Senin, 29 Februari 2016

Seniman, Kesenian dan Gedung Kesenian



M. Raudah Jambak
Seniman, Kesenian dan Gedung Kesenian
Komisi-komisi telah bersidang dalam Musyawarah Seniman Medan. Buah pikiran terbaik telah ditancapkan. Harapan terus mengalir dan menganak sungai nantinya kita harap sampai ke muara pencapaian yang dicita-citakan. Terutama persoalan seniman, kesenian maupun gedung kesenian.
Gedung Kesenian sebagai salah satu bagian dari apa yang disebut sebagai ruang publik (public space) sangat diperlukan. Sebagaimana kita ketahui bahwa keberadaan ruang publik  dalam hal ini Gedung Kesenian menjadi tuntutan tersendiri, karena hingga saat ini kita belum melihat adanya ruang publik untuk kepentingan masyarakat luas sebagai wadah berkreasi dan berekspresi.
Selain adanya taman kota bagi kepentingan masyarakat umum. Gedung Kesenian juga memiliki effect bagi pengembangan nilai-nilai karakter budaya yang selama ini kita canangkan. Situasi dan kondisi itu jangan sampai menjadikan kita hidup di ruang mesin. Maka peran di sinilah letak pentingnya Gedung Kesenian yang kita idam-idamkan itu, mengingat dimensi ekonomi, dan sosial-budayanya lebih luas.
Persoalan Gedung Kesenian menjadi wacana lain dalam perkembangan seni dan budaya kita. Hal berlangsung di setaip kotamadya dan provinsi di seluruh Indonesia. Gedung kesenian yang representatif secara akustik dan artistik hanya dimiliki beberapa kota, seperti Gedung Kesenian Jakarta (GKJ); di Yogyakarta terdapat Auditorium Seni Pertunjukan yang terdapat di Institut Seni Inidonesia (ISI); di Medan ada Auditorium Pertunjukan Musik yang dikelola Sekolah Menengah Musik (SMM); di Sumatera Barat ada Gedung Pertunjukan yang terdapat di Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Padang Panjang.
Minimnya jumlah gedung kesenian di Indonesia disebabkan oleh tidak adanya agenda kebudayaan di dalam hal pengembangan infrastruktur kesenian di Indonesia. Secara umum, pemerintah daerah atau pemegang otoritas pemerintahan di suatu daerah belum menjadikan pembangunan seni dan budaya serta infrastuktur pendukung seni-budayanya sebagai agenda pembagunannya.
Kondisi yang sangat memprihatinkan ini memaksa kita untuk merubah paradigma pembangunan secara mendasar.
Perubahan paradigma pembangunan itu sendiri diharapkan mampu menempatkan manusia sebagai subjek kebudayaannya. Sesuai dengan konsep pemberdayaan yang salah satu tujuannya adalah agar masyarakat mampu mentranformasikan nilai-nilai kebudayaannya di dalam proses pembangunan. Oleh karena pemberdayaan menyangkut perubahan bukan hanya kemampuan, melainkan juga sikap, maka pemberdayaan adalah sebuah konsep kebudayaan. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat menjadi suatu proses emansipatif di dalam kerangka transformasi budaya. Terutama di daerah-daerah Industri.
Sebagai contoh, Industriawan Inggris menyumbang tak kurang dari $46,8 juta per tahun untuk keagungan seni bangsanya. Untuk hal kesenian, pemerintah Australia mengeluarkan $167,7 juta, plus $268,3 juta dari pemerintah negara bagian, pada tahun fiscal 1974. Hampir 90% dari biaya pembangunan kesenian ditanggung oleh pemerintah di Negara Jerman. Sekitar 70% sampai 85% ongkos produksi opera-opera bergengsi di biayai oleh pemerintah di Negara Perancis, Skandinavia, dan Austria (Suka Hardjana, “Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia”, 1995).
Keberadaan seni sebagai “wilayah kerja” yang terpisah dari realitas sosial-budayanya justru berbahaya. Keberadaan industri beserta seluruh faktor pendukungnya masih dipandang sebagai alat produksi semata.” Di banyak negara maju, pemerintahnya memandang kebudayaan sebagai sarana pembebasan yang memerdekakan manusia dari belenggu-belenggu kulturalnya.
Sementara pemerintah kita justru menjadikan kebudayaan sebagai “terdakwa” yang justru di belenggu dan diasingkan dari realitas kehidupan masyarakatnya. Lagipula Pemerintah kita tidak mau ambil pusing apakah industri berperan terhadap kemajuan kebudayaan atau sebaliknya; karena bagi pemerintah, kebudayaan adalah masalah nasib atau takdir sehingga tidak perlu disikapi secara rasional. Hal itu menjadi perbedaan lain.
Dilihat dari segi fungsinya, gedung kesenian adalah ruang bagi proses kreatif seniman dan juga sebagai sarana apresiasi seni bagi masyarakat luas pada umumnya. Di samping itu, ia dapat pula menjadi jembatan agar tercipta interaksi sosial-budaya bagi masyarakat Batam yang pluralistik ini. 
Kita tahu bahwa saat ini ada banyak Paguyuban yang bersifat kedaerahan yang muncul, tetapi kita masih meraba-raba apa peran kebudayaannya. Di dalam konteks seni dan budaya, setiap paguyuban seharusnya mampu memainkan peran kebudayaannya di dalam mewarnai kehidupan masyarakat luas, yaitu melalui aktivitas seni dan budayanya.
Persoalannya sekarang adalah, bagaimana masing-masing paguyuban mampu mengaktualisasikan potensi seni dan budayanya sehingga bermamfaat bagi masyarakat. Disinilah kita melihat bahwa keberadan gedung kesenian, disamping memiliki fungsi sosial-budaya juga mengandung makna simbolik yang menggambarkan adanya sikap hormat terhadap kebudayaan. Upaya bagi terciptanya komunikasi kultural adalah tanggungjawab kita bersama. 
Pemerintah bertanggungjawab memfasilitasi terciptanya sarana publik tersebut. Dengan demikian seni akan menjadi sebuah keniscayaan di dalam mengatasi kebuntuan-kebuntuan komunikasi yang muncul dari kesalahpahaman budaya. Kita tidak menginginkan, sebagaimana Albert Camus katakan, bahwa “seni menjadi sebuah kemewahan yang terselubung.”
Kita mungkin sedikit merasa lega, setelah mendengar pernyataan langsung Walikota Medan Rahudman Harahap, akan menjadikan Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) sebagai Gedung Kesenian Medan. Sebab, Kota Medan sampai saat ini belum memiliki gedung kesenian.
Adanya wacana  dijadikannya TBSU menjadi Gedung Kesenian Medan,  tentunya akan membuat Kota Medan memiliki tempat yang benar-benar representative untuk berkesenian. TBSU selama ini dinilai  belum layak dijadikan tempat bekesenian. Selain tidak memiliki  akustik, juga tidak memiliki tempat ganti pakaian.
Kita  berharap melalui Musyawarah Seniman yang akan berlangsung selama 3 hari ini, akan menyatukan persepsi di kalangan para seniman dalam melahirkan konsep-konsep yang nantinya akan diserahkan  kepada pemerintah kota sebagai bahan acuan. Serta berharap mudah-mudahan konsep itu mendapat dukungan DPRD sehingga ada pola pembinaan kesenian berkelanjutan.
Semoga harapan, keseriusan, bersinergi dengan komitmen sebagai langkah gerak cultural dalam upaya merevitalisasi pembinaan dan pengembangan kesenian dan kebudayaan di Medan.
Selama ini wacana lain juga berkembang. Bahwa,  TBSU  disebut-sebut akan diruislagh atau dijual sehingga menimbulkan keresahan di kalangan para seniman. Akibatnya, situasi menjadi perang dingin.
Penetapan TBSU menjadi Gedung Kesenian Medan melalui penetapan Peraturan Daerah (Perda) yang disahkan DPRD Medan, Walikota akan mendahuluinya dengan menerbitkan Peraturan Walikota (Perwal). Dengan demikian penetapan tersebut berkekuatan hukum tetap.
Dengan didahulukannya Perda dengan membuat Perwal yang menyatakan, bahwa TBSU menjadi Gedung Kesenian Medan. Setelah itu gedung TBSU diperbaiki, peralatannya dilengkapi agar para seniman dapat berkesenian dengan baik dan tenang, sesuai SK Gubsu No.247 Tahun 2001, TBSU telah diserahkan kepada Pemko Medan, mudah-mudahan terwujud. Diharapkan natinya anggaran perbaikan itu akan ditampung dalam P.APBD Tahun 2013 guna menjadikannya sebagai tempat yang benar-benar representatif untuk berkesenian bagi para seniman.
Untuk merealisasikan keinginan tersebut,akan dilakukan pembenahan-pembenahan. Bahwa, tanah TBSU merupakan HPL Pemko Medan. Sedangkan bangunannya milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu).  Karenanya, berhubung lahan itu belum diserahkan Pemprovsu, maka Pemko Medan belum bisa menyediakan anggaran untuk melakukan penataan.
Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Medan tidak akan dialihfungsikan, meski gedung tersebut ingin diambilalih oleh Pemko Medan. Lahan atau tanah itu merupakan milik Pemko Medan. Dan, saat ini lahan tersebut dibutuhkan Pemko Medan untuk menjadi Kantor Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Medan. Karena itu, Pemko pun sempat meminta kepada Pemprov Sumut untuk segera mengosongkan TBSU tersebut mulai 1 Maret 2013.
Dengan direnovasinya TBSU kelak diharapkan semakin banyak yang mau memanfaatkan dan menggunakan gedung karena sarana dan prasarannya memadai. Gedung kesenian seperti ini, bukan hanya mengandalkan luas lahan dan warna-warna cat yang menarik. Tetapi peralatan di dalamnya harus mencerminkan sebuah lokasi yang diperuntukkan bagi kepentingan berkesenian. Masih banyak yang harus dilengkapi dan dibenahi agar para pecinta seni bisa berkegiatan dengan sempurna, kemudian para penikmat kesenian yang datang juga bisa menikmati berbagai tampilan para seniman yang sedang beraksi pada even yang mereka tampilkan, Misalkan menari, teater maupun musi, dll. Tanpa didukung peralatan yang cocok, maka tampilan itu serasa hampa, pengunjung atau pecinta senipun akan merasa hambar menyaksikan tampilan itu.
Mungkin,  Gedung utama, gedung sanggar tari, ruang pameran, musholla, ruang teater, ruang musik, ruang tata usaha, unit arsip/dokomentasi dan ruang panggung terbuka, akan menjadi bagian penting untuk dibenahi.
Sanggar yang berlatih (yang terdaftara) di TBSU seperti 16 kelompok tari, 11 kelompok teater, 7 kelompok musik dan 2 kelompok seni rupa, diharapkan semakin giat berkreasi. Walau selama ini mereka memanfaatkan sarana yang apa adanya ini dan bisa dibilang kurang memadai, tapi mereka tetap mau melatih peserta didiknya secara rutin. Awak seni memang harus diberikan ruang untuk beraktifitas yang diharapkan segera terwujud.
Kita berharap, bahwa TBSU jangan dirubah fungsinya ataupun peruntukkannya, tetapi harus tetap menjadi taman budaya. Lalu, Gedung Kesenian? Salam.
*Penulis adalah Direktur Komunitas Home Poetry


Tidak ada komentar:

Posting Komentar