicaraannya Abah kembali dengan wajah yang sangat kesal dan marah. Isrun takut menanyakan apa yang terjadi pada Abah. Isrun takut bila pikiran Abah terbebani apalagi jika menganggu kesehatannya. Sesampainya di rumah Isrun langsung duduk di tempat tidurnya seringkali melamun hal yang dia khawatirkan. Tanpa di sadari oleh Isrun Abah melihatnya dari balik tirai kamar. Rasa sedih dan kesal menghinggapinya.
v   
Mulut Isrun terbuka lebar,ia terbangun dari tidurnya. Di lihatnya jarum jam menunjukan arah tiga pagi. Isrun pun berniat unTuk tidur lagi tapi ternyata dia mendengar suara gaduh yang membuat rasa kantuknya hilang. Itukan suara Mak dan Abah. Suaranya seperti sedang bertengkar. Isrun hanya mendengar dari balik tirai kamar.
Setelah pertengkaran hebat antara Abah dan Mak. Isrun puun memberanika diri untuk melihat kejadian yang sebenarnya. Di lihatnya Mak menangis sementara Abah tak tahu ntah kemana. Di lihatnya lagi dengan seksama Abah membawa sebuah tas dan alat untuk menangkap ikan di laut. Abah ingin menjadi nelayan terubuk lagi. Di lihatnya Abah mempercepat langkahnya padahal Mak sudah bersikeras menghalangi Abah. Abah keluar dari rumah.
Isrun keluar dari kamar dan mengejar Abah. Dia terus mengejar Abah. Di pagi buta seperti ini Isrun tak menyangka Isrun di kejutkan dengan hal seperti ini. Hal ini yang sebenarnya membuat Isrun marah dan kesal. Dia mengejar Abah terus tanpa henti sambil berteriak memanggil Abah. Sesampainya di laut kapal Abah sudah mau berangkat tapi sekuat tenaga Isrun berlari menembus ombak yang dingin.
      “Abah …. Abah….,”teriak Isrun.
Abah yang melihat anaknya berjalan di tengah laut mencoba membalikan arah kapal yang di kemudikannya sendiri. Abah menarik Isrun naik ke kapal. Isrun kedinginan dengan ombak yang menerpanya. Anak buah kapal Abah membawa kapal ke tepi sungai.
      “Maye engkau kemari,”kata Abah.
      “Abah .. Abah bilang … Abah tak… mau mejaring ikan lagi,”kata Isrun tersedu.
      “Cuma sehari ja,tak usah takut lah,”kata Abah.
      “Kan udah sembilan tahun Abah tak menjaring ikan,”kata Isrun sambil duduk di kursi.
      “Udahlah tak usah takut. Abah engkau udah pande,”kata salah satu anak buah kapal.
“Isrun jaga Mak selama Abah di laut. Jangan lupa engkau buatkan kopi panas akar yang Abah ambil semalam ye,”kata Abah.
      “Abah tak lalukan?,”tanya Isrun.
Abah hanya mengangguk sambil berjalan naik ke kapal bersama dengan anak buah kapalnya. Melihat Abah pergi ke laut membuatnya sedikit cemas dan was-was.
      “Abah tiap pagi sama petang awak tunggu di sini Abah,”kata Isrun.
Abah hanya mengangguk sambil menatap anaknya dengan tatapan yang berbeda dari biasanya lebih istimewa. Sementara di tepi laut Isrun menangis sambil melambaikan tanganya untuk Abah. Dalam hati tangan Isrun menengadah meminta pada Tuhan agar menjaga Abah agar tetap sehat dan selamat selama menjaring ikan. Sudah lima tahun Abah tidak pernah menjadi nelayan lagi. Jadi,Mak dan Isrun merasa takut dan was-was jika Abah berada di laut.
v   
       “Makkk.. Mak…,”teriak Isrun.
      “Mana Abah,”kata Mak.
      “Abah nak menjaring lagi, awak tak mau lihat Abah menjaring lagi,”kata Isrun.
      “Sabar hanya tige hari ja,”kata Mak.
Isrun pergi ke laut untuk menunggu Abah. Padahal baru dua jam yang lalu Abah pergi meninggalkan rumah untuk menjadi nelayan. Isrun duduk di pasir putih yang sangat lembut. Saat duduk dia melihat sebuah kalung berbandul ikan terubuk. Di raba lehernya,baru di sadarinya bahwa kalungnya hilang. Lekas di ambil kalungnya. Saat sedang memakai kembali kalungnya. Terlihat Asnan sedang membawa layang-layang. Dia berlari ke arah Isrun.
      “Ahhhhh… Di sine engkau,udah aku cari-cari engkau,”kata Asnan.
      “Awak lagi tak mau bermain,”kata Isrun.
      “Mak mu udah bilang sama awak,tenanglah baliknya Abah engkau besok,”kata Asnan.
Dilihatnya kalungnya yang basah karena terpaan ombak. Untung saja rantenya tak hilang. Karena ini berarti sekali bagi Isrun. Masih teringat di ingatan masa lalu Isrun. Saat Abah memberikan kalugnya padanya. Dahulu waktu umur dia 5 tahun Abah memberikan kalung yang berbandul ikan terubuk.
      “Abah…Abah bileh apa ?,”tanya Isrun.
      “Abah mau buatkan ukir untuk Isrun,”kata Abah.
      “Mau tengok bah,”kata Isrun.
      “Ini dia,elokkan,”kata Abah.
Sambil menunujukan rantenya,mata Isrun hanya mampu melihat dengan tanda tanya dalam hatinya. Dia terus menatap kalungnya,memegang kalungnya dan memperhatikan dengan seksama kalung yang terbuat dari bambu yang berwarna hijau tua.
      “Abah.. ini ikan lah,’’kata Isrun sambil memperhatikan kalugnya.
      “Ini memang ikan. Di kata orang ini ikan terubuk,”kata Abah sambil mengfendong Isrun.
      “Ih boleh ikan terubuk. Emang apa maksud Abah,”kata Isrun.
      “Hahahaha.. Anak Abah ni lah, ikan terubuk ni dagingnya enak di makan,sisiknye elok bisa kita hias-hias,berenangnya wuihh.. cepat, pande hindarkan musuh. Abah mau Isrun macam Ikan terubuk yang bisa buat Abah bangga dan senang ye,”kata Abah.
      Memangnya harus bah,”kata Isrun.
      “Iyelah, dengar Abah, daging tu maksudnye biar enak di pandang orang bukan jadi orang jahat, sisik tu maksudnye biar Isrun jaya tak kalah dari petinggi daerah,bila ikan terubukken berenangnye cepat,kalau Isrun kerjanye,ilmunye bijaksane dan agamenye Abah mau cepat biar mengalahkan dukun dan tabib kampong ye,”kata Abah.
      “Oh… Abah ini untuk Isrunkan. Makasih ya Abah.. baik Abah,”kata Isrun
Isrun memeluk Abahnya. Mereka berdua saling mencintai dan menyayangi. Mengerti satu sama lain. Selalu bermain bersama tanpa memikirkan bagaimana keadaan mereka dan kondisi mereka. Kadang saat Isrun sakit Abah selalu membawa buah kelapa muda dan manggis buah kesukaan Isrun dan memakannya bersama. Dan biasanya obat manggis ini mujarab, setelah makan manggis itu besoknya Isrun tampak sehat dan bugar kembali.
v   
Isrun meneteskan air matanya dan air matanya jatuh tepat di atas bandul ranteya. Rasa kesal,sedih, marah dan cemas campur jadi satu. Dan membuat emosi Isrun tak stabil. Asnan yang berada di sebelahnya bingung melihat teman baiknya menangis sambil menatap kalung terubuknya itu.
      “Awak juga sama macem engkau,”kata Asnan.
      “Maye?,”kata Isrun.
      “Dulu awak punya rante macam tu tapi tak bandul ikan. Yang kasih Abah awak. Tapi setelah dia meninggal awak buang kalung itu jauh-jauh sebab asal awak lihat kalung itu rasa benci awak datang. Awak anggap Abah tak tepat janji sama Awak. Dia pergi setelah meninggalkan janji sama awak,”kata Asnan sambil menatap langit biru yang indah.
      “Awak tak benci tapi takut je,”kata Isrun sambil menangis terseu-sedu.
      “Awak tahu Run, udah lama awak sama engkau. Waktu tu Abah awak kasih rante,awak suka kali. Bandulnya gambar matahari di dalam matahari tu ada bulan. Tapi setelah Abah kecelakaan waktu di kereta uap tuh awak tak pernah mau pakai rante tu,”kata Asnan sambil mengeluarkan air matanya.
Mata Isrun terperangah saat melihat teman baiknya menangis. Rasanya baru pertama kali melihat Asnan menitihkan air matanya. Di lihatnya kembali laut itu. Di sampingnya Asnan membaringkan tubuhnya di pasir yang indah sambil menutup matanya.
v   
Matahari semakin lama semakin tinggi tak terasa sudah siang hari. Asnan yang dari pagi sudah menemaninya akhirnya tertidur di pasir yang lembut. Isrun tersenyum melihat temannya. Suara langkah kaki dari jauh terdengar dengan samar-samar. Dengan membawa rantang yang terbuat dari kayu tua, Mak berjalan ke arah Isrun. Hati Isrun terasa tersayat kaca yang tajam melihat Mak berjalan ke arahnya sambil menyeret kakinya.
Tertatih dia menyeret kakinya,sesekali terjatuh tapi dia dapat memnyeimbangkan rantangnya agar tetap berdiri tegak. Mata isrun berkaca-kaca melihat sang ibu tertatih dan merintih menahan sakit kakinya. Sedikitnya batu kerikil yang pasti sudah menancap di kakinya. Duri-duri tumbuhan bunga malu pasti menusuk kakinya yang tanpa alas. Tapi apalah arti sebuah duri-duri dan batu kalau anakku tak makan hari ini karena aku tak dapat mencegah sang ayah yang selalu menemaninya pergi. Asnan terbangun mendengar suara seretan kaki yang sangat jelas di telinganya. Asnan tak dapat berkata apa-apa dia terpaku melihat Mak yang menyeret kakinya sebelah. Melihat Isrun menangis tanpa bergerak sedikit pun.
“Mak marilah Asnan bantu ye,”kata Asnan yang berlari ke arah Mak.
Mak  memberikan tangannya yang lemah. Asnan memapah tubuh Mak yang lemah. Dan membawanya ke gubuk punya Isrun dan Asnan yang di beri nama “Raluh”. Isrun kembali menatap laut. Mak yang berkali-kali memanggil Isrun tak sedikit pun di hiraukan Isrun.
Asnan menghibur Isrun dengan membawakan makanannya ke arah Isrun dan menyuapinya dengan wajah seperti ibu-ibu yang mengurusi anak yang nakal. Tawa di wajah Isrun muncul. Dengan santai di makannya suapan demi suapan yang di berikan Asnan. Senyum di wajah Mak mebuat Mak senang sekali meski bukan Mak yang membujuknya untuk makan tapi makanan itu adalah buatan Mak.
Selesai makan siang, mereka tetap berada di laut. Sudah satu harian merka di tepi laut bersama dengan pasir dan dentaman air laut yang menjadi penghibur alam. Wajah Isrun masih terpaku dengan ujung laut apa kapal Abah akan pulang hari ini. Mak tertidur di gubuk raluh karena kelelahan menunggu Isrun dan Abah. Asnan menyelimuti Mak dengan sarung yang tadi pagi di pakai saat shalat shubuh.
Isrun hanya menatap sayu kemesraan yang di  antara kedua orang yang di kasihinya. Tapi semua belum berarti kalau belum ada Abah.
v   
      “Alahhh…. Isrun…. Tengok,”teriak Asnan.
      “Hah.. hah.. maye..!,”kata Isrun terbangun dari tidurnya dan berlari ke arah Asnan.
Matanya terperangah. Dari jauh tampak indah sekali. Banyak orang melambaikan tangan padanya. Salah satunya Abah.
      “Abaaaah….,”teriak Isrun.
Isrun berlari ke laut melewati laut dan terjangan semua ombak di terjangnya. Begitu juga Abah yang langsung melompat ke laut. Mereka berpelukan di tengah laut yang dalam. Semua orang hampir meneteskan air matanya.
      “Abah janji takkan menjaring lagi,”kata Isrun.
      “Iye tak bekilah lagi,udah ayuk balik udah dingin ni,”kata Abah.
Hati isrun pun tenang dengan sendirinya setelah melihat Abah pulang. Isrun mampu tidur dengan tenang kembali. Tapi itu hanya untuk beberapa jam saja. Diam-diam Abah bercerita yang sebenarnya pada Mak. Sebenarnya Mak tak akan mamapu memeberitahukannya pada Isrun.
      “Abah,senang kali lah Abah balik,”kata Isrun.
v   
Dua hari Abah di rumah membuat kebahagian yang mendalam bagi Isrun. Wajahnya tampak segar dan sangat berseri-seri. Begitu juga Mak yang sangat bahagia dengan senyuman yang terus dipancarkan oleh Isrun.
Selama dua hari ini, Isrun selalu pergi sekolah dengan Abah begitu juga pulang setalah pualng sekolah Abah mengajak Isrun ke pajak Ujung. Pajak yang berada di ujung kampung. Dan membelli sebuah topi nelayan yang sangat bagus. Itu di berikannya pada Isrun.
Tapi itu tidak bertahan lama karena ada maksud lain dari Abah. Memang hati Isrun senang. Tapi, hati Abah terasa tersyat karena kebohongan yang di buat. Dalam hatinya Abah selalu menangis jika melihat Isrun tertawa.
v   
     
Mata Isrun sudah tertutup dan masuk ke dalam mimpi yang indah. Tapi tidak untuk Abah dan Mak.
“Bilang sama Isrun Abah ikut ke kota bile dia tengok Abah tak di rumah,”kata Abah.
“Iye.. tapi berapa harilah Abah di laut,”kata Mak.
“Sepekan ye,”kata Abah sambil memberskan alat-alatnya.
Saat sedang bersiap mau pergi Abah berbalik dan berjalan ke arah dapur mengambil sebuah tongkat tua yang tampaknya sangat kuat dengan pegangan tangan yang berada di depan dan penyangga bahunya. Tongkat itu untuk Mak agar Mak bisa berjalan dengan baik. Mata Abah sedikit demi sedikit meneteskan air matanya melihat Isrun tidur dengan tenang. Di elusnya kepala Isrun. Masa lalu mengiatkan betapa kejamnya laut dulu. Tapi bagaiman pula ini satu-satunya jalan agar keluarganya dapat hidup.
Abah berjalan keluar dari rumah. Mak mengantar sampai laut. Ternyata di tepi sudah ada Asnan. Asnan bahwa Abah akan pergi. Dia menatap Abah dengan tatapan tak rela. Karena dia sudah pernah merasakan kepergian itu.
“Pak cik, jangan lupe “kasih Isrun kat Laut,”kata Asnan.
“Iye,”kata Abah.
v   
Tapi, Abah dan Mak belum mengerti betul anaknya. Dari balik pintu Isrun menangis tersedu mendengar Abahnya. Isrun memeng tak mengejar. Bila dia mengejar itu akan membuat Abah marah. Sebaiknya dia hanya mendengar saja dan menunggu Abah kembali. Dia pakainya rante terubuknya. Dan kembali tidur dengan air mata yang masih mengalir.
Matanya terbuka, isrun bangun dan bergerak ke arah sumur dan menimba airnya. Terdengar dari arah dapur suara percikan minyak. Bergegas Isrun mencuci mukanya dan berjalan ke arah dapur. Mak ternyata, pagi-pagi begini Mak sudah masak. Isrun memperhatikan Mak masak dan melihat bagaimana Mak memasak  Anyang. Makanan khas daerah labuhan batu makanan yang paling di sukai oleh Isrun. Beberapa sayuran di rebus setelah itu di tambah dengan parutan kelapa yang di sangria dengan bumbu bawang merah yang menggoda selera. Dan di tambah ikan terubuk bumbu kesukaan Isrun. Ikan terubuk adalah ikan yang hanya berenang melewati laut di Sumatera, dan juga Labuhan Batu. Jadi tak jarang ikan terubuk menjadi ke banggaan masyarakat Labuhan Batu
Teringat Isrun ke laut. Isrun langsung bergegas pergi ke laut. Dengan napas terengah-engah Isrun duduk di samping Asnan. Dia memandang langit biru. Asnan tersenyum sambil menutup matanya. Sementara Isrun terbengong dengan tingkah aneh dari kawan akrabnya ini. 
Sore pun berakhir,malam menjelang sudah malam tapi gak terlihat kapal menepi. Akhirnya Isrun pulang sudah satu hari Isrun berada di tepi laut. Sementara Asnan pulang karena kepalanya sakit. Sampai di rumah Isrun makan dan mandi. Setelah itu Isrun tidur.
v   
Setiap harinya selalu sama, pagi Isrun datang ke tepi laut sebelum ke sekolah. Setelah pulang sekolah Isrun juga datang ke tepi laut bersama dengan Asnan. Setalah makan siang Isrun datang ke tepi laut lagi sampai sore. Setiap harinya seperti itu sampai terkadang Mak sangat khawatir dengan kesehatan Isrun.
v   
Sudah 15 hari Abah tak pulang ke rumah. Seingat Mak, Abah hanya seminggu berada di laut dan setelah itu berhenti untuk menjadi nelayan kenapa bisa seperti ini jadinya.
“Mak…Abah bilangkan cuman sepekan je,”kata Isrun.
“Maye?,”kata Mak.
“Badai ni Mak, kasihan Abah,”kata Isrun lembut.
“Siape bilang Abah nelayan lagi,”kata Mak.
“Mak, masihlah ingat. Waktu tu, Mak jadi macem ni bile Abah tak ambil tombak tu,”kata Isrun.
“Usah mengoceh tu, jangan engkau kata lagi waktu yang lalu,”kata Mak dengan nada yang tinggi.
Suasana menjadi senyap dan sunyi. Hanya suara Guntur yang  menggelegar di luar. Mata Irun hanya menatap jendela sementara Mak hanya mampu beroda dengan persaan yang was-was.
“Aihh… Isrun.. Isrun…,”teriak seseorang dari luar.
“Maye Asnan…?,”kata Isrun.
“Abah… Abah…,”kata Asnan.
Tanpa berfikir panjang Isrun dan Asnan berlari. Sementara Mak di tinggal di rumah sendiriran. Dengan keadaan hujan yang deras dan kilat yang menyambar tak mengalahkan keinginan Isrun.  Sesampainya di laut terlihat kapal sudah terombang ambing. Di atas kapal sudah banyak orang yang melambaikan tangan meminta tolong kepada warga yang melihat kejadian itu. Dan terlihat Abah yang tampak kebingungan.
Tak harus menunggu lagi. Kapal Abah di hempas oleh ombak besar yang mengakibatkan kapal pecah dan karam di tengah laut. Kepanikan menjadi perasaan yang mengahmpiri Abah. Semuanya sudah melomapat ke laut.
Ingatan demi ingtan kembali terlihat di fikiran Isrun. Hal yang sama terjadi kembali. Abah terus berenang, hampir sampai di tepi sungai. Salah seorang nelayan yang panic melempar kayu kea rah tepi, tapi naas kayu itu mengenai kepala Abah. Abah tak sadarkan diri. Dan lama kelamaan hilang dari permukaan. Sementara orang yang melempar kayu tadi selamat sampai tepi.
“Abaaaaah…,”teriak Isrun dan Mak.
“Pak cik…,”teriak Asnan.
Tanpa berfikir panjang Isrun berlari melompat ke laut mencoba untuk berenang. Sebenarnya Isrun sangat takut untuk berenang. Tapi apa yang tidak untuk menyelamatkan nyawa Abah. Sementara Asnan menarik baju orang yang melempar kayu tadi dan langusng memukul wajahnya. Mak yang melihat kejadian itu pun menagis.
Sudah lama Isrun menyelam dan berenang mencari Abah. Tapi tak ketemu juga. Putus asa,gelisah dan sedih campur jadi satu. Ya Tuhan.. kenapa ini terjadi kembali.
“Ada Abah?,”tanya Mak.
“Tak ada, kan udah awak bilang semua jadi macem ni. Masih ingat Mak. Karena badai ni Mak jadi macem ni. Waktu Abah tenggelam Mak. Mak tinggalkan aku di sini,Mak susul Abah,”kata Isrun dengan nada yang tinggi.
“Iye, tapi semua selamatkan,”kata Mak.
“Satu tak selamat kaki Mak, karena kena karang kaki Mak jadi rusak macem tu,”kata Isrun.
“Isrunnn…,”kata Asnan.
Tapi percuma Isrun tak menghiraukannya. Dia tetap pergi jauh dari laut. Trauma besar sedang melanda hati Isrun. Sekali lagi dia menjadi saksi bagaimana kejamnya laut dan badai. Dan apalah arti laut bersama ikan terubuknya.
Segerombolan ikan terubuk berenang mengikuti arus dan berlompat-lompatan di atas permukaan laut. Sayangnya Isrun tak melihat itu dia malah pergi dari laut. Semua warga tercengang, bagaimana bisa ikan terubuk berenang di saat bafai yang kencang seperti ini.
v   
Di mainkannya ceracap dengan suara yang merdu di nyanyikan sebuah lagu yang sering di dengarnya saat masih berumur dua tahun. Semua anak kecil yang masih balita nyenyak  tertidur. Senyuman  Isrun terpancar dengan indahnya. Di sampingnya terlihat Asnan dan Imey yang sibuk menyelimuti balita yang tak berdosa. Balita yang mereka rawat adalah balita yang di buang dengan sengaja oleh orangtuanya. Karena letak kampung berada di paling pesisir jadi banyak para orangtu yang tak menginginkan bayi di buang atau di letakkan di dekat kampung.
Jadi sekarang Isrun, Asnan dan Imey lah yang menjaga anak-anak yang tak berdosa. Mereka menjadi malaikat bagi remaja-remaja yang ikut berpartisipasi di “Raluh Kasih kat Laut,”.
Selesai mengurus anak-anak asuhnya. Isrun pergi ke laut, di berdiri tepat di tepi laut. Dengan angin laut yang lembut membelai wajahnya.  Sudah tiga tahun Isrun hidup tanpa senyuman Abah dan tidak tahu sama sekali dengan keberadaan Abah. Mungkin Abah sudah bersama yang Maha-Kuasa di akhirat sana.
Rante yang Abah berikan beberapa tahun yang lalu masih ada di tangan Isrun dan selalu menjadi kebanggaan bagi Isrun.
“Abah memang tak kat awak di sini, tapi awak yakin Abah pasti selalu di sini duduk di atas laut bersama kaseh Abah,” kata Isrun dalam hati.
Dari jauh tampak Asnan dan Imay bersama Mak yang memperhatikan Isrun dengan senyum yang di bibir mereka. Isrun melihat kebelakang dan berjalan mendekati Mak dan kedua temannya dan bernajak pergi dari tepi laut.
v   
Setelah Isrun pergi dari tepi laut bersama dengan keluarga barunya yang di sayangnya. Muncul ikan-ikan terubuk yang melompat-lompat dari dasar laut ke permukaan laut  bersama dengan itu ombak menyisir pantai dengan lembut. Angin pun terasa lembut sama seperti pegangan tangan Abah yang sangat hangat.  Sama seperti senyum Abah yang selalu menyisir kegundahan hati Isrun. Sama seperti kejadian badai laut yang menghilangkan jasad Abah.































Tidak ada komentar:

Posting Komentar