M. Raudah Jambak
Seniman, Kesenian dan Gedung Kesenian
Komisi-komisi
telah bersidang dalam Musyawarah Seniman Medan. Buah pikiran terbaik telah
ditancapkan. Harapan terus mengalir dan menganak sungai nantinya kita harap
sampai ke muara pencapaian yang dicita-citakan. Terutama persoalan seniman,
kesenian maupun gedung kesenian.
Gedung Kesenian
sebagai salah satu bagian dari apa yang disebut sebagai ruang publik (public
space) sangat diperlukan. Sebagaimana kita ketahui bahwa keberadaan ruang
publik dalam hal ini Gedung Kesenian menjadi
tuntutan tersendiri, karena hingga saat ini kita belum melihat adanya ruang
publik untuk kepentingan masyarakat luas sebagai wadah berkreasi dan
berekspresi.
Selain adanya
taman kota bagi kepentingan masyarakat umum. Gedung Kesenian juga memiliki
effect bagi pengembangan nilai-nilai karakter budaya yang selama ini kita
canangkan. Situasi dan kondisi itu jangan sampai menjadikan kita hidup di ruang
mesin. Maka peran di sinilah letak pentingnya Gedung Kesenian yang kita idam-idamkan
itu, mengingat dimensi ekonomi, dan sosial-budayanya lebih luas.
Persoalan Gedung
Kesenian menjadi wacana lain dalam perkembangan seni dan budaya kita. Hal
berlangsung di setaip kotamadya dan provinsi di seluruh Indonesia. Gedung
kesenian yang representatif secara akustik dan artistik hanya dimiliki beberapa
kota, seperti Gedung Kesenian Jakarta (GKJ); di Yogyakarta terdapat Auditorium
Seni Pertunjukan yang terdapat di Institut Seni Inidonesia (ISI); di Medan ada
Auditorium Pertunjukan Musik yang dikelola Sekolah Menengah Musik (SMM); di
Sumatera Barat ada Gedung Pertunjukan yang terdapat di Sekolah Tinggi Seni
Indonesia (STSI) Padang Panjang.
Minimnya jumlah
gedung kesenian di Indonesia disebabkan oleh tidak adanya agenda kebudayaan di
dalam hal pengembangan infrastruktur kesenian di Indonesia. Secara umum,
pemerintah daerah atau pemegang otoritas pemerintahan di suatu daerah belum
menjadikan pembangunan seni dan budaya serta infrastuktur pendukung
seni-budayanya sebagai agenda pembagunannya.
Kondisi yang
sangat memprihatinkan ini memaksa kita untuk merubah paradigma pembangunan
secara mendasar.
Perubahan
paradigma pembangunan itu sendiri diharapkan mampu menempatkan manusia sebagai
subjek kebudayaannya. Sesuai dengan konsep pemberdayaan yang salah satu
tujuannya adalah agar masyarakat mampu mentranformasikan nilai-nilai
kebudayaannya di dalam proses pembangunan. Oleh karena pemberdayaan menyangkut
perubahan bukan hanya kemampuan, melainkan juga sikap, maka pemberdayaan adalah
sebuah konsep kebudayaan. Dengan kata lain, pemberdayaan masyarakat menjadi
suatu proses emansipatif di dalam kerangka transformasi budaya. Terutama di
daerah-daerah Industri.
Sebagai contoh,
Industriawan Inggris menyumbang tak kurang dari $46,8 juta per tahun untuk
keagungan seni bangsanya. Untuk hal kesenian, pemerintah Australia mengeluarkan
$167,7 juta, plus $268,3 juta dari pemerintah negara bagian, pada tahun fiscal
1974. Hampir 90% dari biaya pembangunan kesenian ditanggung oleh pemerintah di
Negara Jerman. Sekitar 70% sampai 85% ongkos produksi opera-opera bergengsi di
biayai oleh pemerintah di Negara Perancis, Skandinavia, dan Austria (Suka
Hardjana, “Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia”, 1995).
Keberadaan seni
sebagai “wilayah kerja” yang terpisah dari realitas sosial-budayanya justru
berbahaya. Keberadaan industri beserta seluruh faktor pendukungnya masih
dipandang sebagai alat produksi semata.” Di banyak negara maju, pemerintahnya
memandang kebudayaan sebagai sarana pembebasan yang memerdekakan manusia dari
belenggu-belenggu kulturalnya.
Sementara
pemerintah kita justru menjadikan kebudayaan sebagai “terdakwa” yang justru di
belenggu dan diasingkan dari realitas kehidupan masyarakatnya. Lagipula
Pemerintah kita tidak mau ambil pusing apakah industri berperan terhadap
kemajuan kebudayaan atau sebaliknya; karena bagi pemerintah, kebudayaan adalah
masalah nasib atau takdir sehingga tidak perlu disikapi secara rasional. Hal
itu menjadi perbedaan lain.
Dilihat dari
segi fungsinya, gedung kesenian adalah ruang bagi proses kreatif seniman dan
juga sebagai sarana apresiasi seni bagi masyarakat luas pada umumnya. Di
samping itu, ia dapat pula menjadi jembatan agar tercipta interaksi
sosial-budaya bagi masyarakat Batam yang pluralistik ini.
Kita tahu bahwa
saat ini ada banyak Paguyuban yang bersifat kedaerahan yang muncul, tetapi kita
masih meraba-raba apa peran kebudayaannya. Di dalam konteks seni dan budaya,
setiap paguyuban seharusnya mampu memainkan peran kebudayaannya di dalam
mewarnai kehidupan masyarakat luas, yaitu melalui aktivitas seni dan budayanya.
Persoalannya
sekarang adalah, bagaimana masing-masing paguyuban mampu mengaktualisasikan
potensi seni dan budayanya sehingga bermamfaat bagi masyarakat. Disinilah kita
melihat bahwa keberadan gedung kesenian, disamping memiliki fungsi
sosial-budaya juga mengandung makna simbolik yang menggambarkan adanya sikap
hormat terhadap kebudayaan. Upaya bagi terciptanya komunikasi kultural adalah
tanggungjawab kita bersama.
Pemerintah
bertanggungjawab memfasilitasi terciptanya sarana publik tersebut. Dengan
demikian seni akan menjadi sebuah keniscayaan di dalam mengatasi
kebuntuan-kebuntuan komunikasi yang muncul dari kesalahpahaman budaya. Kita
tidak menginginkan, sebagaimana Albert Camus katakan, bahwa “seni menjadi
sebuah kemewahan yang terselubung.”
Kita
mungkin sedikit merasa lega, setelah mendengar pernyataan langsung Walikota
Medan Rahudman Harahap, akan menjadikan Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU)
sebagai Gedung Kesenian Medan. Sebab, Kota Medan sampai saat ini belum memiliki
gedung kesenian.
Adanya
wacana dijadikannya TBSU menjadi Gedung
Kesenian Medan, tentunya akan membuat Kota Medan memiliki tempat yang
benar-benar representative untuk berkesenian. TBSU selama ini dinilai
belum layak dijadikan tempat bekesenian. Selain tidak memiliki akustik,
juga tidak memiliki tempat ganti pakaian.
Kita berharap melalui Musyawarah Seniman yang akan
berlangsung selama 3 hari ini, akan menyatukan persepsi di kalangan para
seniman dalam melahirkan konsep-konsep yang nantinya akan diserahkan
kepada pemerintah kota sebagai bahan acuan. Serta berharap mudah-mudahan konsep
itu mendapat dukungan DPRD sehingga ada pola pembinaan kesenian berkelanjutan.
Semoga
harapan, keseriusan, bersinergi dengan komitmen sebagai langkah gerak cultural
dalam upaya merevitalisasi pembinaan dan pengembangan kesenian dan kebudayaan
di Medan.
Selama
ini wacana lain juga berkembang. Bahwa,
TBSU disebut-sebut akan diruislagh atau dijual sehingga
menimbulkan keresahan di kalangan para seniman. Akibatnya, situasi menjadi
perang dingin.
Penetapan
TBSU menjadi Gedung Kesenian Medan melalui penetapan Peraturan Daerah (Perda)
yang disahkan DPRD Medan, Walikota akan mendahuluinya dengan menerbitkan
Peraturan Walikota (Perwal). Dengan demikian penetapan tersebut berkekuatan
hukum tetap.
Dengan
didahulukannya Perda dengan membuat Perwal yang menyatakan, bahwa TBSU menjadi
Gedung Kesenian Medan. Setelah itu gedung TBSU diperbaiki, peralatannya
dilengkapi agar para seniman dapat berkesenian dengan baik dan tenang, sesuai
SK Gubsu No.247 Tahun 2001, TBSU telah diserahkan kepada Pemko Medan,
mudah-mudahan terwujud. Diharapkan natinya anggaran perbaikan itu akan
ditampung dalam P.APBD Tahun 2013 guna menjadikannya sebagai tempat yang
benar-benar representatif untuk berkesenian bagi para seniman.
Untuk
merealisasikan keinginan tersebut,akan dilakukan pembenahan-pembenahan. Bahwa,
tanah TBSU merupakan HPL Pemko Medan. Sedangkan bangunannya milik Pemerintah
Provinsi Sumatera Utara (Pemprovsu). Karenanya, berhubung lahan itu belum
diserahkan Pemprovsu, maka Pemko Medan belum bisa menyediakan anggaran untuk
melakukan penataan.
Taman
Budaya Sumatera Utara (TBSU) yang terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Medan
tidak akan dialihfungsikan, meski gedung tersebut ingin diambilalih oleh Pemko
Medan. Lahan atau tanah itu merupakan milik Pemko Medan. Dan, saat ini lahan
tersebut dibutuhkan Pemko Medan untuk menjadi Kantor Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata (Budpar) Medan. Karena itu, Pemko pun sempat meminta kepada Pemprov
Sumut untuk segera mengosongkan TBSU tersebut mulai 1 Maret 2013.
Dengan
direnovasinya TBSU kelak diharapkan semakin banyak yang mau memanfaatkan dan
menggunakan gedung karena sarana dan prasarannya memadai. Gedung kesenian
seperti ini, bukan hanya mengandalkan luas lahan dan warna-warna cat yang
menarik. Tetapi peralatan di dalamnya harus mencerminkan sebuah lokasi yang
diperuntukkan bagi kepentingan berkesenian. Masih banyak yang harus dilengkapi
dan dibenahi agar para pecinta seni bisa berkegiatan dengan sempurna, kemudian
para penikmat kesenian yang datang juga bisa menikmati berbagai tampilan para
seniman yang sedang beraksi pada even yang mereka tampilkan, Misalkan menari,
teater maupun musi, dll. Tanpa didukung peralatan yang cocok, maka tampilan itu
serasa hampa, pengunjung atau pecinta senipun akan merasa hambar menyaksikan
tampilan itu.
Mungkin, Gedung utama,
gedung sanggar tari, ruang pameran, musholla, ruang teater, ruang musik, ruang
tata usaha, unit arsip/dokomentasi dan ruang panggung terbuka, akan menjadi
bagian penting untuk dibenahi.
Sanggar
yang berlatih (yang terdaftara) di TBSU seperti 16 kelompok tari, 11 kelompok
teater, 7 kelompok musik dan 2 kelompok seni rupa, diharapkan semakin giat
berkreasi. Walau selama ini mereka memanfaatkan sarana yang apa adanya ini dan
bisa dibilang kurang memadai, tapi mereka tetap mau melatih peserta didiknya
secara rutin. Awak seni memang harus diberikan ruang untuk beraktifitas yang
diharapkan segera terwujud.
Kita berharap,
bahwa TBSU jangan dirubah fungsinya ataupun
peruntukkannya, tetapi harus tetap menjadi taman budaya. Lalu, Gedung Kesenian?
Salam.
*Penulis
adalah Direktur Komunitas Home Poetry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar