M. RAUDAH
JAMBAK
TEATER ‘0’ : AQUILA DI NEGERI PARA BANDIT
Sosok Jaka Sembung menjadi begitu fenomenal, sehingga harus
diselesaikan dalam rapat paripurna di ruang rapat dewan. Selain itu tim
penyelidik terkesan berbau KKN. Memang serasa verbal, tetapi itulah yang
terjadi. ‘Rasa’ ini yang kemudian saya kira dialihkan dalam proses pementasan
ini. Kita begitu dekat dengan yang namanya ‘perselingkuhan’ tapi kemudian
ternyata perselingkuhan itu berbahaya bagi ‘lingkungan dan kesehatan’ pikiran
kita. Kita begitu membutuhkan, begitu merasa dimudahkan oleh manfaat dan fungsi aparatur negara serta birokrasi yang
seharusnya memudahkan rakyat, tetapi ternyata justru hanya untuk memudahkan
hasrat para penentu kebijakan. Dan rakyat tentu tidak mau tinggal diam, walau
ternyata di tengah-tengah masyarakatpun terjadi perselingkuhan itu. Sekarang
kita jadi berfikir, mana lawan mana kawan. Jaka Sembung bawa golok, kita
balikkan Jaka Golok bawa sembung. Rakyat bertindak sebagai detektif dadakan membubarkan panitia khusus (pansus) penyelidikan Jaka Sembung Bawa Golok.
Alasannya, Pansus wakil rakyat itu tidak bermanfaat untuk rakyat dan hanya
menghamburkan uang negara.
Teater ‘O’ telah menemukan tempat yang seharusnya memang
harus ‘dimuntahkan’. Dengan ciri khas komedi ala medan, teater ‘O’ tak pelak
sudah menjadi ikon pementasan teater komedi di Medan. Mereka tidak hanya
menghibur, tetapi juga menebar pesan.
Pesan dalam sebuah pementasan teater atau drama menjadi
sesuatu yang dapat digambarkan kembali tatkala ia mengusik minda kita. Pesan
yang didapat itu bisa saja menjadi beragam tafsir, tergantung latar belakang
(perspektif) dari mana hal itu dipandang. Kelompok Teater ‘O’ dengan
pementasannya berjudul ‘’DETEKTIF DANGA-DANGA episode NEGERI PARA BANDIT’’
karya/Sutradara Yusrianto yang telah dipentaskan di Gedung Utama Taman Budaya
Sumatera Utara (21-22/6), saya kira akan menjadi sesuatu yang menyimpan
‘sesuatu’ di kepala kita, dalam arti kata bisa muncul pesan ‘seragam’ setelah
kita menyaksikannya.
Dan saya dari sekian banyak penonton akan mencoba menafsir
pesan yang ‘tersembunyi’ diantara ‘teror’ komedi dan set properti yang telah
dieksplorasi sedemikan rupa oleh sutradara Yusrianto. Tentu saja dalam hal ini,
saya sudah memiliki ‘konsep’ saya sendiri dengan berusaha melihat adanya
pola-pola hubungan di balik pengalaman pentas tersebut.
Dengan demikian “NEGERI PARA BANDIT” karya Yusrianto dapat
dilihat dari dua macam jenis aspek yakni teater sebagai pengalaman wujud
pandangan mata (apa yang tampak) dan teater sebagai rasa yakni tatkala
bentuk-bentuk gerak, bunyi, cahaya, seni rupa, musik dan pesan yang terbaca
mengalami proses ‘pencernaan’.
Sebagai pengalaman wujud pandangan mata, teater ‘NEGERI PARA
BANDIT’ yang apabila dilihat secara kasat mata adalah sebuah panggung teater
yang menghadirkan penggal atau sketsa-sketsa hidup gambaran dari nilai-nilai
‘kebaikan’ yang bertembung dengan ‘keburukan’. Ia menjadi semacam ironis dalam
kehidupan. Betapa tidak, setiap aktor dan set properti yang telah dieksplorasi
oleh sutradara, menggambarkan kesan kekerasan, kemuakan, kengerian, ketakutan,
kecemasan, kecintaan dan juga kemirisan yang pada akhirnya harus ditertawakan.
Hal itu dapat kita temui di beberapa penggal dalam pementasan
tersebut. Ketua Dewan yang tertangkap basah oleh istrinya yang sedang menelpon
dengan selingkuhannya.Dalam kecemasan dan kemuakannya itu, pada akhirnya
menghancurkan ‘peristiwa’ yang perlahan ditata di atas panggung. Tentu saja hal
itu sudah diatur sedemikian rupa oleh sutradara. Dan hal itu pula yang jadi
menarik, kejelian sutradara dalam menempatkan kejutan-kejutan dialog menjadi
hal yang akrobatik. Dalam sekejap mata, penonton hanya sebatas menduga-duga
pesan dari dialog yang mengalir di atas panggung.
Saya kira di sinilah semuanya bermula. Di sinilah bermula
ketakutan itu, kecemasan, kemuakan, kemirisan, kelucuan terhadap kebodohan.
Karena memang yang terhidang di depan mata adalah sesuatu yang tidak bisa
dipungkiri dari hal yang tersebut di atas. Tetapi ia-nya tentu saja tidak dalam
bentuk ‘verbal’. Ia hadir dalam bentuk dialog dan bisa saja hadirnya bahkan
tidak kita duga. Paripurna pun berlangsung dan dipenuhi
interupsi. Namun, protes dari legislator yang tidak sepakat dan merasa pansus
itu sia-sia tidak ditanggapi. Keputusan berlangsung melalui lobi-lobi
membuat yang tidak sepakat keluar dari ruang sidang. Tetapi bukankah pesan merupakan dunia batas
antara yang dikenal dan ‘yang lain’ yang tak dikenal itu.
Yusrianto sebagai sutradara saya kira dalam pementasannya itu
tidak pula menempatkan dialoga dengan karakter medan. Artinya kita akan
menemukan dari apa yang ternampak berbagai kemungkinan-kemungkinan pesan dari
dialog yang dihadirkan. Namun perlu saya paparkan bahwa kesan yang muncul
tersebut tidaklah menyamai ketika kita menyaksikan langsung dengan
peristiwa-peristiwa yang terjadi di rumah atau ruang rapat para anggota Dewan, dan
lainnya. Kesan yang kita tangkap sudah terkemas ke dalam wilayah estetika seni.
Sisi lain, sekelompok
orang membentuk tim "Ditektif Danga Danga" dengan misi menggagalkan
pembentukan pansus. Ditektif Danga Danga berhasil menggagalkan pansus dan
membubarkan sidang.
Gerakan tim yang
menolak kebijakan wakil rakyat tak sepenuhnya murni. Ada pihak-pihak yang
memotori dan memanfaatkan rakyat yang memang peduli dengan kebenaran. "Ini
fiktif. namun memberikan gambaran bagaimana parlemen kita. Banyak bandit di
parlemen. Banyak peraturan yang dibuat justru tidak bersentuhan dengan
kepentingan rakyat.
Nah, ke semua itu bila dikaitkan dengan pesan yang hendak
disampaikan Pentas “NEGERI PARA BANDIT’
ini menurut hemat saya adalah persoalan keberaadan ‘keseriusan politik’. Selain
bagaiamana sebuah perselingkuhan tidak hanya terjadi dari telpon ke telepon,
dari kasur ke kasur, termasuk juga dari keputusan ke keputusan berikutnya.
Mari pula kita kaitkan pesan dengan dialog, gerak, hand/set
properti dari pengalaman pementasan ke dalam sebutan saya tadi yaitu teater
sebagai rasa.
Teater ‘O’ dengan sadar sebenarnya menghadirkan pesan dalam dialog,
bentuk eksplorasi bahasa tubuh dan hand/set properti untuk kemudian kita
rasakan dengan penuh kesadaran. ‘Rasa’ yang saya maksudkan di sini adalah hasil
tangkapan inderawi terhadap suatu objek yang kemudian dikaitkan pula dengan
tema yang disuguhkan sebuah pementasan atau karya. Tentu saja di sini perlu
proses pencernaan.
Kita atau katakanlah saya, begitu terasa mengasyikkan tatkala
mengapresiasi pentas ‘NEGERI PARA BANDIT’ meskipun sebenarnya diteror dengan
berbagai dialog nakal, simbol, emosi yang terbangun, ketegangan, tensi
meninggi, keterkejutan, kelucuan tetapi kemudian begitu pementasan selesai, ada
semacam rasa yang hinggap bahwa sketsa-sketsa yang telah dikemas oleh sutradara
adalah sebuah peristiwa ironis yang merasuk ke dalam diri.
Awalnya, kita ‘terpana’ dengan dialog ketua dewan dengan
selingkuhannya yang kemudian menjadi ‘seolah-olah’ kemudian sutradara
‘mematahkannya’ dengan kejutan atau bahkan sentakan yang tak disangka-sangka.
Awalnya. kita merasa nyaman dengan dialog-dialog ‘nakal’ tapi sekejap kemudian ‘hancur’
menjadi serpihan-serpihan ‘ngakak’ diantara penonton. Awalnya, Agenda kerja dibuat demi kepentingan sendiri dan putusan diambil tanpa
melepas nepotisme. Alur cerita memang terkesan konyol.
Pasalnya ide
pembentukan pansus justru berawal dari percekcokan pimpinan dewan dengan
istrinya yang juga anggota dewan. Dalam kekesalannya,
Sindiran istri ketua
Dewan yang menilai Ketua Dewan
"Jaka Sembung Bawa Golok" yang justru dimaknai suami sebagai
sebuah ancaman. Ancaman itu bukan untuknya sendiri melainkan lembaga dewan,
karena dia berkedudukan sebagai ketua dewan. Sehingga dia memerintahkan agar
dewan membentuk panitia khusus untuk menangkap si "Jaka Sembung Bawa
Golok" itu. Dan
banyak lagi sketsa yang hadirnya serupa demikian.
Nah, demikian yang saya maksudkan teater sebagai rasa. Di
sebalik ‘dialog komedi’ yang terhidang di atas panggung, terselip rasa ironis
tersebut.
Teater ‘O’ dengan ciri khasnya adalah menghidangkan dialog-dialog
nakal khas medan di atas pentas. Para pemain menjadi aktor sekaligus
benda-benda yang ‘berbahasa’. Imaji kita terbangun dari tawaran bentuk tubuh
dan gerak manusia, bunyi-bunyi yang biasa dan tak biasa, tata cahaya dan ke
semua teknik yang terus digali kemungkinannya. Tetapi itu pula yang kemudian
menurut saya menjadi menarik untuk diapresiasi. Karena meskipun kesempurnaan
komunikasi itu adalah bahasa ternyata sesuatu yang bukan kata-kata verbal mampu
juga mengantarkan sepaket pesan di pangkuan kita.
Pementasan Detektif Danga-danga ini juga membawa ‘pesan’ lain
di balik pementasan dan kusutmasainya aturan di republik ini. Pesan lain adalah
mengunggah keperdulian kita terhadap sesama. Pertunjukan teater itu merupakan ajang penggalangan dana untuk membantu
pengobatan Aquila yang menderita gangguan saluran hati (atersia biler).
Penjualan tiket dan
buku sepenuhnya untuk membantu dana pengobatan Aquila. Dalam hal ini, Aquila
membutuhkan dana sebesar Rp800 juta untuk operasi cangkok hati.
Pesan berikutnya
adalah bagaimana keperdulian kita terhadap Aquila-Aquila yang lain, yang tidak mampu membiayai perobatan sementara
pemerintah tidak memberikan perhatian penuh. Sementara Askes orang tua Aquila
hanya memberikan Rp100 juta untuk pengobatan anak 2 tahun itu. Dalam acara yang
diselingi dengan penggalangan dana itu.
Demikian.
Penulis, Direktur Komunitas Home Poetry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar