M. Raudah Jambak
TORSA YANG
TAK SELESAI
Alunan merdu onang-onang di ruang tamu yang berasal dari computer yang selalu digunakan suamiku mengerjakan pekerjaannya,
membawa cerita masa laluku. Aku duduk di sebelah putri kecilku yang sedang tertidur,
beralaskan selembar ambal usang. Air mataku menetes perlahan, jatuh tepat di
atas pipinya yang putih dan bersih.
“Kalau kau rindu padaku, putar saja
onang-onang itu,” begitu selalu ia
katakan setelah mengecup keningku lalu pergi bekerja. Tidak berapa lama kemudian meluncur bersama mobil
dinas ke gedung Dewan.
Tetapi pagi itu, entah perasaan darimana aku berusaha untuk menahannya. Suamiku
hanya tersenyum.
“Aku ingin hari ini kamu
di rumah saja. Hatiku sedang tidak enak.”
“Tunggulah di rumah.
Putar onang-onang itu agar hatimu
tenang. Aku pasti pulang.”
Sepeninggalnya, aku putar onang-onang
itu dari computernya. Suasana terasa
menyenangkan sembari diiringi alunan musik onang-onang
yang mengingatkanku pada saat aku dan suamiku jadi raja sehari duduk di atas pelaminan dengan bulang yang menambah pesona mata yang
memandang. Mata kami selalu
beradu pandang, jemari saling meremas, hati melayang sampai ke angan-angan.
Suara yang lantang dan penuh wibawa keluar dari mulut Ompung Denggan yang mulai terlihat menggeriput. Acara Markobar terus menerus dilakukan. Pesta pernikahan yang sakral ini
terus berlanjut. Seluruh keluarga hadir menyaksikan pesta pernikahanku. Tak
terkecuali Parlin paribanku anak tulang Sori dari Singapura.
Halaman rumah umak yang biasanya muram karena belum satu tahun ayah, orang
yang paling dicintai umak, meninggal dunia, kini berubah menjadi lautan
kebahagiaan. Karangan bunga ucapan selamat atas pernikahan kami, Ulina dan
Doli, terpajang sampai ujung gang,
menutupi lopo Ompung Sihol yang ramai dikunjungi bapak-bapak untuk minum
kopi, tes manis sambil bermain catur.
***
Satu cerita hampir kuselesaikan. Aku segera bergegas. Orang-orang telah
berkumpul menyambut malam. Hiruk pikuk kian mengetuk, seolah riuh pesta
perkawinan saja. Ada debar terdengar. Bagas Godang semakin sesak. Alaman Bolak
terasa menyemak. Gordang mulai dipalu, Gordang Sambilan membahana. Sembilan
buah gendang dengan ukuran berbeda-beda. Terbuat dari kayu dan kulit lembu.
Dimainkan tujuh orang pemusik. Variasi pukulan dipadu sedemikian rupa, sehingga
menghasilkan gelombang irama yang khas. Seperti suara alam. Tampak penabuh
gordang paling ujung menari-nari. Sesekali matanya terpejam, larut dalam irama.
Bagai digerakkan kekuatan misitis, ia melompat-lompat. Terkadang menunggangi gendang
sambil memukul. Seperti kesurupan. Meski atraktif begitu, pukulannya tak pernah
sumbang. Berbeda dengan Onang-onang.
Di Sopo Godang para petinggi
kampung telah hadir. Juga Kepala Kuria. Aku ada di antara mereka. Duduk di atas
tikar pandan berlapis dua, kedua ujungnya disatukan dengan menjahitkan kain
warna merah pada keempat sisinya. Dalam bahasa adat, ini disebut amak lampisan.
“Ambilkan Pangupa!” perintah Bayo Datu. Seseorang datang menating nyiru.
Kepala kerbau diletakkan di atasnya, beralas daun pisang. Di sampingnya,
seseorang lagi menating piring besar bernama pinggan pasu, berisi bahan pangupa
lainnya: nasi putih, tiga buah telur ayam, garam, ikan garing, udang, dan daun
ubi. Juga ditutup dengan daun pisang. Paling atas ditutup dengan kain adat
Tonunan Patani.
”Turupa-upa...turupa-upa...turupa-upa...” ratap Bayo Datu memulai acara
mangupa.
Seseorang memutar-mutarkan nyiru
di atas kepalaku. Begitu panjang kalimat pangupa tersebut. Juga dibacakan
beberapa mantra. Kakiku kesemutan. Tentu saja kutahan. Menurut adat, seseorang
yang berpergian jauh harus diupa-upa untuk memberi kekuatan dan keberanian.
Setelah itu aku disuapi dengan
makanan yang berada di Pinggan Pasu. Dicicipi satu persatu. Bayo Datu
menjelaskan maksud dari setiap jenis makanan. Prosesi berlangsung alot. Juga
sakral.
“Nanti malam kau ikut Umak
manortor, Amang!” ujar Umak beberapa waktu yang lalu. Aku masih kelas lima
esde. Dan Amang sudah lama meninggal, sebulan setelah aku dilahirkan.
“Manortor? Apa itu manortor,
Umak?” Umak tersenyum.
“Manortor itu yang begini,
Amang’” Umak melakukan beberapa gerakan, yang masih asing bagiku.
“Oh, menari, Umak?” Umak kembali
tersenyum. Dia menarikku, lalu menyuruhku duduk di kursi kayu yang dibuat Amang
dari bamboo.
“Manortor, ya, manortor, Amang,”
Umak membelai rambutku pelan.” Tapi kalau kau bilang menari boleh juga. Bedanya
manortor tidak seperti menari biasa. Kalau menari hanya sebagai hiburan, manortor
itu sudah termasuk dalam adat istiadat kita. Dan nanti semuanya harus menari,
tanpa terkecuali.”
“Aku laki-laki, Umak. Aku tak
pandai menari.”
“Ingat ! Tanpa terkecuali.” Aku
masih kebingungan, Umak hanya tersenyum mengambang.
“Nanti juga kau akan paham,
Amang.” Gordang kian ramai dipalu. Hentakannya terdengar bertalu-talu.
Jari-jemari terus digerakkan sesuai irama. Begitu juga dengan kaki dan tangan.
Gerakan laki-laki dan perempuan ada sedikit perbedaan. Gerakan jari-jemari
diluruskan seperti menjepit sesuatu secara serentak. Gerakkan perempuan terasa
lebih gemulai. Sementara yang laki-laki terkesan lebih gagah.
“Manortor itu untuk apa, Umak?”
“Ya, untuk acara-acara tertentu,
Menyambut tamu, mengantar bagi yang berpergian
ke tempat yang jauh atau ajang mencari jodoh.”
Suasana sore begitu kontras dengan hamparan sawah depan rumah. Umak
berbicara padaku panjang lebar, bercerita tentang apa saja. Termasuk cerita
tentang tanah leluhur ini. Selalu menarik dan memancing rasa ingin tahu. Angin
yang berhembus selalu menghadirkan ketenangan dan rasa damai.
Cerita Umak semakin melebar kemana-mana. Tentang Amang yang jadi pengembala
kerbau ketika kecilnya. Aku tersentuh membayangkan Amang kecil bersama
rombongannya melintasi sore bersama kerbau mereka. Alangkah bahagianya,
merasakan kegembiraan bersama matahari yang perlahan menuju peraduan di
tengah-tengah hamparan sawah yang begitu luas.
Sambil mendengarkan cerita Umak, aku teringat kembali kisah Umak yang
sempat ia beberkan padaku, beberapa waktu yang lalu. Aku berpikir apakah aku
akan sampai pada kisah seperti ini.
***
Umak terduduk, memeluk kedua borunya. Suasana yang tenang dan damai itupun
berubah menjadi lautan air mata, ketika Masniari mengingatkan kembali bagaimana
awal mula rumah tangga yang damai itu dipertahankan. Suasana tegang sedikit
mencair melihat si kecil halomoan yang bermain-main, mengoceh tak tentu arah.
Masniari tersadar. Masa lalu itu selalu menghantui pikirannya. Ia lalu
duduk di atas sofa empuk sambil memandangi kedua buah hatinya yang juga sedang
bermain-main. Dering telepon kembali menghantam lamunan Masniari. Hatinya
berdebar. Tangannya tergetar. Suara di telepon yang begitu dirinduinya, lantang
bersuara.
“Inang, dua poken nai anggimu giot marbagas,’’ terdengar suara umak
bahagia. Masniari diharuskan dating menyaksikan acara yang dianggap sakral itu.
Apalagi Masniari adalah kakak tertua dari dua bersaudara. Ayah mereka sudah
lama tiada sewaktu Masnauli duduk dibangku SD. Tinggallah umak yang membesarkan
mereka dengan berjualan toge (makanan khas panyabu- ngan). Sambil membantu umak
berjualan, Masniari kuliah di salahsatu perguruan tinggi swasta di
Padangsidempuan. Di sanalah ia mengenal seorang yang telah menjadi ayah dari
anaknya kini.
Dua minggu kemudian Masniari dan keluarganya pulang ke kampung. Acara
pernikahan dengan adat yang cukup sakral dilaksanakan, dengan petuah-petuah
yang sakral pula (Markobar). Di tengah keramaian suasana itu yang dihadiri
seluruh keluarga dan snak famili
Masniari terhem pas dalam gelombang yang meluluhlantakkan hatinya, diantara
kegembiran yang tergambar di wajah semua orang Masniari teringat akan masa
lalunya yang menghantam keras perasaannya. Pertemuan dengan Parlindungan yang
ditentang keras oleh umak. Sulit rasanya umak melupakan bagaimana perlakuan
orangtua Parlindungan yang terkenal si toke beras pada saat Masniari masih
berumur satu tahun.
Ayah Masniari yang waktu itu hanya sebagai buruh
angkut di pabrik orangtua Parlin dungan membutuhkan pertolongan pinjaman uang
disaat keluarga terhimpit untuk biaya berobat Masniari yang sakit
muntaber.ditolak oleh umak si Parlindungan dengan alas an beribu alasan. Umak
hanya memendam itu dalam hatinya tanpa diketahui oleh anak-anaknya agar tidak
terbawa dendam oleh mereka, cukup hanya dia yang merasakannya. Bagai disambar
petir umak men-dengar pengakuan Masniari bahwa ia ingin menikah dengan
parlindungan.
“Umak, Bang Parlindungan giot manyapai au, Mak,” ujar Masniari mengutarakan
maksud Parlindungan yang mau melamarnya pada Umak. Lama Umak terdiam hanya memandangi
wajah cantik anaknya dan dengan bijak sambil menahan semua perasaan umak
menyabarkan Masniari agar memikirkan lagi maksudnya.
“Inang, nape do sidung sikolahmu,” ujar umak agar Masniari menyelesaikan
pendidikan-nya dulu dan tidak memikirkan hal itu. Hari berganti hari, bulan
berganti bulan, Masniari tetap pada pendiriannya ingin menikah dengan
Parlindungan karena mereka sudah siap berumahtangga apalagi kuliah mereka hampir
selesai. Masniari kembali menyampaikan maksud berdua pada umak. Tetapi, masih
sama dengan yang lalu-lalu beribu alasan yang dilontarkan umak. Pada akhirnya
Parlindungan memberanikan diri langsung datang menghadap umak Masniari. Suasana
hening dan senyap saat Parlindungan membuka pembicaraan.
“Umak madung leleng au mardongan dohot Masniari, jadi maksudku mau melamar
boruni, Umak.” Parlindungan langsung menyatakan maksud kepada umak. Umak hanya
diam tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari mulutnya. Lama mereka menunggu
jawaban dari mulut umak. Sambil bersimpuh di kaki Umaknya sambil memohon tak
ada satu katapun yang terlontar dari mulut umak. Hanya air mata yang jatuh
membanjiri pipi tua umak.
“Mak, bolehkan, Mak,” Masniari terus memohon , “Jawablah, Mak.”
Masniari terus memohon. Sesak terasa hati Masniari berlinang air mata
membanjiri kelopakmatanya mendengar jawaban umak.
“Inda. Tidak akan pernah kubolehkan anakku marbagas dengan anaknya si Raja
toke beras itu. Inda, Inang.”
Umak menangis sambil berteriak histeris. Masniari tertunduk air matanya
berlinang tak terbendung lagi. Hancur sudah harapan mereka berdua untuk
mendapatkan restu dari umak. Parlindungan pulang dengan hati yang hancur.
Masniari terus menangis.
“Kenapa, Mak. Kenapa?”
Pertanyaan yang tidak ada jawabannya hanya berkecamuk di dalam hati yang
paling dalam. Sejak saat itu Masniari lebih memilih menjadi gadis yang pendiam
dan tertutup.
Dua insan yang berlainan jenis itu
tetap bertekad untuk mewujudkan cinta mereka, melanjutkan hubungan mereka
meskipun tanpa restu dari orang yang sangat dicintai. Marlojong itu salah satu pilihan yang mereka tempuh sebagai bukti
kekuatan cinta mereka. Di antara galau
hati umak memikirkan anak sulungnya yang membuat hancur hatinya.
***
Masniari menikmati kebahagiaan bersama suaminya, walaupun bayangan umak
selalu hadir di saat Masniari mulai merasakan adanya gerakan lembut buah cinta
mereka dalam perutnya. Masniari selalu berkata pada suaminya.
“Bang alangkah enaknya kalau umak
mau melihat keadaan kita ya, Bang?”
“Sudahlah, Niar. Tidak usah
berpikir yang macam-macam,” suaminya menarik napas panjang, “Mudah-mudahan anak
kita yang bakal lahir ini bisa membuat hati ompungborunya lembut dan mau
menerima kita.”
“Mudah-mudahan, Bang.” Masniari
menyambut lembut.
Masniari masih terduduk di atas
sofa. Pandangannya menatap tajam ke arah telepon yang ada di hadapannya.
Menunggu-merindu. Mak, ini cucu umak akan
lahir. Datanglah, Mak. Aku rindu, gumamnya. Tangannya mengelus lembut perut
yang semakin membesar saja.
Hari ini Parlindungan terlihat
menikmati suasana santai di rumah dengan menonton acara televisi. Memang ini
sudah kebiasaan rutinnya selama menunggu kelahiran si kecil. Sementara Masniari
masih disibuki dengan kegiatannya mengurusi popok bayi yang sudah disiapkannya
jauh-jauh hari sebelumnya, Parlindungan menbyibukkan diri dengan menyelesaikan
hal yang lainnya. Masniari seperti menahan rasa sakit yang tak tertahankan.
Parlingdungan cemas.
“Bang, aduh cepat. Sakit…”
Parlindungan bergegas. Ada perasaan gembira sekaligus cemas. Dia merasa
tanda-tanda kelahiran sudah mulai tiba. Merekapun bergegas ke rumah sakit.
“Bang, aku ingin menelepon Umak,”ujar Masniari seketika,”Tolong, Bang.
Hubungi Umak. Aku ingin bicara sekaligus meminta maaf.”
Parlindungan segera memberikan HP. Masniari bicara tanpa jeda. Panjang
lebar mengu-sung kata-kata. Umak di seberang sana hanya mendengar tanpa
kehadiran sepotong suara, begitu-pun Masniari sudah merasa sangat puas..
Detik berikutnya Parlindungan sudah berteriak kegirangan. Tepatnya setelah
sejam pem-bicaraan Masniari dengan Umak berlangsung.
“Wah, laki-laki, Niar,” bisik Parlindungan girang ke telinga
Masniari,Istrinya,”Namanya Halomoan. Ya, Halomoan.”
Parlindungan sengaja memberi nama anaknya dengan nama almarhum mertuanya.
Ayah Masniari. Sosok lelaki yang kebapakan, yang sangat dicintai dan dikagumi
Masniari sejak dari kecil. Memiliki tanggung jawab dan sayang pada
keluarga. Sesuai dengan perjalanan
waktu, Halaomoan kecilpun mulai sudah memahami pengaruh yang didapat. Masniari
selalu mengirim foto Halomoan untuk Umak di kampung. Dengan harapan Umak mau
melihat pahopunya, menatap wajah cucunya.
***
Bel berbunyi. Masniari bergegas. Di depan pintu tukang Pos berdiri di depan
pintu sambil menyerahkan paket yang bertuliskan namanya Masniari.
“Umak…” tanpa sadar Masniari memekik menyambut gembira paket tersebut.
Dengan rasa tidak sabar Masniari menggendong Halomoan dan membaringkannya di
tempat tidur sambil membuka apa gerangan
isi paket umak ini. Tanpa terasa pipi mulus Masniari basah oleh air mata
yang mengalir. Parompa, sehelai kain gendong semacam ulos kelahiran, yang
bertuliskan nama Halomoan dan sepucuk surat yang bertuliskan ‘Mulakma hamu, Inang’.
Masniari berteriak histeris. Ia gembira Umak memintanya pulang. ‘Terimakasih, Umak,’ jerit hatinya.
Sambil menggendong Halomoan dengan kain parompa kiriman umak. Masniari berbisik
di telinga mungil Halomoan, “Ini parompa kiriman ompungboru, nenekmu, Nak.”
***
Alangkah bahagia Masniari tanda
restu dari umak yang sudah lama dinanti akhirnya jadi kenyataan. Mulai hari ini
lengkaplah sudah kebahagiaan keluarga mereka.
“Kak…Kak Niar,”Tiba-tiba Masniari dikejutkan dengan suara halus
ditelinganya. Masni-ari tersentak. Di hadapannya, Masnauli, adiknya, memeluknya.
“Maafkan aku ya, Kak. Maafkan aku … ” Masnauli mengulang-ulang ucapannya.
“Iya anggi, iya adikku, kakak juga minta maaf,” balas Masniari sambil
memeluk erat Masnauli. Umak yang duduk di sebelah Masniari memeluk kedua
borunya, kedua anak perempuan kesayangannya.
“Inang, pandai-pandailah kau membawa diri di rumah boumu, di rumah mertua
perempuanmu.”
“Iya, Umak. Terimakasih,” tangis bahagia bercampur haru pun pecah,
mengiringi langkah kaki Masnauli mengarungi bahtera hidupnya.
***
“Umak selalu diberi kesempatan untuk duduk di punggung kerbau, menikmati
sore yang indah,” Umak menarik nafas panjang,” Dan setelah dewasa Umak
selempangkan ulos tenunan sendiri melingkari leher Amangmu di acara manortor
waktu itu.” Dan di acara semeriah ini, setelah pembicaraan tentang Umak yang
manortor dengan Amang ,ia kelelahan. Tanpa sadar Umak tertidur di kursi bamboo
buatan Amang.
Bahagian akhir cerita hampir selesai. Aku terduduk mengenang. Sejak itu aku
tak tahu Umak berada dimana. Aku baru tahu Umak sudah meninggal dunia. Kabar
itu kudengar, ketika aku duduk dibangku SMA. Aku baru sadar mengapa Tulang
memaksaku untuk tinggal bersa-manya di Jakarta. Sebagai anak tunggal, aku ingin mengunjungi
pusara Amang dan Umak. Tulang selalu mengajakku jalan-jalan, setiap selasai
dari pemakaman. Termasuk menikmati acara Manortor yang selalu diceritakan Umak.
Dan malam ini, jelas aku berada disini.
Orang-orang segera mengenaliku, ketika Tulang mengajakku berkunjung ke
tempat para handaitaulan. Rasa kagum dan kasihan seperti melebur, membatu.
Setelah leleh kami pun pulang ke rumah ompung, tempat aku dan Tulang menginap
untuk beberapa minggu. Amang bersaudara hanya bertiga. Dua laki-laki, dan satu
perempuan. Kami selalu saja berkumpul-kumpul menyam-but malam.
***
Hiruk pikuk kian mengetuk, seolah
riuh pesta perkawinan saja. Ada debar terdengar. Gordang mulai dipalu. Dalam pikiran dan hatiku yang kian tak
menentu.
Dan sebelum kembali ke kota akupun
diupa-upa. Orang-orang telah berkumpul me-nyambut malam. Hiruk pikuk kian
mengetuk, seolah riuh pesta perkawinan saja. Ada debar terdengar. Bagas Godang
semakin sesak. Alaman Bolak terasa menyemak. Gordang mulai dipalu, Gordang
Sambilan membahana. Sembilan buah gendang dengan ukuran berbeda-beda. Terbuat
dari kayu dan kulit lembu. Dimainkan tujuh orang pemusik. Variasi pukulan
dipadu sedemikian rupa, sehingga menghasilkan gelombang irama yang khas.
Seperti suara alam. Tampak penabuh gendang paling ujung menari-nari. Sesekali
matanya terpejam, larut dalam irama. Bagai digerak-kan kekuatan mistis, ia
melompat-lompat. Terkadang menunggangi gendang sambil memukul. Seperti kesurupan.
Meski begitu atraktif, pukulannya tak pernah sumbang. Berbeda dengan
Onang-onang.
Di Sopo Godang para petinggi kampung telah hadir. Juga Kepala Kuria. Aku
ada diantara mereka. Duduk di atas tikar pandan berlapis dua , kedua ujungnya
disatukan dengan menjahitkan kain warna merah pada keempat sisinya. Dalam
bahasa adat , ini disebut amak lampisan.
“Ambilkan Pangupa!” perintah Bayo Datu. Seseorang datang menating nyiru.
Kepala kerbau diletakkan di atasnya, beralas daun pisang. Di sampingnya,
seseorang lagi menating piring besar bernama pinggan pasu, berisi bahan pangupa
lainnya: nasi putih, tiga buah telur ayam, garam, ikan garing, udang, dan daun
ubi. Juga ditutup dengan daun pisang. Paling atas ditutup dengan kain adat
Tonunan Patani.
“Turupa-upa...turupa-upa...turupa-upa...” ratap Bayo Datu memulai acara
mangupa. Seseorang memutar-mutarkan
nyiru di atas kepalaku. Begitu panjang kalimat pangupa tersebut. Juga dibacakan
beberapa mantra. Kakiku kesemutan. Tentu saja kutahan. Menurut adat, seseorang
yang berpergian jauh harus diupa-upa untuk memberi kekuatan dan keberanian.
Setelah itu aku disuapi dengan makanan yang berada di Pinggan Pasu.
Dicicipi satu persatu. Bayo Datu menjelaskan maksud dari setiap jenis makanan.
Prosesi berlangsung alot. Juga sakral.
Sebelum pulang seorang gadis misterius mengirimkan hodong, bulung nipau,
mare-mare, sontang dan pining. Sebuah isyarat cinta melalui bahasa daun,
pertanda kesetiaan, cinta yang tak terpadamkan. Sebuah markusip penuh misteri.
Biasanya seorang lelaki mengendap di antara pohon kopi, di bawah sinar purnama.
Lalu di dinding kamar perempuan dibisikkan beberapa bait pantun asmara.
***
“Macam mana ceritaku?”
Parlindungan menyerahkan kertas yang berisi tulisan tangannya. Masniari
tersenyum tipis.
“Kok Cuma senyum?”
Masniari diam. Pandangannya berkaca. Ia seolah berdilaog dengan malam.
“Belum selesai...”
Lampu padam.
Komunitas Home Poetry, 07-13
1. Bagas Godang, rumah
adat suku batak mandailing
2. Alaman Bolak, alun-alun
3. Gordang Sambilan, alat
musik bersjumlah sembilan gendang dengan ukuran yang berbeda
4. Onang-onang, lagu
bernada lirih tentang romantisme hidup dan kemiskinan
5. Sopo Godang, gedung
yang berada di depan Bagas Godang
6. Pangupa, semacam
upacara keselamatan-doa selamat
7. Bayo datu, orang yang
bertugas meminpin acara ”mangupa”
8. Turupa-upa..., kalimat
pembuka dalam acara ”mangupa” 9.
RIAK SUNYI SUNGAI DELI
Oleh
: M.Raudah Jambak
Aroma bau itu menebar, searah
dengan hembusan angin ketika matahari tepat di atas kepala. Menebar bersama
derasnya alur aliran sungai yang melintasi bawah jem-batan, terus sampai
menghilang di ujung kelokan.
Gjebuuur…….
Aaakh………..
Suara benda berat yang jatuh
menembus permukaan sungai yang masih menyisakan aroma bau yang menusuk hidung.
Lalu-lalang kendaraan bermotor yang melintasi atas jembatan siang itu nyaris
tak sempat menyisakan kesaksian atas peristiwa yang baru saja terjadi. Dan
kisah itu tidak akan pernah terekam dalam ingatan jika saja seorang pemulung
tua tidak berteriak minta pertolongan.
Seperti biasanya Ompung,
si pemulung tua itu, hendak buang air besar persis di ba-wah jembatan. Dia
melirik ke kiri dan ke kanan. Memastikan tidak ada orang yang mengintipnya.
Paling tidak beberapa orang anak kecil yang suka usil melemparinya dengan batu
kerikil di saat dia menuntaskan hasratnya, tidak sembunyi-sembunyi menanti
kesempatan itu.
Pelan-pelan Opung berjongkok, ketika suasana
dianggapnya sudah aman. Matanya masih mencari-cari, mengawasi sekitarnya. Di
saat itulah matanya tertuju kepada seorang perempuan muda yang berdiri hendak
terjun ke sungai. Opung hanya merasa heran ketika perempuan itu berteriak dan
menangis tidak jelas. Dia menangkap gela-gat yang aneh. Segera saja niat yang
hendak disalurkan tadi dihentikannya. Dia segera berdiri, hendak menghardik perempuan
itu. Tapi, terlambat, perempuan itu sudah ter-lebih dahulu melompat. Dan tubuh
itu tidak juga muncul ke permukaan. Kontan saja pemulung tua itu panik. Dia
berteriak sekuat-kuatnya.
“Tolong…! Ada yang jatuh ke
sungai…!”
Berkali-kali pemulung tua itu
berteriak. Suaranya dihantam deru knalpot yang mem buru, bunyi aliran
sungai, dan aroma yang dihembus angin. Akhirnya , seorang pemu-lung muda
turun ke sungai. Pemulung muda itu pulalah yang menjawab kesaksian itu dengan
berlari cepat menuju sungai, setelah mendengar suara parau Opung yang diba wa
angin ke gendang telinganya. Diikuti beberapa orang temannya yang menyusul ke
mudian. Juga bebrapa pengamen jalanan yang tidak sengaja melintas di atas
jembatan. Begitu juga dengan penjual rokok dan beberapa orang pejalan kaki.
Kontan saja dalam waktu singkat
areal jembatan dan aliran sungai menjadi ramai dengan pengendara sepeda motor
yang berhenti hanya sekedar menyaksikan peristiwa yang gratisan itu. Termasuk
para pegawai sebuah plaza yang berdiri tak jauh dari sungai, melihat kerumunan
orang banyak . Jalanan macet total. Polisi kemudian sibuk lalulalang pula
menyelesaikan persoalan.
Di bawah jembatan, sepanjang aliran sungai beberapa
orang telah masuk menyisir sepanjang aliran, seputar jatuhnya sosok tubuh perempuan
muda yang menembus permukaan sungai. Aroma yang menyengat sepanjang tumpukan
sampah dan warna permukaan sungai yang coklat kehitam-hitaman serta agak
berlumpur itu, apalagi disaat musim hujan turun, tidak lagi menjadi halangan.
Harapan ternyata tetaplah selalu
ada. Beberapa orang masih memiliki nurani. Mere ka tidak memperdulikan lagi
aroma yang “mewangi”, terus melakukan pencarian. Di antara mereka masih sempat
melihat tangan yang timbul tenggelam itu, seperti meng gapai-gapai.
“Ini dia! Telah kudapatkan!”
Seorang pemulung muda menarik
pelan-pelan sosok tubuh perempuan yang sudah terlihat tidak berdaya itu ke
bantaran sungai, mungkin lebih tepatnya parit besar yang penuh dengan tumpukan
sampah dan warna permukaan yang sudah tidak jernih lagi, mencari tempat yang
agak teduh, di bawah jembatan.
Demi melihat itu, orang-orang
yang berkumpul penuh sesak itu segera meninggal kan tempat itu, termasuk Polisi
yang menganggap situasi sudah terkendali. Ada yang
mengelus dada. Ada yang menggelengkan kepala. Ada yang senyum-senyum sendiri.
Dan ada pula yang setengah gila, tertawa-tawa sendiri. Entah apa yang sedang
berkecamuk dalam pikiran orang-orang itu. Pastinya tinggal beberapa orang yang
masih perduli, mengitari ,Tiur, perempuan muda yang mencoba bunuh diri itu. Dia
masih belum bicara setelah mengeluarkan air sungai yang sempat tertelan itu.
“Bagaimana dia?” si
Pemulung tua itudatang menghampiri dengan tergopoh-gopoh. Beberapa orang
pengamen jalanan menyingkir memberi ruang.
“Tunggu saja, Opung.
Sebentar lagi dia pasti sadar!” seorang penjual rokok, yang biasa mangkal di
seputaran Deli Plaza, yang ikut terjun menolong, memberi penjelas an, tetapi si
pemulung muda itu segera menukasnya:
“…dia sudah sadar, Pung! Hanya
saja badannya masih lemas. Tadi dia berusaha un tuk bertahan hidup. Dia
ternyata masih punya keinginan untuk hidup, masih punya ha rapan, seperti
harapan orang-orang yang hidup di sepanjang aliran sungai yang meng hitam ini.
Setahuku sudah yang ke sekian kalinya si Tiur melakukan ini. Terutama se belum
Opung bergabung dengan kami. Entah apa penyebabnya, setiap aroma yang me nusuk
hidung itu terasa begitu menyengat, detik berikutnya dia muntah-muntah dan
tidak berapa lama setelahnya, Tiur menerjunkan dirinya ke sungai. Saat itu
matahari tepat di atas kepala. Dan kejadian ini lebih parah dari sebelumnya!”
“Mungkin dia hamil? Atau
keracunan barangkali?”
“Coba saja Opung periksa.
Kemungkinan itu pasti ada. Tapi mengapa harus bunuh diri di saat matahari
meninggi tepat di atas kepala, dan aroma sungai yang mulai me nyesakkan dada?”
Lungun, si pengamen jalanan, yang lebih memilih diam,
merasa terheran-heran.
“Mungkin pengaruh ngidam?”
Darman, si pemulung muda itu,
terdiam. Dia berpikir, apakah pengaruh mengidam sampai
seburuk itu? Ada semacam perasaan cemas dalam kepalanya. Sekarang dia le bih
cenderung sebagai pendengar saja. Matanya tak lepas-lepas memberi sinyal
kepa da Lungun butuh kejelasan.
“Apa memang sudah lama dia
tinggal di sini? Sebelum Opung?” selidik Opung selanjutnya.
“Lebih lama memang dari Opung,”jawab
Lungun,”Tiur sekarang tinggal tepat di bawah jembatan ini, pergi meninggalkan
rumah Inangnya di pinggir sungai sebelah sana.”
“Begitu, ya,” Opung berpikir
sejenak,” yang di rumah kardus itu? Sendiri saja??”
“Dulu Saodah pernah
tinggal dengannya. Sekarang Saodah menempati rumah Inang Tiur yang sudah lama
kosong. Inang Tiur menghilang. Tiur tak mau lagi me nempatinya, walau dibujuk
Saodah berkali-kali. Padahal keberadaan Saodah di rumah Inang Tiur itupun atas
desakan Tiur sendiri. Dan biasanya saat ini Saodah sedang ngamen di simpang
Petisah.”
“Tolong panggilkan. Opung mau
menanyainya, Ucok!” seorang tukang semir cilik yang ditunjuk Opung mengangguk,
segera berlari.
“Apa dia hamil, Opung?”
Perempuan tua itu hanya
menggeleng lemah. Tidak berapa lama kemudian Tiur duduk perlahan. Dia
muntah-muntah. Matanya melotot. Segera dia berdiri dan berlari ke arah sungai.
Hampir saja dia menceburkan diri kembali kalau Darman tidak segera mencegahnya.
Tiur meronta-ronta. Darman memperkuat cengkramannya. Dia mena han sekuat
tenaga, agar perempuan dalam cengkramannya tidak terlepas. Tapi Tiur jadi
semakin menggila. Dia semakin meronta, memandang jijik dan muak ke arah Dar
man. Mulutnya menyumpah. Tangan sebelah kanannya, yang tidak dicengkram, me
raih-raih sesuatu di atas tanah. Mengambil batu, dilemparkannya ke arah Darman.
Cengkramannya terlepas. Tiur terguling-guling. Tubuhnya yang hampir dipenuhi pa
nu dan kurap itu, berdarah, tergores kerikil tajam yang tersebar di tanah.
Tubuhnya baru terhenti bergulir di atas tumpukan sampah yang sudah membusuk.
Belum sempat yang lain sadar dalam keterpukauan, Tiur segera terjun ke sungai.
Untung saja, kali ini, Lungun menarik kakinya.
Tiur terjerembab. Dia kembali
mengamuk. Dia menyerang dan menyumpahi Lung un habis-habisan, menggumulinya.
Lungun tidak siap. Dia melakukan perlawanan se-bisanya. Saling pukul, saling
jambak dan saling cakar terjadi. Tiur memaki-maki. Ka ta-kata kotor mengalir
deras dari mulutnya bersama sampah yang mengalir di deras nya aliran sungai
yang mengalir. Jerit penderitaan begitu pekatnya. Arus kehidupan yang tidak
mudah di duga kemana bermuara. Begitu tipisnya perbedaan antara harap an dan
kesengsaraan di ruang kenyataan. Dia hadir dan mengalir begitu saja. Bunyi air
yang mengalir, deru knalpot, dan kecipak dayung perahu sampah berpadu
dengan riak napas kehidupan yang semakin pekat.
“Plak!”
Sebuah tamparan keras mendarat di
pipi Tiur. Lungun berteriak sekeras-kerasnya. Modal suara yang terbina ketika
menjadi kernet angkot sebelumnya ternyata tidak mampu menggetarkan Tiur.
Tamparan, tendangan dan pukulan silih berganti men-darat di muka, perut dan
dada Tiur disertai bentakan dan teriakan….
“Tidak tahu diuntung! Tidak tahu
ditolong! Apa masih belum kapok ? Ha!?”
Tiur tengkurap. Dia menangis
sejadi-jadinya. Hatinya pedih bersama darah yang me netes dari tubuhnya yang
tergores. Bercampur bersama sisa pekat air sungai yang ter- tinggal dan aroma
sampah yang memabukkan. Lungun menghentikan hardikan dan pukulannya.
“Apa maksud kau! Cakap kau,
cakap!”
Tiur tidak juga bicara. Dia
menatap garang kepada Lungun. Baginya Lungun tidak lebih baik dari
sampah-sampah yang membusuk sepanjang bantaran sungai. Lungun
terpanggang birahi. Tamparan demi tamparan kembali mendarat di muka Tiur.
“Kemasukan hantu sungai ini
kurasa kau!”
Lungun terus melayangkan
pukulannya ke arah Tiur. Tiur sudah tidak merasakan
apa-apa lagi. Kesakitan baginya sudah menjadi hal yang sangat biasa.
Penderitaan adalah menu hidupnya sehari-hari. Dan untuk itulah Tiur masih hidup
sampai seka rang, ternyata!
Dari jauh Saodah berlari
mendekat,diiringi ucok di belakangnya. Demi melihat itu Opung segera
mencegahnya.
“Tiur kemasukan. Kau tenang saja
,”bisik Opung.
Saodah terdiam. Pikirannya
mengawang kepada Wan Nurdin, ayahnya, yang menurut cerita ibu sangat memegang
teguh adat, tetapi ternyata tidak kenyataanya. Ibu Saodah menceritakan
tentang mandi bergimbar[2]. Mandi
dengan mengenakan pa kaian pengantin, dan juga saling siram, dilanjutkan
menyirami orang tua, famili dan tamu-tamu yang ada sepanjang bantaran sungai.
Dimaksudkan pengantin harus siap dan tabah menghadapi segala cobaan yang bakal
datang, baik dari Yang Maha Kuasa, maupun dari pihak orang tua, atau lingkungan
masyarakat sekitarnya.
Prosesi diawali dengan peminangan
oleh keluarga pihak pria kepada keluarga pihak wanita. Jika dicapai persetujuan
kedua belah pihak, maka diadakan pertunangan yang dilaporkan kepada pihak
wanita. Seandainya pihak wanita membatalkan pertunangan, mereka harus membayar
dua kali uang antaran.
Biasanya, pesta dimulai dengan
berbalas pantun sebelum mempelai pria diperboleh kanmasuk “menjemput” sang
istri. Sehelai kain dibentangkan di depan pintu masuk dan dimulailah
berbalas pantun. Dan jika tamu-pihak pria-kalah dalam berbalas
pan-tun, sang pengantin tidak dibenarkan masuk.
Jika menang dalam berbalas
pantun, maka diperkenankan masuk. Setelah masuk upacara nasi hadap-hadapan pun
dilaksanakan. Berbagai aneka makanan dan pangan an dihidangkan. Yang terutama
adalah pencabutan bilahan bambu –minimal sembilan bilah,
melambangkan angka kesempurnaan-yang ditancapkan didalam nasi hadap-hadapan
tersebut. Daging ayam ditusuk di tiga ujung bambu. Sementara jumlah bam-bu yang
tidak ada daging ayamnya lebih banyak. Ada perlombaan antara kedua mem-pelai.
Mempelai yang mendapatkan dua bilah bambu yang ada daging ayamnya, men-jadi
pemenang. Anehnya, jika sang istri yang menang, maka kata orang-orang tua,
alamatlah si istri yang “menguasai” suami.
Saodah tersontak. Mengenang
bagaimana ayahnya memukuli ibunya yang ingin bu-nuh diri, menceburkan tubuhnya
ke sungai. Ayahnya berhasil menyelamatkan ibu, karena sungai yang jernih waktu
itu, memperlihatkan sosok ibu yang tenggelam. Tapi pukulan dan tamparan justru
yang diberikan. Alasannya ibu kemasukan hantu sungai.
Padahal menurut cerita ibu di
suatu ketika, ayah merasa dipermalukan, sebab kalah dalam acara berbalas pantun
waktu itu. Tapi ada pula yang mengatakan,ayah selalu mengulang-ulang kalau ibu
gagal halua[3], katanya
ibu sudah terenggut keperawanannya di bantaran sungai ketika itu.
Yah, memang bedanya sungai waktu
itu begitu jernihnya. Pandangan kita dapat menembus permukaan sampai ke
dasarnya. Bebas polusi. Bebas sampah. Pemukiman tidak sepadat sekarang.
Restauran, hotel dan plaza hampir jarang. Lain halnya dengan sekarang,
sepanjang sungai dipenuhi dengan limbah dan sampah. Ditambah lagi se-karang
telah menjadi tempat untuk menghabisi nyawa diri sendiri dan orang lain.
Persis seperti sekarang ini.
Lungun memukul Tiur habis-habisan. Namun, Saodah sudah tidak sabar lagi untuk
menghentikan perlakuan Lungun terhadap Tiur, dan ingin memaki orang-orang yang
bisanya hanya berdiri mematung. Kesabarannya telah habis saat
ini. Segera ia melepaskan cengkraman Opung, untuk menghentikan tindakan
Lu-ngun. Sepanjang aliran sungai matahari menyengatkan sinarnya pada riak yang
ber-loncatan di atas limbah sampah dan bebatuan.
“Sok tahu kau!”
“Kemasukan hantu sungai!”
“Tutup moncongmu !”
Saodah meraih Tiur, membantunya berdiri.
“Hei, hantunya belum keluar!”
Lungun meraih kembali Tiur. Terjadi aksi tarik me narik.
Masing-masing dengan kekerasan
hatinya. Sungai mengalir membawa limbah sampah bersama warna yang buram,
seburam suasana yang hadir saat ini. Debu yang
berterbangan dari atas jembatan. Tatapan mata saling beradu garang. Dan Opung
me-mahami situasi ini.
“Sudah! Biar Opung dan Saodah
saja yang mengurus Tiur!” Opung meraih Tiur,“yang lain
pergi sana! Bubar!”
Lungun terdiam. Darman tercenung.
Ada rasa was-was dalam pikiran mereka. Pengamen, pemulung, dan tukang semir
yang lain tidak ambil pusing lagi. Mereka kembali menebar, menyebar, mengutip
rimah-rimah harapan kehidupan yang mung kin masih tersisa di sepanjang sungai
maupun simpang-simpang jalan. Menyetop ang-kot untuk berhenti dari persimpangan
yang satu ke persimpangan berikutnya. Semua kembali dengan kesibukan
masing-masing. Lambat tapi pasti seperti kitaran matahari yang lamat-lamat
tenggelam dan kembali terbit di pagi hari. Opung, Saodah dan Tiur telah
terlelap membagi sepi.
*******
Di rumah kardusnya Tiur dan
Saodah terduduk menikmati sisa teh semalam. Sisa darah yang mengering
telah mulai terkelupas. Opung masih berselimut rindu dendam.
Betapa Saodah tidak akan pernah melupakan Tiur. Saodah
tidak akan pernah melupa kan tragedi itu. Ketika itu hujan lebat turun, air
sungai sudah lama membuncah. Sao-dah mendapatkan dirinya sudah berada di atas
bubungan atap rumahnya. Dia sudah tidak menemukan siapa-siapa lagi selain
dirinya. Ingin rasanya ia memanggil Ibu dan ayahnya, tapi tenggorokannya terasa
tersumbat. Tidak ada pikiran lain yang melintas, selain menyelamatkan diri. Di
atas bubungan, Saodah meraih ranting-ranting kayu. Belum sempat tanganya meraih
ranting pohon itu, sebuah terjangan air menerjangnya.
Saodah terbawa pusaran air. Dia
masih berusaha untuk meraih apa saja. Berusahamelawan arus sungai yang meluap.
Tubuhnya timbul tenggelam bersama tumpukan sampah yang juga terbawa arus.
Dalam hitungan detik pusaran
arus itu semakin menggila. Saodah merasakan diri-nya
dihempaskan kesana kemari. Rasa pasrah sudah menggelayuti pikirannya. Pada satu
titikpasrahnya yang paling afkir, Saodah merasakan kekuatan yang luar biasa
mengangkatnya dari pusaran arus sungai yang mematikan. Sayup-sayup Saodah mendengar
teriakan yang menyayat:”bertahanlah, Inang! Hu salamatton do ho!”[6]
Detik berikutnya Saodah merasakan
tubuhnya diangkat, di bawa terus menuju silau cahaya. Sesekali dia mendengar
deru knalpot yang tidak asing lagi di telinganya.
“Peristiwa itu tidak akan pernah
kulupakan,” ujar Saodah dengan air mata yang mengalir mencari aliran nya
ke bantaran sungai,”jika kau tidak segera menyelamatkan aku dan membawa ke atas
jembatan, mungkin aku entah berada di mana sekarang. Kaulah dewa penolongku!”
“Kau pembohong!”
Saodah terdiam. Suasana kembali
sepi. Rumah kardus itu terasa semakin sempit saja. Opung masih mendengkur
menyulam rindu.
“Kau tahu peristiwa itu. Dan kau
tahu aku tidak bermaksud menolongmu!”
“Ternyata kaulah pembohong
sebenar-benarnya. Kau terlalu egois. Mari lupakan masa lalu…”
Tiur tercengang. Bagaimana Saodah
begitu mudahnya melupakan masa lalunya. Bagai-mana pula
dia harus melupakan masa lalunya. Kekejaman ayah Saodah. Dan kekejaman orang
yang telah menghancurkan masa depannya. Bagaiamana ia lahir dari rahim
sungai, seperti cerita Inang, ibu angkatnya, waktu itu.
Ketika itu Inang sedang mencuci
pakaian. Biasanya yang mencuci pakaian waktu itu cukup ramai di
sungai. Entah mengapa hari itu hanya Inang. Dan Inanglah yang menemukan sebuah
kotak yang terhanyut di permukaan sungai yang mengalir tenang. Segera Inang
meraih kotak kardus besar yang biasa dipergunakan untuk mie instan itu.
Alangkah terkejutnya Inang. Takut campur senang. Betapa ia takjub melihat seso
sok tubuh bayi mungil. Sesosok tubuh bayi perempuan yang cantik.
“Kalaulah kau laki-laki aku akan
adakan mangan indahan esekesek manupaupa. Atau jugapaebathon
buha baju tu ompung na bao, serta tidak lupa tardidi.[7] Tapi
tak apalah yang penting aku senang!”
O, betapa waktu itu kisahmu
seperti Musa yang dininabobokkan di permukaan sungai Nil. Hanya saja mungkin kau
tidak tahu bahwa Musa diselamatkan dari Fir’ aun yang zalim. Sedangkan kau
hanyalah anak di luar nikah yang dicampakkan demi nama baik keluarga.
Menyelamatkan nama baik. Puih !
Kisahmu sangatlah menyedihkan.
Setelah kau menanjak besar, Inangmu yang seba-tangkara bermakam pula di sungai.
Di bunuh. Dan mayatnya dicampakkan ke sungai terbenam di bawah tumpukan
sampah yang membusuk.
Ketika Inang dan kau mencuci di
sungai yang berwarna keruh. Seperti waktu dite-mukannya kau dulu. Di
sekelilingmu detik-detik waktu mengurai sepi. Hanya satu dua orang yang
terlihat membuang sampah dari atas jembatan. Atau anak-anak yang berlari
terburu-buru hendak membuang kotoran, sementara
saudaranya berendam beberapa meter saja, selebihnya sunyi. Ketika
matahari tepat di atas kepala tinggallah kalian berdua, setelah seorang
perempuan tua mengambil air dari sungai untuk dima-sak.
Mula-mula kau tidak begitu
curiga, ketika dua orang pemuda, yang biasa mengajak mu bercanda bagai orang
dewasa, mendatangi Inangmu. Mereka berbicara berbisik sambil melirik penuh
birahi padamu.
Tiba-tiba kau melihat Inang
berdiri, sambil memaki, membentak kedua pemuda itu. Memukuli mereka dengan kain
cucian bertubi-tubi.
“Apa bisa kalian, ha!?. Kalian
hanya pengamen jalan dan juga pemulung. Usia kalian pun
masih belum cukup. Mau kalian kasih makan apa anakku, ha?!”
Kau begitu ketakutan ketika
pukulan bertubi-tubi Inangmu dibalas dengan tusukan sebilah pisau, tepat di
jantung Inangmu. Seketika Inangmu roboh. Darahnya mengalir sampai ke sungai
menambah pekatnya permukaan sungai. Tidak sampai di situ saja, tubuh renta yang
sudah tidak berdaya itu dicampakkan begitu saja ke sungai tepat terbenam di
bawah tumpukan sampah yang membusuk. Di saat itu pulalah kedua pemuda itu pergi
begitu saja, setelah menuntaskan hasrat kelelakian mereka padamu.
Sakit yang luar biasa dari
robeknya keperawananmu tidaklah begitu kau rasakan. Tapi luka di hatimu cukup
dalam, melihat Inang yang terbenam tanpa nyawa tanpa kau bisa berbuat apa-apa.
Hatimu remuk redam. Usiamu masih begitu belia ketika itu, tujuh belasan, dan
begitulah, kesakitan yang dirasakan dengan mengalirnya air dari sungai
matapolosmu itu, mencabik-cabik jiwamu, meninggalkan luka yang menahun, bahkan
sampai saat ini! Seandainya saja rasa perduli dan bertanggungjawab terpeliha-ra
baik, maka mungkin suatu permasalahan tidak terjadi dengan begitu buruk,
seandainya juga disertai dengan rasa kasih sayang atas nama kemanusian.
Seandainya saja kedua
orangtuamu bertanggungjawab. Seandainya saja Inang tidak terbunuh. Seandainya
saja pembunuh itu diberi ganjaran yang setimpal dengan perbuatannya. Atau
seandainya saja limbah sampah tidak menumpuk busuk. Dan seandainya Saodah tidak
segera hadi, dan tidak pernah hadir. Ternyata hanya sekedar berandai-andai
saja, mimpi menyulam daur kehidupan yang penuh jebakan rahasia. Membentang pada
sungai yang dipenuhi limbah sampah yang menumpuk busuk dari pabrik, restauran,
hotel, plaza dan pemukiman penduduk. Ternyata masih ada setetes harapan. Sungai
yang kotor itu tidaklah lebih kotor dari sungai hati manusia yang paling hina.
Dipenuhi limbah iri hati. Dicengkram sampah nafsu serakah. Dan minus jernihnya
kasih sayang. Aroma polusi hati menghantui di sana-sini. Tapi,
tidak di hati Inang. Bukan di hati Saodah. Tidak pula di hati Opung. Apalagi di
hati Tiur.
************
Aroma bau itu semakin pekat
menebar, ke berbagai arah hembusan angin. Tidak lagi ketika matahari
hanya berada tepat di atas kepala. Tapi juga dari terbit hingga
terbenammya. Menebar bersama derasnya alur aliran sungai yang melintasi bawah
jembatan. Membawa tumpukan sampah yang membusuk. Menghanyutkan bangkai kotoran
kemana-mana. Bersama pekatnya berbagai limbah, semakin menghitam, menebarkan
jubah kematian ke berbagai pelosok kehidupan. Dari balik jubah itu, jari jemari
menghunuskan kuku-kuku hitam dan tajamnya, memanjang, mencengkram, menghadirkan
hawa kematian…..
Dan cengkraman itu tidak mampu
menghunjamkan kuku-kuku tajamnya ke tubuh Saodah dan Tiur yang saling
berpelukan. Juga Opung yang tak henti-hentinya menye nandungkan nyanyian
kehidupan. Bersama aliran sungai yang masih menawarkan setetes harapan.
Medan, 06-13
PESAN
Pagi datang menjelang membawa angin dingin yang menusuk tulang. Embun yang
masih menempel di daun-daun yang hijau nan indah. Emak langsung membersihkan
dan membersihkan rumah. Dimana-mana barang berserakan. Sulong membenahi
keranjang dagangannya yang akan di bawa ke pajak. Engah yang masih terkantuk
berusaha membuka matanya.
“Lekas lah buka
mata engkau,” kata Sulong.
“Iyelah, Bang,”jawab Engah.
Di kamar mandi
sudah menunggu piring-piring yang berserakan. Setelah semua siap, barulah Emak
dan Sulong pergi ke pajak Tanjung Balai. Pajak memang tidak terlalu jauh. Hanya
berjalan kaki saja kita sudah sampai. Kira-kira 10 menit waktu yang dibutuhkan.
Dari jauh sudah tampak gerbang kayu yang lapuk. Emak dan Sulong memasuki
gerbang. Sudah banyak pedagang yang bersiap untuk berjualan. Kios Emak dan
Sulong berada di paling ujung. Kedai yang terbuat dari triplek yang tipis dan
empat penyangga kayu yang sudah berlubang di makan oleh rayap.
Sampai di kedai
Emak dan Sulong membuka kedainya. Sulong membawa keranjang yang berisi kakeras
yang harum wanginya meski sudah tidak hangat lagi dan dodolnya juga sangat
harum membuat selera saja. Emak mengambil keranjang kecil yang ada di dalam
kerang keranjang besar.
“Emak tak
istirahat dulu mak, tak letihkah?,”tanya Sulong.
“Nantilah,maseh
bebanah lah,”jawab Emak.
Kakeras adalah
sebuah kue kering khas melayu yang berbahan baku tepung dan gulang tebu yang
masih asli. Sedangkan dodol yang dibuat Emak adalah dodol yang paling laris di
pajak Tanjung Balai.
“ Ayo kak,
beli…beli… kakeras harum… dodol Emak ... murah…murah,” teriak Sulong.
Lelah
berteriak,menarik pelanggan untuk membeli dagangannya. Akhirnya Sulong
merasakan lelah. Sulong beristirahat duduk di samping Emak. Belum ada yang
singgah untuk membeli. 10 menit kemudian datang seorang wanita yang cantik.
Wajahnya yang cantik membuat Sulong terpukau.
“ Aih mak molek
betul,”kata Sulong.
“Ih matalah…
dose long,” kata Emak sambil memukul bahu Sulong.
“ Mayelah
mak…?”kata Sulong sedikit kesal.
Emak kembali ke
belakang kios menyiapkan dodol yang belum di bungkusin. Sementara sulong
melayani wanita tadi. Wanita itu datang bersama dengan seorang bapak setengah
baya.
“Abang berape
kue ni?,” kata wanita itu lembut.
“
Satu,seribulah,”kata Sulong.
“ Tide
kuranglah,”kata wanita itu.
“Tak, udah tak
bise kurang lagi. Buntung awak nanti,”kata Sulong.
“Ya udehlah,
nak beli 10 ye tapi Sembilan ribulah”kata wanita itu.
Tawar menawar
terjadi. Emak yang berada di belakang kedai mendengar keributan antara Sulong dan seseorang. Kerena penasaran
Emak keluar. Betapa terkejutnya Emak. Emak menatap tajam ke arah wanita itu.
Wajah Emak memerah bagai api yang berkobar. Memang iya hati Emak di selimuti
api yang berkobar besar.
“ Pergi kau
dari sini…. Tak mau awak tengok muka engkau lagi,” kata Emak sambil mendorong
wanita itu.
“Emak awak
minta ampun. Awak emang salah mak, maaflah mak,”kata wanita bersimpuh di
hadapan Emak.
“Sebab
kau,keluarge awak musnah, tak pantas engkau di ampunkan,”kata Ema k berusaha
melepas tangan wanita itu.
Sulong tampak
bingung dengan kejadian yang di lihatnya. Sulong hanya mampu terdiam seribu
kata. Belum pernah dia melihat Emak semarah ini. Apa yang terjadi? Apa maksud
omongan Emak? Melihat mereka sama-sama menangis mengeluarkan air mata.
“Pergi…pergi…
lekas pergi…,”teriak Emak.
Wanita itu tak
dapat berbuat apa-apa lagi. Akhirnya dia pergi meninggalkan kedai Emak dan
Sulong. Wajah Emak merah padam, air matanya jatuh berlinang. Sulong tampak
heran melihat Emak semarah itu.
Setahunya dia tak ada dendam apalagi dengan orang lain.
Sulong tak
berkata apapun setelah melihat kejadian tadi. Sulong membiarkan Emak tenang di
dalam kedai sendiri. Semakin siang semakin banyak pula pembeli yang datang.
Hari ini Emak dan Sulong menjual semua kue dan hampir habis tapi dodolnya tak
satupun terjual. Mereka pulang membawa satu keranjang yang kosong sementara
keranjang satunya lagi masih terisi banyak dodol.
Di perjalanan
pulang Emak masih saja diam membisu tanpa mengeluarkan kata-kata. Hati Emak
bagai di hantam batu keras,bagai di cabi-cabik burung Elang. Rasa kesal,amarah
dan dendam jadi satu.
“Emak tak
ape-ape?,” tanya Sulong.
“Ye,hanya Emak
ingat masa lampau, sebab wanita tadi tu,” jawab Emak.
“ Emak, maye
kesalan wanita tadi tu?,” tanya Sulong.
“Udah tak usah
di bahas, ayok lah balik,”kata Emak.
Wajah Emak
masih dibasahi air mata yang terus jatuh berlinang. Sampainya di rumah, Sulong
masuk ke dapur menaruh barang dagangannya. Sementara Emak masuk ke dalam kamar.
Emak seperti bercerita dengan Abah. Sulong yang duduk di lantai sambil
menyilangkan kaki berusaha berfikir apa yang tadi mebuat Emak marah. Ada
hubungan apa Emak dengan wanita tadi. Rasa ingin tahu menghantui Sulong.
Setelah makan
malam, Emak, Abah dan Engah langsung tidur. Sementara Sulong masih terjaga
entah apa yang difikirkannya. Matanya msaih menatap langit-langit rumah yang
hampir rusak.
v
Sulong beranjak
dari tempat tidur, kali ini dia bangun lebih cepat untuk menyiapakn semua kue
dan dodol yang sudah di siapkan Emak kemarin sore. Tapi sebelum dikemasnya.
Keu-kue itu di panggangnya lagi agar terlihat lebih hangat dan mengluarkan
aroma yang wangi.
“Cepat kali
engkau bangun, long,”kata Emak dari belakang.
“Tak boleh
tidur awak semalam,”kata Sulong.
Seperti biasa,
setelah semua selasi barulah Emak dan Sulong pergi ke pajak bersiap untuk
menjajakan kue-kuenya. Emak membawa semangat yang tinggi. Sulong membuka
kedainya. Tanpa menunggu lama sudah banyak pembeli yang datang. Setelah semua
pemebeli di layani. Emak menyuruh Sulong mengantarkan kuenya. Sulong pun pergi,
karena jaraknya cukup jauh Sulong pun meminjam sepeda pemilik kedai baju yang
berada di sebelahnya.
Sampailah
Sulong di alamat yang diberi Emak. Tanpa disadari orang yang memesan kue adalah
wanita yang semalam membuat Emak marah.
“Awak Cuma nak
ngantar kue ni,”kata Sulong.
“Ntar
bang,bilangkan sama Emak kalau awak minta ampun, sebab kejadian sepuluh tahun
yang lalu,”kata wanita itu.
Karena
penasaran Sulong bertanya pada wanita itu dan wanita itu menjelaskannya panjang
lebar. Mendengar cerita dari wanita itu. Wajah sulong pun memerah dan membentak
wanita itu. Wanita itu hanya menangis. Kerena iba dan kasihan melihat wanita
itu. Sulong pun memaafkan wanita itu. Tapi dengan syarat pergi dari Tanjung
Balai dan jangan datang ke pajak Tanjung Balai lagi. Wanita itu menyetujuinya.
Sulong membawa
kembali uang pesanan kue tadi. Tapi saat dia kembali ke kedai dia melihat lima
orang lelaki mengacak-acak kedainya. Sulong langsung mearuh sepedanya dan
bergegas berlari ke arah kedai. Emak sudah menangis tak berdaya menhadapai
kelima lelaki itu.
“Hei… Mayelah,
maye engkau buat ni?,”teriak Sulong.
“Sebab engkau
tak mau kasih pesangon sama kite,”kata salah satu lelaki.
“Siape
kalian?,”tanya Sulong.
“Kami ni preman
di pajak ni,”jawab lelaki itu lagi.
“Awak tak mau
bayar,buntunglah,”kata Sulong lantang.
Karena Sulong
melawan, lelaki yang mengaku preman pajak itu pun mengacak-acak kedainya. Semua
orang yang ada di pajak melihat tapi tak ada satu pun yang mau membantu. Emak
menangis tersedu dan meraung sekencang-kencangnya. Sampai salah seorang preman
menghantamkan batu besar ke arah ke penyangga kedai. Habislah kedai milik
Sulong. Kedainya rubuh,penyangga yang sudah lapuk tak kuat menahan bahan batu
besar yang di lempar oleh preman. Emak dan Sulong menghadapi semuanya. Sulong
hanya membawa uang dari pesanan kue tadi.
Putus asa yang
di landa Sulong dan Emak. Karena tak dapat berbuat apa-apa lagi Emak dan Sulong
memutuskan untuk pulang. Sesampainya di rumah, Engah yang sedang duduk di teras
melihat Sulong yang sudah babak belur
terkaget-kaget.
“Ya ALLAH…
mayelah bang?,”tanya Engah.
“Kedainya
rubuh,tak bisa berjualan lagi kite,”kata Sulong.
“Ya ALLAH,
cemanalah bang mau buat maye kite,”tanya Engah.
Sejenak suasana
hening. Sulong hanya terpaku melihat Emak dan Engah berbincang. Di dalam Abah
duduk sambil menangis mengeluarkan air mata yang mengalir tanpa henti. Mereka
tak tahu mau melakukan apalagi. Sulong pun berfikir dan mendapatkan sebuah
gagasan.
“Engah,engkau
pande menari ye?,”tanya Sulong.
“Ye nape
bang?,”tanya Engah kembali.
“Iyelah,engkau
bisa buat sanggar tari lah,”sahut Emak.
“IYE…,”teriak
Engah.
Besoknya Engah
mempromosikan saggarnya pada anak-anak yang ada di desa Tanjung Balai. Lima
hari kemudian Engah mendapatkan dua puluh lima orang murid. Semantara Sulong
memainkan music yang akan mengiringi tarian Engah dan anak didikya. Bersama
remaja yang tidak bersekolah Sulong memainkan beberapa alat musik khas daerah
mereka yaitu Ceracap,Serunai,Rebab,Gondang Panjang dan Gondang Sembilan.
Sudah dua bulan
sanggar mereka berjalan semakin hari semakin banyak peminatnya dan yang
mendasftar sebagai murid di sanggar milik Engah. Musik yang merdu ditambah
dengan tarian yang mendayu, sangat memikat hati.
v
Malam menjelang, bintang-bintang sudah bertaburan
dengan indahnya menghiasi langit. Sulong menuntun Abah yang meminta untuk
keluar rumah. Abah meminta mau duduk di luar ingin merasakan semilir angin
malam. Abah duduk di kursi goyang sementara Sulong duduk di bawah lantai.
“Bila Abah bisa jalan pasti kite gak macem ni ye,”kata Abah.
“Hah... maye bah. Tak boleh ngomong macam tu
lah,”kata Sulong.
“Sebetulnya Abah tak mau engkau pande main alat
beralun,”kata Abah.
“Musik bah, Kenapelah?,”tanya Sulong.
Abah diam sejenak tanpa berkata. Wajah Sulong juga
terasa tak di alir darah dia penasaran apa maksud abahnya.
“Lalu dulu Abah punya sanggar tari,karena sanggar
Abah lebih banyak yang datang jadi ada pesaing Abah yang tak suka,”kata Abah.
“Jadi cemana bah? Abah di celakakan. Jadi macem ni
Abah tak bisa bejalan lagi dan tak dapat melihat,”kata Sulong.
“Pandelah engkau tebak cerita Abah,”kata Abah.
Sulong teringat
dengan cerita wanita yang Emak tidak suka. Ternyata benar dia yang membuat Abah
seperti ini. Apa yang di ceritakan Abah sama dengan cerita wanita itu. Sulong
menatap Abah,
“Abah … tengok
gerhana bulan,”teriak Sulong.
“Long, nanti
kalau Abah tak ada lagi,engkau boleh tengok Abah di gerhana bulan ye,”kata
Abah.
“Nape
bah?,”tanya Sulong.
“Udah, itu nak
Abah. Bila gerhane matahari pedih nak tengok. Bila gerhane bulankan elok bila
engkau lihat,”jelas Abah.
Mata Sulong langsung menatap gerhana bulan
itu. Gerhana bulan sempurna yang indah sekali. Sulong mengerti apa yang di
bilang Abah kalau berada di malam hari seperti ini.
Abah mau
mengibaratkan orang yang baik dan berkerja keras dengan cara yang baik itu
dengan gerhana bulan. Karena jika di lihat gerhana bulan dapat terlihat jelas
tanpa harus menahan sakit. Tapi jika gerhana matahari di lihat dapat membuat
mata sakit di ibaratkan dengan orang yang pendengki dan jahat.
v
Keesokan
harinya Sulong membuat kakeras kembali dia berjualan di depan gang desanya
supaya bayak yang membeli kebetulan depan gang desanya adalah jalan besar yang
sering digunakan untuk arus pulang balik. Jadi, pastinya banyak yang melepas letihnya.
Hari ini Emak dan Sulong memulai semuanya. Semakin lama semakin banyak orang
yang datang memebeli. Setiap hari Emak dan Sulong berjualan. Selama tiga bulan
lebih mereka menjual kekeras. Suatu hari datang seorang bapak yang memeakai
dasi dan jas. Bajunya sangat rapi. Ternyata dia pembisnis di kota. Dia mau
memberi kemurahan hati pada Emak dan Sulong. Dia menawari toko roti yang ada di
depan pajak Tanjung Balai kepada Sulong agar di kelola dengan baik.
Tanpa berfikir
panjang Sulong menerima penawaranya. Sulong tak sabar untuk pulang ia ingin
memberitahu Abahnya soal ini.
Sulong dan Emak
sangat gembira. Di perjalanan pulang Sulong sudah bersorak-sorai dalam hatinya.
Tapi,ketika sampai di depan pagar rumah sudah banyak orang yang datang. Emak
dan Sulong berjalan masuk. Saat sampai didepan pintu di lihat Abah sudah
terbaring kaku dengan wajah yang pucat. Engah langsung memeluk Emak.
“Abahhhhh……,”teriak
Sulong.
“Engah… nape ?,”kata Emak.
“Tadi pagi Abah udah tak ada bang, tak lalu
abang pergi,”kata Engah.
“Abah,tadikan
Sulong dapat kerja. Kakeras Abah bisa di jual lagi. Banyak bah yang beli… Abah
…. Dengar Abah… Abah… bangun… lekas bah…
Abah..,”kata Sulong yang seolah bergembira dengan kejadian tadi dengan air mata
yang berlinang bercerita di depan jasat Abah.
Setelah semua
keluarga berkumpul. Jenazah Abah di antarkan ke tempat peristirahatannya
setelah di sholatkan. Sulong yang menopang keranda masih terkejut. Betepa cepat
Abah pergi.
v
Sebulan setelah
kepergian Abah. Sulong ingat pesan
Abah. Sulong mengelola toko kue dan di beri nama ‘Kakeras Bulan Sulong’. Sementara Sulong membuatkan sanggar tari
untuk adiknya dengan nama ‘Bulang
Sanggar’. Kata ‘Bulan’ terinspirasi dari mendiang Abah yang menjadi motivasi untuk Sulong, pada setiap pesan-pesannya.
Kasih Isrun kat Laut
Abah menimang
anak lelakinya yang masih berumur 2 tahun ini. Dengan suara merdunya
menyanyikan lagu khas yang sering dinyanyikan untuk buah hati tercinta. Sambil
mengelus kening wajah anaknya yang sudah terlelap. Setelah sang buah hati
tertidur barulah Abah letakan anaknya di atas tempat tidur kayu yang kuat.
Tapi suara
decitan kayu pada tempat tidur,membuat sang buah hati terbangun.
“Aduh inde …
jangan bangun,”kata Abah.
Matanya melihat
ke arah Abah perlahan wajahnya memerah karena masih mengantuk. Akhirnya anaknya
menangis. Karena Abah tak mengerti mendiamkan anaknya. Abah pun berlari ke
dapur mencari sang istri tercinta.
v
Keesokan harinya
Abah mengajak anaknya untuk pergi ke laut. Untuk mengajarkan pada anaknya
pekerjaan sang Abah. Perahu nelayan sudah tersusun rapi di tepi-tepi sungai.
Teman-teman satu perjuangan Abah menyapa Abah dan anaknya yang manis. Sang buah
hati melempar senyum pada teman-teman Abahnya. Yang membuat teman-teman Abah
bersorak geram melihat tingkah lucu buah hati temannya itu. Abah membawa buah
hatinya pada sebuah perahu yang sudah rusak dan tak dapat di pakai lagi.
“Ni dia Isrun tempat
Abah kerja,”kata Abah menggendong anaknya.
“Besar bah, Abah..
Abah.. apa itu?,”kata Isrun sambil menunjuk sebuah benda yang berada di
belakang Abah.
“Itu namanya
Tombak,untuk tangkap ikan”kata Abah.
“Tangkap ikan
Abah,”tanya Isrun
“Iya , nanti kalau
Isrun udah besar Isrun pasti bisa jadi macam Abah sekarang,”kata Abah.
Setelah puas
melihat-lihat kapal akhirnya Abah dan Isrun pulang ke rumah. Saat sampai rumah
mereka makan malam dengan makannan yang sudah di siapkan Mak yang sangat enak.
Setlah makan malam Isrun tidur dengan lelap. Malaikat kecil Abah dan Mak yang
sangat disayangi mereka. Mereka menaruh harapan terhadap Isrun.
v
Siang hari yang
terik membuat Abah mengantuk. Kantuk yang di rasa Abah tak dapat di tahan lagi
akhirnya Abah masuk ke rumah untuk beristirahat sebentar. Mak yang sedang asyik
meracik makannan untuk nanti malam. Kebetulan hari ini Abah tak berkerja.
Isrun asyik
menggiring bola yang terbuat dari kain-kain yang sudah tak terpakai yang di
gulungnya menyerupai bola. Dia masih asyik bermain dengan sahabat karibnya.
Asnan anak tukang bengkel kapal tempat biasa Abah Isrun membetulkan kapalnya.
Mereka sering bermain bola di tepi laut tempat Abah sering melakukan
pekerjaannya yaitu nelayan. Itu tempat favorit Isrun.
“Oi Asnan tangkap bola
ni,”kata Isrun.
“Aduh.. saket. Ih..
awak belom siaplah,”teriak Asnan kesakitan.
“Yah…ampun awak tak
tahulah,”kata Isrun.
Karena merasa
lelah dan kepanasan terkena sengatan matahari yang sangat terik,mereka pun
mengakhiri permainannya. Dan duduk di bangku yang berada di depan bengkel kapal
Abah Asnan sambil meminum air kelapa muda yang mereka ambil langsung dari
pohonnya tempat Babak Kasim. Pancaran keceriaan dari wajah Isrun dan Asnan
menambah keindahan siang hari.
Mereka masih
duduk di bangku itu. Padahal sudah jam 3 sore. Tanpa bergerak sedikit pun dari
tempat tadi. Asnan menguap tanda mengantuk. Sementara Isrun masih menahan rasa
kantuknya. Merasa bosan akhirnya Asnan bangkit dari duduknya.
“Jalan-jalan yok,”kata
Asnan.
“Kemane?,”tanya Isrun.
“Ke ladang Mak Odah,
ambil buah manggesnya, nak?,”kata Asnan.
“Haaahhh betul,”kata
Isrun.
Mereka pun
bergegas pergi. Isrun sekarang sudah berumur 12 tahun sudah mampu membantu Abah
di laut tapi terkadang dia malas karena dia tak berminat banyak pada laut dan
memiliki trauma medalam. Tapi setiap Abah berlayar mencari ikan pada saat malam
hari Isrun selalu mengantar dan menjemput Abah di tepi laut. Setiap pagi dan
sore Isrun selalu menunggu Abah dengan membawa mainan ikan terubuk. Dia sangat
sayang pada Abah.
Sampailah Isrun
dan Asnan di rumah Mak Odah. Setiap hari mereka selalu mengambil manggis milik
Mak Odah,karena Mak Odah terkenal sangat pelit sekali. Berbeda dengan pemelik ladang yang lain. Mereka lewat
dari belakang rumah Mak Odah. Mereka masuk dari lobang yang berada di dekat
pagar kayu,lobang itu cukup besar jadi cukup untuk tubuh Isrun dan Asnan.
Setelah itu mereka mengambil galah yang ada di samping pohon,dan mengambil
manggis satu persatu. Setelah mendapat manggis yang cukup banyak akhirnya
mereka pergi. Tapi, seorang anak perempuan melihat mereka dan berteriak kuat
memanggil Mak Odah.
“Makkkkk….,”teriak anak
permpuan itu.
“Aih mak, Asnan
lekaslah,”kata Isrun.
Saat mereka
berhasil keluar dari ladang Mak Odah. Mak Odah dan anak perempuan itu bergegas
keluar dari rumah dan menuju halaman belakang. Tapi yang dilihat sudah tak ada.
Isrun dan Asnan lari dengan napas yang terengah-engah. Tapi dengan tawa yang
juga lebar. Mereka tampak senang sekali. Isrun termasuk anak yang sangat jail
di kampong Labuhan Batu. Sampai-sampai hampir di usir dari kampong. Mungkin
karena Abahnya orang baik jadi kejailan Isrun di maafkan oleh masyarakat
kampong Labuhan Batu.
Mereka memakan
manggis hasil curian tadi dengan lahap. Satu persatu manggis habis mereka makan
tanpa satu pun tersisa. Tapi betapa pandainya Isrun dia menyimpan dua buah
manggis untuk Abah dan Mak di kantong celananya tanpa di sadari oleh Asnan.
Terlihat matahari terbenam, Isrun pun bergegas pulang ke rumah. Jika dia
terlambat pasti Abah akan marah. Sesampainya di rumah Isrun bergegas mandi dan
mengganti bajunnya. Sebelum pergi ke mushola dengan Abah. Isrun menitipkan
manggisnya pada Mak. Agar di simpan kalau Isrun sudah pualng baru di makan
bersam-sama.
Di mushola Isrun
mengumandangkan iqomah dan adzan. Sementara Abah menjadi imam sholat. Selesai shalat Isrun mengaji dan menyetor hapalan juz Al-Qur’an yang sudah
1 tahun dia kumpulkan. Setelah semua selesai barulah Isrun pulang bersama
Asnan. Saat berjalan pulang seseorang memanggil mereka.
“Heiii…,”teriaknya.
“Siape?,”tanya Isrun.
“Hei engkau maling
manggis tadi,”katanya.
“Awak, salah tengok
engkau,”kata Asnan.
“Bukan engkau ja kawan
engkau juga,aku tanda dengan rante punya engkau ”katanya dengan marah.
“Ini ye,”kata Isrun.
“Iye .. mana mangges
punya Mak cik awak?,”kata anak perempuan itu.
“Coba saje engkau ambil
dalam perut awak,” kata Asnan.
Asnan dan Isrun berlari meninggalkan
anak perempuan itu. Dari jauh tampak anak perempuan itu berteriak dengan
kata-kata yang mengiringi suara yang keluar dari mulutnya karena kesal oleh
perbuatan Isrun dan Asnan.
Sesampainya di rumah Mak yang sudah
mengupas manggisnya menyiapkannya untuk Abah dan Isrun. Isrun memakan
manggisnya dengan lahap.
“Engkau dapat manggesnye dari
mana?,”tanya Abah.
“Dari ladang Mak Odah bah,”kata
Isrun santai.
“Di kasi atau hasil maling
engkau?,”tanya Abah.
“Hehehe ampun Abah,”kata Isrun.
“Esok engkau minta maaf sama Imay
dan Mak Odah,”kata Abah.
“Iye bah,”kata Isrun dengan
senyumnya.
“Eh ye bawakan beras merah Mak
ya,”kata Mak.
Isrun hanya mengangguk. Selesai
makan malam dan makan buah manggis yang tadi di ambil dari tempat Mak Odah.
Isrun melaksanakan shalat Isya dan setelah itu tidur.
v
Keesokan harinya Isrun bersama Abah
datang ke tempat Mak Odah sambil membawa ikan terubuk bakar. Karena Isrun takut
jadi dia berada di belakang badan Abah. Abah mengetuk pintu rumah Mak Odah.
Saat pintu terbuka bukan Mak Odah yang membuka tapi seorang anak perempuan,
diakan anak perempuan yang memarahi Isrun semalam.
“Assalamualaikum,”sapa Abah.
“Waalaikumsalam, wak,ada maye pa
kemari?,”kata anak perempuan itu.
“Ih ini yang Abah bilang Imay,”kata
Isrun terkejut.
“Maye engkau kemari,pergi..,”kata
Imay.
“Imay,Isrun usah betekak kalian,
mana Mak cik engkau?,”tanya Abah.
“Itu di dalam. Masuklah wak,”kata
Imay.
Abah masuk bersama dengan Isrun. Di
lihat Mak Odah sedang menenun songket. Imay berjalan mendahului Isrun dan duduk
di samping Mak Odah membantu Mak Odah menenun. Setalah selesai menenun Mak Odah
menyuruh Imay untuk membuatkan teh di dapur untuk Abah dan Isrun.
Abah pun menyampaikan kedatangannya. Wajah
Isrun yang tadinya ceria berubah menjadi pucat bagai tak aliri darah.
“Bileh maye Abah,datang
kesinilah?,”tanya Mak Odah.
“Ini anak laki awak,dia semalam
ambil mangges punya Mak tak ada bilang,”kata Abah dengan santai.
“Bukan awak tak mau bilang sama
Mak,tapi sebab tak berani lah,”kata Isrun.
“Taka apa-apa udah biasa anak engaku
ambil mangges di ladang awak,mungkin bila engkau besar bisalah engkau bantu Mak
cik engkau ni,”kata Mak Odah.
Isrun hanya mengangguk-angguk saja.
Dalam hatinya Isrun bertanya”kenapa Mak
Odah tiba-tiba sayang sama awak,bileh mayelah. Padahal tak jarang Mak marah
sama awak, macemlah,”. Selesai Abah berbincang-bincang dengan Mak Odah
akhirnya mereka kembali pulang ke rumah. Saat di perjalanan seorang lelaki
berbadan gemuk dengan badan yang pendek datang menghampiri Abah dia menarik
Abah jauh dari tempatku. Sepertinya dia membicarakan hal yang penting dengan
Abah. Wajah lelaki itu sangat serius. Isrun hanya menunggu dan memperhatikan
dari jauh apa yang dilakukan Abah. Setelah selesai dengan pembicaraannya Abah
kembali dengan wajah yang sangat kesal dan marah. Isrun takut menanyakan apa
yang terjadi pada Abah. Isrun takut bila pikiran Abah terbebani apalagi jika
menganggu kesehatannya. Sesampainya di rumah Isrun langsung duduk di tempat
tidurnya seringkali melamun hal yang dia khawatirkan. Tanpa di sadari oleh
Isrun Abah melihatnya dari balik tirai kamar. Rasa sedih dan kesal
menghinggapinya.
v
Mulut Isrun
terbuka lebar,ia terbangun dari tidurnya. Di lihatnya jarum jam menunjukan arah
tiga pagi. Isrun pun berniat unTuk tidur lagi tapi ternyata dia mendengar suara
gaduh yang membuat rasa kantuknya hilang. Itukan suara Mak dan Abah. Suaranya
seperti sedang bertengkar. Isrun hanya mendengar dari balik tirai kamar.
Setelah
pertengkaran hebat antara Abah dan Mak. Isrun puun memberanika diri untuk
melihat kejadian yang sebenarnya. Di lihatnya Mak menangis sementara Abah tak
tahu ntah kemana. Di lihatnya lagi dengan seksama Abah membawa sebuah tas dan
alat untuk menangkap ikan di laut. Abah ingin menjadi nelayan terubuk lagi. Di
lihatnya Abah mempercepat langkahnya padahal Mak sudah bersikeras menghalangi
Abah. Abah keluar dari rumah.
Isrun keluar
dari kamar dan mengejar Abah. Dia terus mengejar Abah. Di pagi buta seperti ini
Isrun tak menyangka Isrun di kejutkan dengan hal seperti ini. Hal ini yang
sebenarnya membuat Isrun marah dan kesal. Dia mengejar Abah terus tanpa henti
sambil berteriak memanggil Abah. Sesampainya di laut kapal Abah sudah mau
berangkat tapi sekuat tenaga Isrun berlari menembus ombak yang dingin.
“Abah …. Abah….,”teriak
Isrun.
Abah yang
melihat anaknya berjalan di tengah laut mencoba membalikan arah kapal yang di
kemudikannya sendiri. Abah menarik Isrun naik ke kapal. Isrun kedinginan dengan
ombak yang menerpanya. Anak buah kapal Abah membawa kapal ke tepi sungai.
“Maye engkau
kemari,”kata Abah.
“Abah .. Abah bilang …
Abah tak… mau mejaring ikan lagi,”kata Isrun tersedu.
“Cuma sehari ja,tak
usah takut lah,”kata Abah.
“Kan udah sembilan
tahun Abah tak menjaring ikan,”kata Isrun sambil duduk di kursi.
“Udahlah tak usah
takut. Abah engkau udah pande,”kata salah satu anak buah kapal.
“Isrun jaga Mak selama
Abah di laut. Jangan lupa engkau buatkan kopi panas akar yang Abah ambil
semalam ye,”kata Abah.
“Abah tak
lalukan?,”tanya Isrun.
Abah hanya
mengangguk sambil berjalan naik ke kapal bersama dengan anak buah kapalnya.
Melihat Abah pergi ke laut membuatnya sedikit cemas dan was-was.
“Abah tiap pagi sama
petang awak tunggu di sini Abah,”kata Isrun.
Abah hanya
mengangguk sambil menatap anaknya dengan tatapan yang berbeda dari biasanya
lebih istimewa. Sementara di tepi laut Isrun menangis sambil melambaikan
tanganya untuk Abah. Dalam hati tangan Isrun menengadah meminta pada Tuhan agar
menjaga Abah agar tetap sehat dan selamat selama menjaring ikan. Sudah lima
tahun Abah tidak pernah menjadi nelayan lagi. Jadi,Mak dan Isrun merasa takut
dan was-was jika Abah berada di laut.
v
“Makkk.. Mak…,”teriak Isrun.
“Mana
Abah,”kata Mak.
“Abah
nak menjaring lagi, awak tak mau lihat Abah menjaring lagi,”kata Isrun.
“Sabar
hanya tige hari ja,”kata Mak.
Isrun
pergi ke laut untuk menunggu Abah. Padahal baru dua jam yang lalu Abah pergi
meninggalkan rumah untuk menjadi nelayan. Isrun duduk di pasir putih yang
sangat lembut. Saat duduk dia melihat sebuah kalung berbandul ikan terubuk. Di
raba lehernya,baru di sadarinya bahwa kalungnya hilang. Lekas di ambil
kalungnya. Saat sedang memakai kembali kalungnya. Terlihat Asnan sedang membawa
layang-layang. Dia berlari ke arah Isrun.
“Ahhhhh…
Di sine engkau,udah aku cari-cari engkau,”kata Asnan.
“Awak
lagi tak mau bermain,”kata Isrun.
“Mak
mu udah bilang sama awak,tenanglah baliknya Abah engkau besok,”kata Asnan.
Dilihatnya
kalungnya yang basah karena terpaan ombak. Untung saja rantenya tak hilang.
Karena ini berarti sekali bagi Isrun. Masih teringat di ingatan masa lalu Isrun.
Saat Abah memberikan kalugnya padanya. Dahulu waktu umur dia 5 tahun Abah
memberikan kalung yang berbandul ikan terubuk.
“Abah…Abah
bileh apa ?,”tanya Isrun.
“Abah
mau buatkan ukir untuk Isrun,”kata Abah.
“Mau
tengok bah,”kata Isrun.
“Ini
dia,elokkan,”kata Abah.
Sambil
menunujukan rantenya,mata Isrun hanya mampu melihat dengan tanda tanya dalam
hatinya. Dia terus menatap kalungnya,memegang kalungnya dan memperhatikan
dengan seksama kalung yang terbuat dari bambu yang berwarna hijau tua.
“Abah..
ini ikan lah,’’kata Isrun sambil memperhatikan kalugnya.
“Ini
memang ikan. Di kata orang ini ikan terubuk,”kata Abah sambil mengfendong
Isrun.
“Ih
boleh ikan terubuk. Emang apa maksud Abah,”kata Isrun.
“Hahahaha..
Anak Abah ni lah, ikan terubuk ni dagingnya enak di makan,sisiknye elok bisa
kita hias-hias,berenangnya wuihh.. cepat, pande hindarkan musuh. Abah mau Isrun
macam Ikan terubuk yang bisa buat Abah bangga dan senang ye,”kata Abah.
“Memangnya harus bah,”kata Isrun.
“Iyelah,
dengar Abah, daging tu maksudnye biar enak di pandang orang bukan jadi orang
jahat, sisik tu maksudnye biar Isrun jaya tak kalah dari petinggi daerah,bila
ikan terubukken berenangnye cepat,kalau Isrun kerjanye,ilmunye bijaksane dan
agamenye Abah mau cepat biar mengalahkan dukun dan tabib kampong ye,”kata Abah.
“Oh… Abah ini untuk Isrunkan. Makasih ya Abah.. baik
Abah,”kata Isrun
Isrun
memeluk Abahnya. Mereka berdua saling mencintai dan menyayangi. Mengerti satu
sama lain. Selalu bermain bersama tanpa memikirkan bagaimana keadaan mereka dan
kondisi mereka. Kadang saat Isrun sakit Abah selalu membawa buah kelapa muda
dan manggis buah kesukaan Isrun dan memakannya bersama. Dan biasanya obat
manggis ini mujarab, setelah makan manggis itu besoknya Isrun tampak sehat dan
bugar kembali.
v
Isrun
meneteskan air matanya dan air matanya jatuh tepat di atas bandul ranteya. Rasa
kesal,sedih, marah dan cemas campur jadi satu. Dan membuat emosi Isrun tak
stabil. Asnan yang berada di sebelahnya bingung melihat teman baiknya menangis
sambil menatap kalung terubuknya itu.
“Awak
juga sama macem engkau,”kata Asnan.
“Maye?,”kata
Isrun.
“Dulu
awak punya rante macam tu tapi tak bandul ikan. Yang kasih Abah awak. Tapi
setelah dia meninggal awak buang kalung itu jauh-jauh sebab asal awak lihat
kalung itu rasa benci awak datang. Awak anggap Abah tak tepat janji sama Awak.
Dia pergi setelah meninggalkan janji sama awak,”kata Asnan sambil menatap
langit biru yang indah.
“Awak
tak benci tapi takut je,”kata Isrun sambil menangis terseu-sedu.
“Awak
tahu Run, udah lama awak sama engkau. Waktu tu Abah awak kasih rante,awak suka
kali. Bandulnya gambar matahari di dalam matahari tu ada bulan. Tapi setelah
Abah kecelakaan waktu di kereta uap tuh awak tak pernah mau pakai rante
tu,”kata Asnan sambil mengeluarkan air matanya.
Mata
Isrun terperangah saat melihat teman baiknya menangis. Rasanya baru pertama
kali melihat Asnan menitihkan air matanya. Di lihatnya kembali laut itu. Di
sampingnya Asnan membaringkan tubuhnya di pasir yang indah sambil menutup
matanya.
v
Matahari
semakin lama semakin tinggi tak terasa sudah siang hari. Asnan yang dari pagi
sudah menemaninya akhirnya tertidur di pasir yang lembut. Isrun tersenyum
melihat temannya. Suara langkah kaki dari jauh terdengar dengan samar-samar.
Dengan membawa rantang yang terbuat dari kayu tua, Mak berjalan ke arah Isrun.
Hati Isrun terasa tersayat kaca yang tajam melihat Mak berjalan ke arahnya
sambil menyeret kakinya.
Tertatih dia
menyeret kakinya,sesekali terjatuh tapi dia dapat memnyeimbangkan rantangnya agar
tetap berdiri tegak. Mata isrun berkaca-kaca melihat sang ibu tertatih dan
merintih menahan sakit kakinya. Sedikitnya batu kerikil yang pasti sudah
menancap di kakinya. Duri-duri tumbuhan bunga
malu pasti menusuk kakinya yang tanpa alas. Tapi apalah arti sebuah
duri-duri dan batu kalau anakku tak makan hari ini karena aku tak dapat
mencegah sang ayah yang selalu menemaninya pergi. Asnan terbangun mendengar
suara seretan kaki yang sangat jelas di telinganya. Asnan tak dapat berkata
apa-apa dia terpaku melihat Mak yang menyeret kakinya sebelah. Melihat Isrun
menangis tanpa bergerak sedikit pun.
“Mak marilah
Asnan bantu ye,”kata Asnan yang berlari ke arah Mak.
Mak memberikan tangannya yang lemah. Asnan
memapah tubuh Mak yang lemah. Dan membawanya ke gubuk punya Isrun dan Asnan
yang di beri nama “Raluh”. Isrun kembali menatap laut. Mak yang berkali-kali
memanggil Isrun tak sedikit pun di hiraukan Isrun.
Asnan menghibur
Isrun dengan membawakan makanannya ke arah Isrun dan menyuapinya dengan wajah
seperti ibu-ibu yang mengurusi anak yang nakal. Tawa di wajah Isrun muncul.
Dengan santai di makannya suapan demi suapan yang di berikan Asnan. Senyum di
wajah Mak mebuat Mak senang sekali meski bukan Mak yang membujuknya untuk makan
tapi makanan itu adalah buatan Mak.
Selesai makan
siang, mereka tetap berada di laut. Sudah satu harian merka di tepi laut
bersama dengan pasir dan dentaman air laut yang menjadi penghibur alam. Wajah
Isrun masih terpaku dengan ujung laut apa kapal Abah akan pulang hari ini. Mak
tertidur di gubuk raluh karena kelelahan menunggu Isrun dan Abah. Asnan
menyelimuti Mak dengan sarung yang tadi pagi di pakai saat shalat shubuh.
Isrun hanya
menatap sayu kemesraan yang di antara
kedua orang yang di kasihinya. Tapi semua belum berarti kalau belum ada Abah.
v
“Alahhh….
Isrun…. Tengok,”teriak Asnan.
“Hah..
hah.. maye..!,”kata Isrun terbangun dari tidurnya dan berlari ke arah Asnan.
Matanya
terperangah. Dari jauh tampak indah sekali. Banyak orang melambaikan tangan
padanya. Salah satunya Abah.
“Abaaaah….,”teriak
Isrun.
Isrun
berlari ke laut melewati laut dan terjangan semua ombak di terjangnya. Begitu
juga Abah yang langsung melompat ke laut. Mereka berpelukan di tengah laut yang
dalam. Semua orang hampir meneteskan air matanya.
“Abah
janji takkan menjaring lagi,”kata Isrun.
“Iye
tak bekilah lagi,udah ayuk balik udah dingin ni,”kata Abah.
Hati
isrun pun tenang dengan sendirinya setelah melihat Abah pulang. Isrun mampu
tidur dengan tenang kembali. Tapi itu hanya untuk beberapa jam saja. Diam-diam
Abah bercerita yang sebenarnya pada Mak. Sebenarnya Mak tak akan mamapu
memeberitahukannya pada Isrun.
“Abah,senang
kali lah Abah balik,”kata Isrun.
v
Dua
hari Abah di rumah membuat kebahagian yang mendalam bagi Isrun. Wajahnya tampak
segar dan sangat berseri-seri. Begitu juga Mak yang sangat bahagia dengan
senyuman yang terus dipancarkan oleh Isrun.
Selama
dua hari ini, Isrun selalu pergi sekolah dengan Abah begitu juga pulang setalah
pualng sekolah Abah mengajak Isrun ke pajak Ujung. Pajak yang berada di ujung
kampung. Dan membelli sebuah topi nelayan yang sangat bagus. Itu di berikannya
pada Isrun.
Tapi
itu tidak bertahan lama karena ada maksud lain dari Abah. Memang hati Isrun
senang. Tapi, hati Abah terasa tersyat karena kebohongan yang di buat. Dalam
hatinya Abah selalu menangis jika melihat Isrun tertawa.
v
Mata Isrun
sudah tertutup dan masuk ke dalam mimpi yang indah. Tapi tidak untuk Abah dan
Mak.
“Bilang sama
Isrun Abah ikut ke kota bile dia tengok Abah tak di rumah,”kata Abah.
“Iye.. tapi
berapa harilah Abah di laut,”kata Mak.
“Sepekan
ye,”kata Abah sambil memberskan alat-alatnya.
Saat sedang
bersiap mau pergi Abah berbalik dan berjalan ke arah dapur mengambil sebuah
tongkat tua yang tampaknya sangat kuat dengan pegangan tangan yang berada di depan
dan penyangga bahunya. Tongkat itu untuk Mak agar Mak bisa berjalan dengan
baik. Mata Abah sedikit demi sedikit meneteskan air matanya melihat Isrun tidur
dengan tenang. Di elusnya kepala Isrun. Masa lalu mengiatkan betapa kejamnya
laut dulu. Tapi bagaiman pula ini satu-satunya jalan agar keluarganya dapat
hidup.
Abah berjalan
keluar dari rumah. Mak mengantar sampai laut. Ternyata di tepi sudah ada Asnan.
Asnan bahwa Abah akan pergi. Dia menatap Abah dengan tatapan tak rela. Karena
dia sudah pernah merasakan kepergian itu.
“Pak cik,
jangan lupe “kasih Isrun kat Laut,”kata
Asnan.
“Iye,”kata
Abah.
v
Tapi, Abah dan
Mak belum mengerti betul anaknya. Dari balik pintu Isrun menangis tersedu
mendengar Abahnya. Isrun memeng tak mengejar. Bila dia mengejar itu akan
membuat Abah marah. Sebaiknya dia hanya mendengar saja dan menunggu Abah
kembali. Dia pakainya rante terubuknya. Dan kembali tidur dengan air mata yang
masih mengalir.
Matanya
terbuka, isrun bangun dan bergerak ke arah sumur dan menimba airnya. Terdengar
dari arah dapur suara percikan minyak. Bergegas Isrun mencuci mukanya dan
berjalan ke arah dapur. Mak ternyata, pagi-pagi begini Mak sudah masak. Isrun
memperhatikan Mak masak dan melihat bagaimana Mak memasak Anyang. Makanan khas daerah labuhan batu makanan
yang paling di sukai oleh Isrun. Beberapa sayuran di rebus setelah itu di
tambah dengan parutan kelapa yang di sangria dengan bumbu bawang merah yang
menggoda selera. Dan di tambah ikan terubuk bumbu kesukaan Isrun. Ikan terubuk
adalah ikan yang hanya berenang melewati laut di Sumatera, dan juga Labuhan
Batu. Jadi tak jarang ikan terubuk menjadi ke banggaan masyarakat Labuhan Batu
Teringat Isrun
ke laut. Isrun langsung bergegas pergi ke laut. Dengan napas terengah-engah
Isrun duduk di samping Asnan. Dia memandang langit biru. Asnan tersenyum sambil
menutup matanya. Sementara Isrun terbengong dengan tingkah aneh dari kawan
akrabnya ini.
Sore pun
berakhir,malam menjelang sudah malam tapi gak terlihat kapal menepi. Akhirnya
Isrun pulang sudah satu hari Isrun berada di tepi laut. Sementara Asnan pulang
karena kepalanya sakit. Sampai di rumah Isrun makan dan mandi. Setelah itu
Isrun tidur.
v
Setiap
harinya selalu sama, pagi Isrun datang ke tepi laut sebelum ke sekolah. Setelah
pulang sekolah Isrun juga datang ke tepi laut bersama dengan Asnan. Setalah
makan siang Isrun datang ke tepi laut lagi sampai sore. Setiap harinya seperti
itu sampai terkadang Mak sangat khawatir dengan kesehatan Isrun.
v
Sudah
15 hari Abah tak pulang ke rumah. Seingat Mak, Abah hanya seminggu berada di
laut dan setelah itu berhenti untuk menjadi nelayan kenapa bisa seperti ini
jadinya.
“Mak…Abah
bilangkan cuman sepekan je,”kata Isrun.
“Maye?,”kata
Mak.
“Badai
ni Mak, kasihan Abah,”kata Isrun lembut.
“Siape
bilang Abah nelayan lagi,”kata Mak.
“Mak,
masihlah ingat. Waktu tu, Mak jadi macem ni bile Abah tak ambil tombak tu,”kata
Isrun.
“Usah
mengoceh tu, jangan engkau kata lagi waktu yang lalu,”kata Mak dengan nada yang
tinggi.
Suasana
menjadi senyap dan sunyi. Hanya suara Guntur yang menggelegar di luar. Mata Irun hanya menatap
jendela sementara Mak hanya mampu beroda dengan persaan yang was-was.
“Aihh…
Isrun.. Isrun…,”teriak seseorang dari luar.
“Maye
Asnan…?,”kata Isrun.
“Abah…
Abah…,”kata Asnan.
Tanpa
berfikir panjang Isrun dan Asnan berlari. Sementara Mak di tinggal di rumah
sendiriran. Dengan keadaan hujan yang deras dan kilat yang menyambar tak
mengalahkan keinginan Isrun. Sesampainya
di laut terlihat kapal sudah terombang ambing. Di atas kapal sudah banyak orang
yang melambaikan tangan meminta tolong kepada warga yang melihat kejadian itu.
Dan terlihat Abah yang tampak kebingungan.
Tak
harus menunggu lagi. Kapal Abah di hempas oleh ombak besar yang mengakibatkan
kapal pecah dan karam di tengah laut. Kepanikan menjadi perasaan yang
mengahmpiri Abah. Semuanya sudah melomapat ke laut.
Ingatan
demi ingtan kembali terlihat di fikiran Isrun. Hal yang sama terjadi kembali.
Abah terus berenang, hampir sampai di tepi sungai. Salah seorang nelayan yang
panic melempar kayu kea rah tepi, tapi naas kayu itu mengenai kepala Abah. Abah
tak sadarkan diri. Dan lama kelamaan hilang dari permukaan. Sementara orang
yang melempar kayu tadi selamat sampai tepi.
“Abaaaaah…,”teriak
Isrun dan Mak.
“Pak
cik…,”teriak Asnan.
Tanpa
berfikir panjang Isrun berlari melompat ke laut mencoba untuk berenang.
Sebenarnya Isrun sangat takut untuk berenang. Tapi apa yang tidak untuk
menyelamatkan nyawa Abah. Sementara Asnan menarik baju orang yang melempar kayu
tadi dan langusng memukul wajahnya. Mak yang melihat kejadian itu pun menagis.
Sudah
lama Isrun menyelam dan berenang mencari Abah. Tapi tak ketemu juga. Putus
asa,gelisah dan sedih campur jadi satu. Ya Tuhan.. kenapa ini terjadi kembali.
“Ada
Abah?,”tanya Mak.
“Tak
ada, kan udah awak bilang semua jadi macem ni. Masih ingat Mak. Karena badai ni
Mak jadi macem ni. Waktu Abah tenggelam Mak. Mak tinggalkan aku di sini,Mak
susul Abah,”kata Isrun dengan nada yang tinggi.
“Iye,
tapi semua selamatkan,”kata Mak.
“Satu
tak selamat kaki Mak, karena kena karang kaki Mak jadi rusak macem tu,”kata
Isrun.
“Isrunnn…,”kata
Asnan.
Tapi
percuma Isrun tak menghiraukannya. Dia tetap pergi jauh dari laut. Trauma besar
sedang melanda hati Isrun. Sekali lagi dia menjadi saksi bagaimana kejamnya
laut dan badai. Dan apalah arti laut bersama ikan terubuknya.
Segerombolan
ikan terubuk berenang mengikuti arus dan berlompat-lompatan di atas permukaan
laut. Sayangnya Isrun tak melihat itu dia malah pergi dari laut. Semua warga
tercengang, bagaimana bisa ikan terubuk berenang di saat bafai yang kencang
seperti ini.
v
Di
mainkannya ceracap dengan suara yang merdu di nyanyikan sebuah lagu yang sering
di dengarnya saat masih berumur dua tahun. Semua anak kecil yang masih balita
nyenyak tertidur. Senyuman Isrun terpancar dengan indahnya. Di
sampingnya terlihat Asnan dan Imey yang sibuk menyelimuti balita yang tak
berdosa. Balita yang mereka rawat adalah balita yang di buang dengan sengaja
oleh orangtuanya. Karena letak kampung berada di paling pesisir jadi banyak
para orangtu yang tak menginginkan bayi di buang atau di letakkan di dekat
kampung.
Jadi
sekarang Isrun, Asnan dan Imey lah yang menjaga anak-anak yang tak berdosa.
Mereka menjadi malaikat bagi remaja-remaja yang ikut berpartisipasi di “Raluh Kasih kat Laut,”.
Selesai
mengurus anak-anak asuhnya. Isrun pergi ke laut, di berdiri tepat di tepi laut.
Dengan angin laut yang lembut membelai wajahnya. Sudah tiga tahun Isrun hidup tanpa senyuman
Abah dan tidak tahu sama sekali dengan keberadaan Abah. Mungkin Abah sudah
bersama yang Maha-Kuasa di akhirat sana.
Rante
yang Abah berikan beberapa tahun yang lalu masih ada di tangan Isrun dan selalu
menjadi kebanggaan bagi Isrun.
“Abah memang tak kat awak di sini, tapi awak
yakin Abah pasti selalu di sini duduk di atas laut bersama kaseh Abah,”
kata Isrun dalam hati.
Dari
jauh tampak Asnan dan Imay bersama Mak yang memperhatikan Isrun dengan senyum
yang di bibir mereka. Isrun melihat kebelakang dan berjalan mendekati Mak dan
kedua temannya dan bernajak pergi dari tepi laut.
v
Setelah
Isrun pergi dari tepi laut bersama dengan keluarga barunya yang di sayangnya.
Muncul ikan-ikan terubuk yang melompat-lompat dari dasar laut ke permukaan
laut bersama dengan itu ombak menyisir
pantai dengan lembut. Angin pun terasa lembut sama seperti pegangan tangan Abah
yang sangat hangat. Sama seperti senyum
Abah yang selalu menyisir kegundahan hati Isrun. Sama seperti kejadian badai
laut yang menghilangkan jasad
Abah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar