Menelisik Eksistensi Sastrawan Wanita Sumatera Utara
M. Raudah Jambak
Ratman Suras gelisah! Itu yang terbersit di benak saya, ketika Omong-Omong Sastra di UISU Jalan Puri (Minggu, 15/04) lalu. Ratman mengatakan, untuk peta kepenyairan wanita di Sumatera Utara, masih sedikit kaum wanita yang menghiasi blantika sastra khususnya puisi. Jika dilihat dari antologi yang lahir, masih begitu minim para penyair wanita yang ikut andil di dalamnya. Sekilas mereka yang biasanya menghiasi blantika sastra khususnya puisi di Sumatera Utara, mungkin saja telah menemukan dunia lain yang dianggap lebih menjanjikan daripada dunia kepenyairan.
Seiring dengan dinamika kehidupan, Para penyair wanita Sumatera Utara pasti akan bermunculan, kabar ini tentu menyegarkan perjalanan sastra. Kegelisahan Ratman dapat kita maklumi, walau kita mengenal cukup banyak sastrawan wanita yang hilir-mudik di blantika sastra nasional. Sebut saja Ayu Utami, Hanna Fransisca, maupun Djenar Mahesa Ayu di Jakarta dan atau (alm) Ratna Indraswari Ibrahim, Sirikit Syah, maupun Lan Fang di Jawa Timur.
Memang harus diakui, eksistensi sastrawan wanita secara kuantitas, tidak sebanding dengan sastrawan berjender lelaki. Meski para wanita, dihadapkan pada tantangan yang sama dengan sastrawan lelaki. Sama-sama harus bersaing di medan juang kesusastraan Indonesia, berbagai prestasi telah diukir sastrawan-sastrawan wanita. Mengingat posisinya yang cenderung sub-ordinat dalam lingkung kultural patriakhi, dengan sendirinya sastrawan wanita harus berjuang lebih keras dibandingkan lawan-lawan jenisnya, kalau berkehendak eksistensinya lebih dan lebih.
Seperti juga yang pernah digelisahkan oleh beberapa sastrawan wanita juga, termasuk Anjrah Lelono Broto (Anggota senior Teater Kopi Hitam Indonesia), kewanitaan sastrawan wanita melahirkan kondisi yang kurang menguntungkan dengan sederet peran-beban tanggung jawab sosio-kultural. Peran-beban tanggung jawab sosio-kultural, menempatkannya sastrawan wanita pada wilayah penjara klasik; dapur, sumur dan kasur.
Dus, selain menghadapi tuntutan avant garde,originalitas, kebaruan, dan lain-lain, sastrawan wanita juga dituntut untuk menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya. Mereka dituntut mampu meyakinkan publik, kebrilianan karya dan proses kreatifnya berbanding lurus dengan kehidupan rumah tangganya. Realitanya, sastrawan tidak bisa menafikkan kajian interteks antara karyanya dengan kehidupan pribadinya.
Posisi yang riskan seperti ini tidak jarang menjadikan sastrawan wanita sebagai dinding melekatnya stigma negatif, terutama ketika ia berani mempertanyakan norma dan nilai-nilai yang tak berpihak padanya (ingat marjinalisasi ‘sastra kelamin’). Memang ada yang setia dengan spirit kreatifnya dan sanggup menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya.
Pilihan ini bukan berarti pengorbanan nir resiko. Besar kemungkinan dirinya akan disudutkan dengan berbagai stigma negatif yang berpengaruh besar pada kehidupan nyata pribadinya.
Pendidikan bagi kaum wanita bisa jadi, satu jawaban yang melintas ringan. Kita semua menyadari, pendidikan merupakan kunci balon udara yang bernama independensi. Pendidikan yang memadai bagi wanita (termasuk di dalamnya sastrawan wanita) akan menempatkannnya sebagai pribadi yang mampu membaca dan menulis dinding realitas sosial, berikut sederet tantangannya dengan cara yang genial. Gambaran ini akan menaikkan daya tawar kewanitaan yang melekat pada pribadi sastrawan wanita.
Menurut Ratman, perkembangan sastra Indonesia pun sudah mengabarkan kepada kita tentang miskinya penyair wanita. Hanya berapa yang bisa kita catat. Sebut saja, NH Dini, Isma Safitri, Rayani Sriwidodo, Toeti Heraty Noerhadi, Popy Hutagalung, Rita Oetoro, Diah Hadaning, Omi Intan Naomi, Dorothea Rosa Herliany, Azwina Aziz Miraza, Medy Lukito, Ulfathin Ch., Abidah el Khalieqy, Suryatati A Manan, Ayu Utami, Dewi Lestari, Nova Riyanti Yusuf, dan Helvi Tiana Rosa. Dari nama-nama ini, hanya beberapa saja yang masih aktif sampai kini puisi-puisinya bisa kita nikmati.
Untuk peta kepenyairan wanita Sumatera-Utara sendiri sepertinya nyaris sama, sedikit sekali wanita yang menghiasi blantika sastra khususnya puisi. Dulu kita kenal nama-nama seperti, Murni Aryanti Pakpahan, Laswiayati Pisca, Susi Aga Putra, lalu ada Rosliani, Jerni Martina Erita Napitupulu, Rosmaeli Siregar. Ada Aishah Basar dan Nur Hilmi Daulay. Sekilas nama-nama itu mungkin sudah menemukan dunia lain yang dianggap lebih menjanjikan daripada dunia kepenyairan.
Ada kabar menyegarkan, ada regenerasi di kancah perpuisian wanita di sini. Fenomena ini muncul pasca reformasi, banyak bermunculan kelompok-kelompok sastra dari dunia kampus. Nyaris setiap minggu kita bisa membaca puisi-puisi karya wanita kita di media massa cetak. Buku antologi puisi baik tunggal maupun bersama diterbitkan.
Dari hitungan tahun 1995 sampai kini ada beberapa antologi yang bisa dicatat. Antologi puisi Rentang (1995) penerbit Studio Seni Indonesia memuat 10 puisi terbaik Sumatera Utara, dua diantaranya wanita yaitu, Jerni Martina Erita Napitupulu dan Rosmaeli Siregar. Antologi Bumi (1996) penerbit Studio Seni Indonesia bekerja sama dengan Forum Kreasi Sastra Medan memuat puisi-puisi 18 penyair Sumatera Utara. Hanya ada dua penyair wanita yang mewakili di dalamnya, yaitu Rosliani dan Jerni Martina Erita Napitupulu. Antologi serial Tengok (2000) Arisan Sastra Medan (Arsas) yang konon hanya sampai 4 dari 5 rencana terbit. Hanya satu penyair wanita yaitu Aishah Basar. Untuk antologi puisi tunggal hanya dua buku yang sempat saya punya, yaitu Gemuruh Nur Hilmi Daulay, Penerbit Laboratorium Medan (2007) dan Benih Rindu karya Sri Yuliani diterbitkan oleh Pustaka Pemuda Medan (2011).
Kegelisahan Ratman Suras adalah kegelisahan kita bersama. Begitu banyaknya wanita yang menulis, baik itu di koran-koran, majalah, atau media elektronik seperti internet, tetapi seiring perjalanan waktu, dia tergerus begitu saja.
Persoalan yang ditemukan saat ini, masih kurangnya jiwa militan yang dimiliki oleh penyair dalam berkarya. Perasaan cepat puas, sekali dikritik berputus asa, diberikan pujian langsung bangga. Hal inilah menjadi landasan kemunduran yang dihadapi oleh seorang penyair. Penyair harus menanamkan dalam diri untuk kesetiaan dalam berkarya, terus menerus belajar dan menyadari, pengakuan karya yang monumental, datangnya dari para pembaca.
Untuk saat ini, kita mengenal penulis-penulis handal wanita Sumatera Utara, seperti Wahyu Widji Astuti, Ria Ristiana Dewi, Sartika Sari, Zuliana Ibrahim, Sakinah Annisa Mariz, Febri Mira Rizki, Lucya Chriz, Nur Hilmi Daulay, Dini Usman, Intan Hs, Venicia, Su Ie Ss, Irma Yanti, Rina Mahfuzah, Ester Pandiangan, Eka Handayani Ginting, Lea Wilsen, Haya Aliya Zaki, Suci Widya Sari, An’nisa, Rosni Lim, Chairani, dan sebagainya.
Prof. Ikhwanuddin Nasution, Guru Besar Sastra USU, menyinggung persoalan wanita dan pemberontakan dalam karyanya. Para perempuan pengarang ini, melakukan pemberontakan atas oposisi biner yang selama ini diagung-agungkan kaum patriarkhat, terutama antara laki-laki dengan perempuan. Laki-laki dianggap lebih segalanya dari perempuan. Mereka ini dipengaruhi oleh paham-paham feminisme. Salah satu tokoh feminisme yang sangat menyadari kekuatan oposisi biner ini adalah Helene Cixous. Menurut mereka, Helene Cixous mengatakan, pemikiran sastra dan filsafat Barat selalu saja terperangkap di dalam serangkaian oposisi biner hierarkis yang tidak berkesudahan. Pada gilirannya selalu kembali pada “pasangan” fundamental antara laki-laki dan perempuan. Karenanya, Helene Cixous berusaha untuk mengadakan dekonstruksi terhadap oposisi biner dan sekaligus melakukan inversi atau pembalikan, sehingga oposisi biner itu dapat terbongkar.
Karya-karya perempuan pengarang, lebih mengarah pada pencitraan kehidupan perempuan secara terbuka dan memberikan gagasangagasan baru mengenai kehidupan perempuan, terutama dalam hal seksualitas. Hal ini dipicu oleh perkembangan masyarakat yang dalam kehidupan mulai memperlihatkan aktivitas perempuan. Perempuan sudah ada yang menjadi menteri, bupati dan camat. Perempuan sudah ada di posisi publik tidak hanya pada posisi domestik. Masih ada karya perempuan pengarang, terjebak pada vulgarisme semata. Ayu Utami (sebagai pelopor) jika diperhatikan dengan saksama, ada beberapa peristiwa vulgar, tetapi Ayu Utami telah menentang dan mengeksploitasi seksual perempuan yang selama ini dianggap tabu.
Masalah seksualitas perempuan menjadi sangat menonjol pada erakontemporer ini. Kaum feminis ingin mengubah persepsi yang selama ini dibuat oleh kaum laki-laki tentang seksualitas perempuan, melalui keterbukaan perempuan dalam membicarakan seksualitas itu.
Memang kehidupan dan keberlanjutan kepengarangan wanita juga berkaitan erat dalam karya-karyanya. Persoalan terpenting dalam berkarya tetap yang terpenting adalah sebuah kesetiaan. Kehidupan antara sumur, dapur, dan kasur adalah wilayah yang paling dekat, justru menjadi sebuah kekuatan untuk berkarya. Apakah ini emansipasi atau justru eksploitasi? Tergantung pada pemikiran kita.
Akhirnya, sebuah kepengarangan, dunia meracik ilmu pengetahuan. Dunia mengolah imajinasi. Bagaimana dunia ilmu pengetahuan dan dunia imajinasi, dapat terus menerus dilahirkan dalam sebuah karya (dalam hal ini sastrawan wanita), tentu dia harus terus menerus bergelut dan berjibaku dengan waktu. Apakah tahap menghidupkan sastra atau dapat hidup dari sastra, seperti JK Rowling, si penulis Harry Potter itu. Salam.
*) Koordinator Omong-Omong Sastra Sumatera Utara dan Direktur Komunitas Home Poetry
Ratman Suras gelisah! Itu yang terbersit di benak saya, ketika Omong-Omong Sastra di UISU Jalan Puri (Minggu, 15/04) lalu. Ratman mengatakan, untuk peta kepenyairan wanita di Sumatera Utara, masih sedikit kaum wanita yang menghiasi blantika sastra khususnya puisi. Jika dilihat dari antologi yang lahir, masih begitu minim para penyair wanita yang ikut andil di dalamnya. Sekilas mereka yang biasanya menghiasi blantika sastra khususnya puisi di Sumatera Utara, mungkin saja telah menemukan dunia lain yang dianggap lebih menjanjikan daripada dunia kepenyairan.
Seiring dengan dinamika kehidupan, Para penyair wanita Sumatera Utara pasti akan bermunculan, kabar ini tentu menyegarkan perjalanan sastra. Kegelisahan Ratman dapat kita maklumi, walau kita mengenal cukup banyak sastrawan wanita yang hilir-mudik di blantika sastra nasional. Sebut saja Ayu Utami, Hanna Fransisca, maupun Djenar Mahesa Ayu di Jakarta dan atau (alm) Ratna Indraswari Ibrahim, Sirikit Syah, maupun Lan Fang di Jawa Timur.
Memang harus diakui, eksistensi sastrawan wanita secara kuantitas, tidak sebanding dengan sastrawan berjender lelaki. Meski para wanita, dihadapkan pada tantangan yang sama dengan sastrawan lelaki. Sama-sama harus bersaing di medan juang kesusastraan Indonesia, berbagai prestasi telah diukir sastrawan-sastrawan wanita. Mengingat posisinya yang cenderung sub-ordinat dalam lingkung kultural patriakhi, dengan sendirinya sastrawan wanita harus berjuang lebih keras dibandingkan lawan-lawan jenisnya, kalau berkehendak eksistensinya lebih dan lebih.
Seperti juga yang pernah digelisahkan oleh beberapa sastrawan wanita juga, termasuk Anjrah Lelono Broto (Anggota senior Teater Kopi Hitam Indonesia), kewanitaan sastrawan wanita melahirkan kondisi yang kurang menguntungkan dengan sederet peran-beban tanggung jawab sosio-kultural. Peran-beban tanggung jawab sosio-kultural, menempatkannya sastrawan wanita pada wilayah penjara klasik; dapur, sumur dan kasur.
Dus, selain menghadapi tuntutan avant garde,originalitas, kebaruan, dan lain-lain, sastrawan wanita juga dituntut untuk menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya. Mereka dituntut mampu meyakinkan publik, kebrilianan karya dan proses kreatifnya berbanding lurus dengan kehidupan rumah tangganya. Realitanya, sastrawan tidak bisa menafikkan kajian interteks antara karyanya dengan kehidupan pribadinya.
Posisi yang riskan seperti ini tidak jarang menjadikan sastrawan wanita sebagai dinding melekatnya stigma negatif, terutama ketika ia berani mempertanyakan norma dan nilai-nilai yang tak berpihak padanya (ingat marjinalisasi ‘sastra kelamin’). Memang ada yang setia dengan spirit kreatifnya dan sanggup menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya.
Pilihan ini bukan berarti pengorbanan nir resiko. Besar kemungkinan dirinya akan disudutkan dengan berbagai stigma negatif yang berpengaruh besar pada kehidupan nyata pribadinya.
Pendidikan bagi kaum wanita bisa jadi, satu jawaban yang melintas ringan. Kita semua menyadari, pendidikan merupakan kunci balon udara yang bernama independensi. Pendidikan yang memadai bagi wanita (termasuk di dalamnya sastrawan wanita) akan menempatkannnya sebagai pribadi yang mampu membaca dan menulis dinding realitas sosial, berikut sederet tantangannya dengan cara yang genial. Gambaran ini akan menaikkan daya tawar kewanitaan yang melekat pada pribadi sastrawan wanita.
Menurut Ratman, perkembangan sastra Indonesia pun sudah mengabarkan kepada kita tentang miskinya penyair wanita. Hanya berapa yang bisa kita catat. Sebut saja, NH Dini, Isma Safitri, Rayani Sriwidodo, Toeti Heraty Noerhadi, Popy Hutagalung, Rita Oetoro, Diah Hadaning, Omi Intan Naomi, Dorothea Rosa Herliany, Azwina Aziz Miraza, Medy Lukito, Ulfathin Ch., Abidah el Khalieqy, Suryatati A Manan, Ayu Utami, Dewi Lestari, Nova Riyanti Yusuf, dan Helvi Tiana Rosa. Dari nama-nama ini, hanya beberapa saja yang masih aktif sampai kini puisi-puisinya bisa kita nikmati.
Untuk peta kepenyairan wanita Sumatera-Utara sendiri sepertinya nyaris sama, sedikit sekali wanita yang menghiasi blantika sastra khususnya puisi. Dulu kita kenal nama-nama seperti, Murni Aryanti Pakpahan, Laswiayati Pisca, Susi Aga Putra, lalu ada Rosliani, Jerni Martina Erita Napitupulu, Rosmaeli Siregar. Ada Aishah Basar dan Nur Hilmi Daulay. Sekilas nama-nama itu mungkin sudah menemukan dunia lain yang dianggap lebih menjanjikan daripada dunia kepenyairan.
Ada kabar menyegarkan, ada regenerasi di kancah perpuisian wanita di sini. Fenomena ini muncul pasca reformasi, banyak bermunculan kelompok-kelompok sastra dari dunia kampus. Nyaris setiap minggu kita bisa membaca puisi-puisi karya wanita kita di media massa cetak. Buku antologi puisi baik tunggal maupun bersama diterbitkan.
Dari hitungan tahun 1995 sampai kini ada beberapa antologi yang bisa dicatat. Antologi puisi Rentang (1995) penerbit Studio Seni Indonesia memuat 10 puisi terbaik Sumatera Utara, dua diantaranya wanita yaitu, Jerni Martina Erita Napitupulu dan Rosmaeli Siregar. Antologi Bumi (1996) penerbit Studio Seni Indonesia bekerja sama dengan Forum Kreasi Sastra Medan memuat puisi-puisi 18 penyair Sumatera Utara. Hanya ada dua penyair wanita yang mewakili di dalamnya, yaitu Rosliani dan Jerni Martina Erita Napitupulu. Antologi serial Tengok (2000) Arisan Sastra Medan (Arsas) yang konon hanya sampai 4 dari 5 rencana terbit. Hanya satu penyair wanita yaitu Aishah Basar. Untuk antologi puisi tunggal hanya dua buku yang sempat saya punya, yaitu Gemuruh Nur Hilmi Daulay, Penerbit Laboratorium Medan (2007) dan Benih Rindu karya Sri Yuliani diterbitkan oleh Pustaka Pemuda Medan (2011).
Kegelisahan Ratman Suras adalah kegelisahan kita bersama. Begitu banyaknya wanita yang menulis, baik itu di koran-koran, majalah, atau media elektronik seperti internet, tetapi seiring perjalanan waktu, dia tergerus begitu saja.
Persoalan yang ditemukan saat ini, masih kurangnya jiwa militan yang dimiliki oleh penyair dalam berkarya. Perasaan cepat puas, sekali dikritik berputus asa, diberikan pujian langsung bangga. Hal inilah menjadi landasan kemunduran yang dihadapi oleh seorang penyair. Penyair harus menanamkan dalam diri untuk kesetiaan dalam berkarya, terus menerus belajar dan menyadari, pengakuan karya yang monumental, datangnya dari para pembaca.
Untuk saat ini, kita mengenal penulis-penulis handal wanita Sumatera Utara, seperti Wahyu Widji Astuti, Ria Ristiana Dewi, Sartika Sari, Zuliana Ibrahim, Sakinah Annisa Mariz, Febri Mira Rizki, Lucya Chriz, Nur Hilmi Daulay, Dini Usman, Intan Hs, Venicia, Su Ie Ss, Irma Yanti, Rina Mahfuzah, Ester Pandiangan, Eka Handayani Ginting, Lea Wilsen, Haya Aliya Zaki, Suci Widya Sari, An’nisa, Rosni Lim, Chairani, dan sebagainya.
Prof. Ikhwanuddin Nasution, Guru Besar Sastra USU, menyinggung persoalan wanita dan pemberontakan dalam karyanya. Para perempuan pengarang ini, melakukan pemberontakan atas oposisi biner yang selama ini diagung-agungkan kaum patriarkhat, terutama antara laki-laki dengan perempuan. Laki-laki dianggap lebih segalanya dari perempuan. Mereka ini dipengaruhi oleh paham-paham feminisme. Salah satu tokoh feminisme yang sangat menyadari kekuatan oposisi biner ini adalah Helene Cixous. Menurut mereka, Helene Cixous mengatakan, pemikiran sastra dan filsafat Barat selalu saja terperangkap di dalam serangkaian oposisi biner hierarkis yang tidak berkesudahan. Pada gilirannya selalu kembali pada “pasangan” fundamental antara laki-laki dan perempuan. Karenanya, Helene Cixous berusaha untuk mengadakan dekonstruksi terhadap oposisi biner dan sekaligus melakukan inversi atau pembalikan, sehingga oposisi biner itu dapat terbongkar.
Karya-karya perempuan pengarang, lebih mengarah pada pencitraan kehidupan perempuan secara terbuka dan memberikan gagasangagasan baru mengenai kehidupan perempuan, terutama dalam hal seksualitas. Hal ini dipicu oleh perkembangan masyarakat yang dalam kehidupan mulai memperlihatkan aktivitas perempuan. Perempuan sudah ada yang menjadi menteri, bupati dan camat. Perempuan sudah ada di posisi publik tidak hanya pada posisi domestik. Masih ada karya perempuan pengarang, terjebak pada vulgarisme semata. Ayu Utami (sebagai pelopor) jika diperhatikan dengan saksama, ada beberapa peristiwa vulgar, tetapi Ayu Utami telah menentang dan mengeksploitasi seksual perempuan yang selama ini dianggap tabu.
Masalah seksualitas perempuan menjadi sangat menonjol pada erakontemporer ini. Kaum feminis ingin mengubah persepsi yang selama ini dibuat oleh kaum laki-laki tentang seksualitas perempuan, melalui keterbukaan perempuan dalam membicarakan seksualitas itu.
Memang kehidupan dan keberlanjutan kepengarangan wanita juga berkaitan erat dalam karya-karyanya. Persoalan terpenting dalam berkarya tetap yang terpenting adalah sebuah kesetiaan. Kehidupan antara sumur, dapur, dan kasur adalah wilayah yang paling dekat, justru menjadi sebuah kekuatan untuk berkarya. Apakah ini emansipasi atau justru eksploitasi? Tergantung pada pemikiran kita.
Akhirnya, sebuah kepengarangan, dunia meracik ilmu pengetahuan. Dunia mengolah imajinasi. Bagaimana dunia ilmu pengetahuan dan dunia imajinasi, dapat terus menerus dilahirkan dalam sebuah karya (dalam hal ini sastrawan wanita), tentu dia harus terus menerus bergelut dan berjibaku dengan waktu. Apakah tahap menghidupkan sastra atau dapat hidup dari sastra, seperti JK Rowling, si penulis Harry Potter itu. Salam.
*) Koordinator Omong-Omong Sastra Sumatera Utara dan Direktur Komunitas Home Poetry
Eksistensi Perempuan dalam Kumpulan Puisi Mimpi dan Pretensi Karya Toeti Heraty
Dra. Suryami, M.Pd.
mimisuryami@yahoo.co.id
Kesusastraan Indonesia - Kritik Sastra Feminisme
Tesis
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa
Universitas Negeri Jakarta (belum diterbitkan)
2011
Sebagai karya sastra, puisi adalah konstruksi yang memiliki pelbagai makna, sedangkan makna diyakini tersembunyi di balik kata-kata. Untuk menggali dan menafsirkan makna di balik kata-kata, diperlukan pengetahuan, pemahaman, dan analisis. Penelitian ini bertujuan mendeskrepsikan bentuk stereotipe perempuan dan bentuk emansipasi perempuan yang terungkap dalam puisi-puisiMimpi dan Pretensi.
Terkait dengan puisi Toeti Heraty yang mengungkapkan eksistensi perempuan, dalam tulisan ini, analisis dilakukan dengan menggunakan teori struktural dan kritik sastra feminisme. Kritik sastra feminisme digunakan untuk memahami ide dan pemikiran feminisme, antara lain, stereotipe perempuan, dan emansipasi perempuan. Selain teori tersebut, tulisan ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik analisis isi. Sesuai dengan prinsip-prinsip metode kualitatif dalam studi teks dan berdasarkan teori struktural serta kritik sastra feminisme, eksistensi perempuan yang tersembunyi di balik teks dapat ditafsirkan, dipahami, dan diketahui maknanya oleh pembaca.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa bentuk emansipasi perempuan yang terungkap dalam puisi-puisi Toeti Heraty, antara lain adalah aku lirik perempuan dan pelaku perempuan lainnya sebagai pembawa semangat emansiasi: yang bangkit dan berjuang untuk mendapatkan kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Dengan demikian, terlihatlah eksistensi atau keberadaannya dalan memerankan diri yakni sebagai sosok yang punya akal dan pikiran yang jernih untuk tidak larut dalam pelegitimasian dirinya sebagai makhluk rendah dan lemah.
EKSISTENSI PEREMPUAN DALAM NOVEL BUMI MANUSIA KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER (SEBUAH KAJIAN KRITIK SASTRA FEMINISME)
Sofi Auliana
Abstrak
ABSTRAK
Auliana Sofi. 2009. Eksistensi Perempuan dalam Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer (Sebuah Kajian Kritik Sastra Feminisme). Skripsi Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia. Jurusan Sastra Indonesia. Fakultas Sastra. Universitas Negeri Malang. Pembimbing: Dr. Hj. Yuni Pratiwi M.Pd.
Kata Kunci: eksistensi, tokoh perempuan, novel
Novel merupakan salah satu bentuk refleksi dari kesadaran mental pengarang terhadap nilai yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat karena novel tidak pernah lepas dari sistem sosial budaya yang melingkupinya. Dengan demikian, suatu fenomena sosial dapat menjadi salah satu unsur sebuah novel. Setiap novel sebagai cipta sastra pada umumnya mempunyai kandungan amanat tertentu. Artinya, pengarang berusaha mengaktifkan pembaca untuk menerima gagasan-gagasannya tentang berbagai segi kehidupan. Begitu juga cara pengarang memandang tokoh perempuan sebagai salah satu bentuk konkretisasi dari aspirasi, gagasan, pandangan dan nilai-nilai tentang perempuan itu sendiri. Perempuan sebagai makhluk sosial dan individu diciptakan dengan kedudukan dan peranan yang sejajar dengan pria. Perkembangan selanjutnya perempuan lebih rendah dari pria yang menimbulkan adanya eksistensiperempuan sebagai wujud dari adanya nilai feminisme.
Eksistensi merupakan sebuah filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada keberadaan (eksistensi) dan titik sentralnya adalah manusia. Novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer merefleksikan adanya eksistensi pribadi perempuan dalam menjalankan peran dan kedudukannya di dalam keluarga dan masyarakatnya melalui sikap, tindakan, perilaku, ucapan, jalan pikiran dan rencana hidup tokoh perempuan.
Penelitian ini secara umum bertujuan memperoleh deskripsi tentang eksistensi perempuan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Adapun tujuan khusus penelitian ini, yakni mendeskripsikan (1) eksistensi pribadi perempuan, (2) eksistensi perempuan dalam keluarga, dan (3) eksistensi perempuan dalam masyarakat berdasarkan strata sosial masyarakat yang terkandung dalam novel.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan feminisme. Sumber data dalam penelitian ini adalah teks novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Data berupa unit-unit teks yang berisi deskripsi eksistensi pribadi perempuan, deskripsi eksistensi perempuan dalam keluarga, dan deskripsi eksistensi perempuandalam masyarakat. Pengumpulan data dilakukan dengan membaca sumber data dan peneliti berperan sebagai instrument (human instrument). Peneliti melakukan identifikasi, klasifikasi, dan kodifikasi data berdasarkan permasalahan yang dikaji. Teknik pengumpulan data penelitian ini menggunakan teknik dokumentasi atau studi kepustakaan. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menyeleksi, mengklasifikasi, menafsirkan, dan memaknai data kemudian mengambil kesimpulan.
Berdasarkan hasil analisis data diperoleh beberapa kesimpulan, Pertama eksistensi pribadi perempuan dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, terefleksi melalui sikap, tindakan, jalan pikiran, rencana hidup serta ucapan tokoh perempuan yang memiliki ciri-ciri: (1) tokoh sebagai perempuan yang memiliki ciri seperti perempuan terpelajar dan cerdas, (2) tokoh sebagai perempuan yang kuat dan berkuasa, (3) tokoh sebagai perempuan yang berani mengambil keputusan, dan (4) tokoh sebagai perempuan yang pendendam dan mandiri. Tokoh perempuan sebagai perempuan yang memiliki ciri seperti perempuan terpelajar dan cerdas terlihat dari pelafalan bahasa Belanda tokoh yang fasih, menguasai banyak istilah-istilah Eropa, gemar membaca buku-buku Eropa, memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam berdagang dan mampu menerangkan layaknya seorang guru-guru di sekolah. Tokoh perempuanyang memiliki ciri-ciri sebagai perempuan yang kuat dan berkuasa terbukti dari kemampuan tokoh perempuan dalam mengurus semua kepentingannya (dirinya, keluarga, dan perusahaan) sendiri, tokoh memiliki kekuatan dalam mengetahui dan mengendalikan pedalaman orang lain, tokoh yang berani menghadapi kekuasaan Eropa dan pengendali seluruh perusahaan. Tokohperempuan memiliki ciri sebagai perempuan yang berani mengambil keputusan terlihat dari berani mengambil keputusan untuk tidak mengakui orangtuanya, mempunyai keberanian dalam mengambil keputusan untuk tetap dipanggil dengan sebutan Nyai bukan Mevrouw. Tokoh sebagai perempuan yang memiliki ciri sebagai perempuan pendendam dan mandiri terlihat dari sikap yang menaruh dendam yang dalam kepada orangtuanya dan tuannya, tokoh perempuan tidak bergantung dengan suaminya, tokoh yang dapat melakukan semua pekerjaan kantor dan perusahaan dengan tangannya sendiri, serta mampu mengurusi kepentingan dirinya, keluarga dan perusahaan dengan tangannya sendiri.
Kedua eksistensi perempuan dalam keluarga yang terdapat dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, terefleksi dari tokoh perempuan yang berperan sebagai seorang istri, seorang ibu dan ibu mertua dalam keluarganya.
Ketiga eksistensi perempuan dalam lingkungan masyarakat yang terdapat dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, terefleksi dari tokoh perempuan yang berkedudukan sebagai majikan dalam perusahaan, tokoh sebagai warga negara dari sistem pemerintah kolonial atau sebagai perempuan pribumi, dan sebagai perempuan yang berstatus sebagai gundik.
Saran-saran yang dapat disimpulkan berdasarkan kesimpulan tersebut, yakni (1) peneliti berikutnya yang melakukan penelitian yang sejenis, diharapkan dapat menggunakan penelitian ini sebagai referensi penelitian dan disertai pengembangan masalah dari sudut pandang yang berbeda, (2) hasil penelitian ini hendaknya bagi pemerhati sastra sebagai salah satu referensi dalam memahami karya-karya sastra Pramoedya, dan (3) para guru SMP dan SMA/MA/SMK, penelitian ini disarankan dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai referensi dalam pengembangan bahan ajar.
Potret Sastrawan Perempuan
Menyoal penulis karya sastra (baca, sastrawan) berjender perempuan, besar kemungkinan angan kita akan melambung pada Ayu Utami, Hanna Fransisca, maupun Djenar Mahesa Ayu di Jakarta, dan atau (alm) Ratna Indraswari Ibrahim, Sirikit Syah, maupun Lan Fang di Jawa Timur. Apa yang menarik dan dibawa oleh sastrawan perempuan? Hal itu tentu saja dapat kita telanjangi dari karya-karyanya maupun latar belakang pribadinya. Akan tetapi, bagaimana posisinya dalam blantika realitas kehidupan?
Eksistensi sastrawan perempuan Indonesia secara kuantitas tentu saja tidak sebanding dengan sastrawan berjender lelaki. Meski para perempuan ini dihadapkan pada tantangan yang sama dengan sastrawan lelaki dimana harus bersaing di medan juang kesusastraan Indonesia, berbagai prestasi telah diukir sastrawan-sastrawan perempuan. Mengingat posisinya yang cenderung sub-ordinat dalam lingkung kultural patriakhi dengan sendirinya sastrawan perempuan harus berjuang lebih keras dibandingkan lawan-lawan jenisnya jikalau berkehendak eksistensinya lebih dan lebih.
Keperempuanan sastrawan perempuan melahirkan kondisi yang kurang menguntungkan dengan sederet peran-beban tanggung jawab sosio-kultural. Peran-beban tanggung jawab sosio-kultural tersebut menempatkannya sastrawan perempuan pada wilayah penjara klasik; dapur, sumur, dan kasur. Dus, selain menghadapi tuntutan avant garde, originalitas, kebaruan, dll sastrawan perempuan juga dituntut untuk menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya, dimana mereka dituntut mampu meyakinkan publik bahwa kebrilianan karya dan proses kreatifnya berbanding lurus dengan kehidupan rumah tangganya. Realitanya, sastrawan tidak bisa menafikkan kajian interteks antara karyanya dengan kehidupan pribadinya.
Posisi yang riskan seperti ini tidak jarang menjadikan sastrawan perempuan sebagai dinding melekatnya stigma negatif, terutama ketika ia berani mempertanyakan norma dan nilai-nilai yang tak berpihak padanya (ingat marjinalisasi ‘sastra kelamin’). Memang ada yang setia dengan spirit kreatifnya dan sanggup menjalankan peran-beban tanggung jawab sosio-kulturalnya. Tapi pilihan ini bukan berarti ‘pengorbanan nir resiko’, besar kemungkinan dirinya akan disudutkan dengan berbagai stigma negatif yang berpengaruh besar pada kehidupan nyata pribadinya.
Begitulah, posisi marjinal sastrawan-sastrawan perempuan di dalam sistem patriarkhi. Apabila sastrawan perempuan bisa mendapatkan kesempatan yang sama dengan sastrawan lelaki untuk bisa menikmati pendidikan, karir, dan keluasan samudra proses kreatif, maka spirit Kartini yang menjadi wajah feminis Indonesia akan menemukan resultannya. Keniscayaan ketercapaian perjuangan kaum perempuan, secara umum, akan menjadi implementasi.
Adalah sebuah potensi besar bahwa arah perubahan posisi perempuan tidak selalu mengarah ke depan namun bisa jadi malah mundur teratur. Pengesahan Undang-Undang Pornografi yang cenderung mengkriminalisasi proses kreatif perempuan, jelas merupakan langkah mundur teratur peradaban manusia. Tentu saja, fenomena ini akan mempengaruhi posisi sosial dan daya tawar perempuan dalam dinamika relasi jender dan relasi kekuasaan, secara garis besar.
Acap kali mencuat persepsi bahwa perjalanan kreatif dan karir perempuan, termasuk dalam dunia sastra, sangat bergantung pada lelaki. Bahkan, ada persepsi yang lebih kejam lagi bahwa eksistensi perempuan secara menyeluruh sangat bergantung pada lelaki (ingat tafsir iga bengkok Bapak Adam untuk Ibu Hawa), dan tidak pernah independen (baca, berdikari).
Fenomena ini tentu bukan barang baru dalam blantika relasi jender, dimana dominasi maskulin seperti tembok kokoh yang tidak mudah roboh. Akan tetapi, apabila perempuan mengambil ‘jalan pintas’ dengan memanfaatkan lelaki di dekatnya maka konsekuensinya selain akan berdampak serius pada kelanjutan kariernya maka eksistensinya sendiri bisa dikatakan tidak pernah ada, sebagaimana eksistensi Mbak Tutut, Meutia Hatta, dll dalam dunia politik nasional.
Dalam dunia sastra, ketika sastrawan perempuan memilih jalan pintas ini maka kualitas karyanya akan menjadi penghuni kamar tanda tanya besar, serta dengan mudah lenyap ditiup angin ketika jendela atau pintu kamar dibuka. Ketika tuntutan atas kualitas karya menurun dan hanya terfokus pada sensasi visual semata (baca, trend), praktek ‘jalan pintas’ akan menjadi menggoda. Namun, sekali lagi, ketika jendela maupun pintu kamar tanda tanya besar tersebut dibuka, eksistensi kesastrawananya akan segera lenyap ditiup angin. Lalu apa jawaban problematika ini?
Pendidikan bagi kaum perempuan bisa jadi adalah satu jawaban yang melintas ringan. Namun, tentu saja kita semua menyadari bahwa pendidikan merupakan kunci balon udara yang bernama independensi. Pendidikan yang memadai bagi perempuan (termasuk di dalamnya sastrawan perempuan) akan menempatkannnya sebagai pribadi yang mampu membaca dan menulis dinding realitas sosial, berikut sederet tantangannya dengan cara yang genial. Gambaran ini akan menaikkan daya tawar keperempuanan yang melekat pada pribadi sastrawan perempuan.
Sastrawan perempuan juga harus berhadapan dengan realitas miskinnya infrastruktur seni sastra Indonesia. Dunia sastra Indonesia sebagaimana dunia seni Indonesia, pada umumnya, masih terikat dengan sendat nafas geliat seni kampus, dan sekolah. Pemerintah masih menempatkan dunia seni sebagai wilayah yang tidak menjanjikan guna membantu keberlanjutan kekuasaan. Kurangnya infrastruktur seni ini memaksa seniman (termasuk sastrawan perempuan) untuk pandai-pandai mengatur strategi pembangunan eksistensi melalui karya.
Miskinnya kritik seni sastra juga memberikan dampak signifikan pada posisi sastrawan perempuan. Sebab wacana yang bisa menjelaskan dan membela ‘keaduhaian’ sastrawan perempuan berikut karyanya menjadi tidak mudah untuk dikomunikasikan. Dengan kata lain, potensi atau ke’seksi’an sastrawan perempuan (yang khas) kurang mendapat tempat untuk diapresiasi secara optimal.
Begitulah potret sastrawan perempuan Indonesia yang mana masih harus repot mengelola entitas keperempuanannya berikut segala pernik tantangan dunia sastra Indonesia yang terjangkiti globalisasi. Perebutan pasar eksistensi tidak hanya terbatas di wilayah lokal, nasional, bahkan ke tataran internasional. Maka jangan heran jika sastrawan perempuan lagi-lagi kerap disudutkan sebagai pribadi yang ambisius, sebuah entitas yang negatif yang sangat berbeda dengan ambisiusnya kaum lelaki. Realitas ketidakadilan jender ini ternyata masih terus menjangkiti ranah sosio-kultural dan tidak mudah untuk dieliminasi, kecuali melalui satu jalan yaitu revolusi.
Revolusi sastra bagi kesetaraan sastrawan perempuan-sastrawan lelaki adalah keharusan.
***
***
*) Litbang LBTI, Anggota Senior Teater Kopi Hitam Indonesia
EKSISTENSI WANITA JAWA DALAM NOVEL SARUNGE JAGUNG KARYA TRINIL S. SETYOWATI (Sebuah Kritik Sastra Feminis)
Ningsih, Tri Purnama (2011) EKSISTENSI WANITA JAWA DALAM NOVEL SARUNGE JAGUNG KARYA TRINIL S. SETYOWATI (Sebuah Kritik Sastra Feminis). Other thesis, UNIVERSITAS SEBELAS MARET.
PDF - Published Version Download (1089Kb) |
Abstract
Tri Purnama Ningsih. C0104041. 2010. Eksistensi Wanita Jawa dalam Novel Sarunge Jagung Karya Trinil S. Setyowati (Sebuah Kritik Sastra Feminis). Skripsi: Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Karya sastra Jawa sebagai karya seni tidak cukup hanya dinikmati keindahannya saja. Lebih jauh dari itu perlu pula mendapatkan perhatian secara ilmiah, yaitu melalui suatu kajian ilmiah yang bertujuan untuk mengangkat semua aspek yang terkandung di dalamnya, melalui cara-cara atau pola pemikiran ilmiah yang berlaku, salah satunya adalah novel karya Trinil S. Setyowati yang berjudul Sarunge Jagung. Masalah yang dikaji mencakup tiga hal yaitu : (1) Bagaimanakah unsurunsur struktur yang meliputi tema, alur, penokohan, latar serta amanat yang terdapat dalam novel Sarunge Jagung? (2) Bagaimanakah citra tokoh utama dalam novel Sarunge Jagung karya Trinil S. Setyowati? (3) Bagaimanakah sikap Trinil S. Setyowati dalam memandang kedudukan, peran, dan fungsi wanita dalam masyarakat? Tujuan dari penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan unsur-unsur struktural yang meliputi tema, alur, penokohan, latar serta amanat yang terdapat dalam novel Sarunge Jagung.(2) Menjabarkan dan menganalisis citra tokoh utama dalam novel Sarunge Jagung karya Trinil S. Setyowati. (3) Mengungkap sikap Trinil S. Setyowati dalam memandang kedudukan, peran, dan fungsi wanita dalam masyarakat. Manfaat dari penelitian ini secara teoretis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan kritik sastra feminis dan menambah khasanah penelitian sastra Jawa. Penelitian ini menghasilkan suatu ulasan tentang sikap wanita dari sudut pandang kajian kritik sastra feminis. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai referensi mengenai idealisme perjuangan wanita di dalam menghadapi problem kehidupan dalam masyarakat dan dapat dimanfaatkan oleh penelitian lain yang mengembangkan penelitian lebih lanjut dengan pendekatan yang lain. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah (1) pendekatan struktural meliputi tema, alur/plot, penokohan, latar/setting dan amanat. (2) pendekatan kritik sastra feminis yaitu kritik sastra yang lebih menyoroti pada tradisi sastra pada khususnya terutama berkenaan dengan tokoh wanita, seperti pengalaman wanita yang terungkap di dalamnya dan kemungkinan adanya penulisan khas wanita. Metode dalam penelitian ini adalah kualitatif, sumber data tulis sebagai data primer yaitu novel Sarunge Jagung karya Trinil S. Setyowati. Sumber data lisan sebagai data sekunder berasal dari informan yaitu pengarang. Data yang digunakan dibagi menjadi dua yaitu data primer adalah rangkaian cerita novel yang meliputi unsur-unsur intrinsik yang meliputi tema, amanat, penokohan, alur dan setting, sedang data sekunder diperoleh dari hasil wawancara dengan pengarang novel Sarunge Jagung yaitu Trinil S. Setyowati, artikel-artikel, tulisantulisan yang berkaitan dengan pengarang, termasuk juga rekaman, dokumentasi berupa foto, dan biografi pengarang. Teknik pengumpulan data ialah teknik analisis struktural, teknik wawancara dengan pengarang novel Sarunge Jagung yaitu Trinil S. Setyowati dan studi pustaka dengan menggunakan teknik simak catat. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis interaktif yaitu reduksi, sajian data dan kesimpulan. Penelitian ini menyoroti kaum perempuan tentang bagaimana kaum perempuan menghadapi permasalahan dalam hidupnya, serta kemungkinan adanya cara penulisan khas wanita. Perempuan mempunyai cara tersendiri untuk mengekspresikan diri yang berlawanan dengan cara bagaimana kaum pria menggambarkan pandangan mereka melalui bahasa dan wacana mereka. memberikan penilaian mengenai bagaimana kaum perempuan merasa, berpikir, dan bertindak serta bagaimana kaum perempuan pada umumnya menanggapi kehidupan yang terdapat di dalam sebuah karya sastra. Hasil analisis penelitian ini dapat disimpulkan (1) unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam novel Sarunge Jagung karya Trinil S. Setyowati adalah suatu keterjalinan, sehingga membentuk kebulatan atau totalitas. Cerita yang menampilkan feminisme tentang kehidupan seorang kaum wanita Jawa yang tidak kalah dalam hal pendidikan dan pekerjaan dengan kaum lelaki walaupun dilanda permasalahan yang cukup berat dalam mencari pasangan hidup. (2) Citra wanita dalam novel Sarunge Jagung karya Trinil S. Setyowati menunjukkan tentang sosok wanita cerdas, pandai bergaul, disiplin, pantang menyerah, beriman dan mempunyai perilaku yang baik. Kaum perempuan itu harus mandiri, bahwa dalam hal pendidikan, pekerjaan, asmara, dan kehidupan rumah tangga sebenarnya kaum perempuan itu tidak kalah dengan kaum laki-laki. (3) Sikap pengarang dalam memandang peran, fungsi, dan kedudukan wanita di masyarakat yaitu, pria dan wanita mempunyai peranan yang sama dalam menikmati hasil pembangunan. Hak yang sama di bidang pendidikan misalnya, anak pria dan wanita mempunyai hak yang sama untuk dapat mengikuti pendidikan sampai pada jenjang yang lebih tinggi. Selanjutnya, kewajiban yang sama untuk mancari nafkah dengan suaminya dalam upaya memenuhi beragam kebutuhan rumah tangga. Dengan begitu, kedudukan wanita dalam masyarakat akan dipandang setara dengan laki-laki.
LUMBANBATU, PURNAMA N. F., NIM. A. 4A005024. The Existence of
Female Characters of The Other Side of Midnight by Sidney Sheldon. A
Thesis. Program Magister Ilmu Susastera Universitas Diponegoro.
Semarang. 2007.
This analysis is intended to appreciate the aesthetic value and the close relation
among the elements of the work of literature and to convey the most influencing
elements of the novel that built the problems of existence of the main characters.
The analysis focuses only on the two female characters; Catherine Alexander and
Noelle Page. In addition to obtain valid and reliable results, some s=theories are
applied; structural theory and philosophy of existence both by Sartre and
Beauvoir. In doing the structural analysis, the writer observes the plot, character,
and the setting only as related to the objective of the analysis. Furthermore about
the problem of existence, the writer uses the theory of Sartre about a being human
and Beauvoir about being woman. Based on the structural analysis, it is found that
The Other Side of Midnight uses in medias res and episodic type of plot, flat
characters, and supportive setting, both time and place, as well as the social
setting. On the existentialism basis, both characters; Catherine and Noelle, are
aware of themselves. However, the difference is that Catherine is aware of being
an absolute object, while Noelle insists on being an absolute Subject.
Key words: plot, characters, setting, existence, existentialism, feminism, subject,
object.
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.1.1 Latar Belakang
Istilah eksistensi menjadi sebuah istilah yang semakin akrab di telinga akhir-akhir
ini. Setiap orang ingin diakui eksistensinya dengan berbagai cara. Untuk
menunjukkan eksistensinya beberapa orang bahkan melakukan hal-hal yang di
luar kebiasaan, misalnya saja dengan berbagai usaha memecahkan rekor hingga
tercatat di Museum Rekor Indonesia seperti yang dilakukan tidak hanya oleh
individu saja, tetapi juga institusi. Jika ditanya mengenai alasan ingin tedaftar
dalam catatan MURI, maka akan muncul jawaban bahwa adanya keinginan agar
masyarakat mengetahui akan eksistensinya.
Dalam sebuah majalah kampus beberapa bulan yang lalu muncul slogan
yang cukup mewakili kondisi masyarakat saat ini, “gak narsis gak eksis”.
Sungguh merupakan suatu pencapaian eksistensi yang berbeda lagi – dengan
menjadi narsis (cinta diri). Hal ini menjadi sebuah fenomena yang menarik untuk
dilihat dan diamati lebih dekat lagi. Bukan kepada narsismenya tetapi lebih
kepada eksistensinya.
Eksistensi atau aktualisasi diri menurut istilah Maslow merupakan
kebutuhan tertinggi yang ingin dicapai setiap individu. Setiap individu dipastikan
xvi
memiliki kebutuhan terhadap pengakuan keberadaannya dalam masyarakat, yang
kemudian menjadi salah satu bagian dari masyarakat itu sendiri.
Sebagai sebuah fenomena dalam masyarakat, hal itu tentu juga
mempengaruhi kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat itu sendiri.
Sastra sebagai salah satu perwujudan kebudayaan sekaligus merupakan cerminan
keadaan sosial sebuah masyarakat menjadi sebuah alat yang dapat dipergunakan
untuk mencermati gejala sosial yang muncul. Oleh karena itu penelitian ini akan
berusaha mencermati gejala sosial tersebut melalui salah satu karya sastra yang
diasumsikan berbicara mengenai eksistensi, khususnya dalam sudut pandang
perempuan dalam karya sastra.
Novel The Other Side of Midnight karya Sidney Sheldon mengangkat
kisah dua perempuan dari dua negara besar di dunia; Amerika Serikat dan
Perancis. Kedua tokoh digambarkan secara terpisah dengan karakter yang berbeda
dan pemikiran yang berbeda namun juga memiliki kemiripan. Sebagai perempuan
kedua tokoh mengalami proses perkembangan pemikiran yang mengarah pada
bentuk kesadaran akan keberadaan dirinya. Yang menjadi perhatian peneliti
adalah ketika pada akhir kisah kedua tokoh berkembang ke arah yang berbeda dan
mengalami kejadian akhir yang berbeda juga.
Bagi sebagian orang karya ini dianggap karya populer yang tidak layak
untuk ditilik melalui filosofi eksistensialis yang dinilai “terlalu berat” untuk karya
sejenis. Namun, bukankah karya populer merupakan bentuk yang lebih akrab
dengan kondisi masyarakat? Baik sebagai bentuk realistis atau pun menjadi
xvii
imajinatif yang merupakan bentuk sublimasi hasrat yang terpendam di tubuh
masyarakat.
Meskipun novel ini ditulis lebih dari tiga dekade yang lalu, namun
fenomena eksistensi yangt terdapat di dalamnya masih sangat relevan dengan
yang terjadi saat ini di lingkungan kita sendiri. Kisahan terjadi di negara yang
memang dalam realita jauh lebih maju di banding negara kita. Yang terjadi dalam
cerita rekaan itu bisa saja sedang terjadi dalam realitas kita saat ini.
Eksistensi, yang nantinya akan dibicarakan dalam penelitian ini, tidaklah
sedangkal seperti yang diungkapan di awal. Eksistensi akan dilihat melalui sudut
pandang Jean Paul Sartre, sebagai salah seorang pionir eksistensialisme. Sartre
mengungkapan beberapa taraf bentuk kesadaran manusia sebagai individu; being
in-itself, being for-itself, dan being for-others. Dalam hierarki ini maka bentuk
kesadaran tertinggi seorang individu adalah ketika ia sudah mencapai kesadaran
level being for-others.
Penelitian ini berfokus pada tokoh perempuan; Noelle Page dan Catherine
Alexander, dan hubungan mereka dengan tokoh-tokoh lain, terutama tokoh lakilaki;
Larry Douglas, dan beberapa tokoh laki-laki lain. Peneliti melihat adanya
permasalahan akan kesadaran jender, maka dalam penelitian ini peneliti juga akan
melihat dalam sudut pandang perempuan (feminisme). Pemikiran-pemikiran
Simone du Beauvoir akan dipergunakan untuk dapat lebih memahami kesadaran
eksistensi jender dalam novel ini.
Munculnya emansipasi wanita tentunya juga merupakan perwujudan dari
kesadaran perempuan akan adanya diskriminasi yang mensubordinasikan kaum
xviii
perempuan hingga perempuan kehilangan eksistensinya. Perempuan merupakan
makhluk istimewa, dalam porsinya sebagai perempuan tentunya, yang memiliki
dua sisi. Perempuan adalah keindahan. Pesona keindahannya membuat laki-laki
tergila-gila. Namun, perempuan dianggap makhluk lemah dan kelemahan inilah
yang kemudian dijadikan alasan oleh laki-laki untuk mengeksploitasi
keindahannya. Bahkan ada pula anggapan bahwa perempuan adalah manusia
kelas dua, yang walaupun memiliki kecantikan namun tidak memiliki eksistensi
sebagaimana yang dimiliki laki-laki. Aristoteles beranggapan bahwa perempuan
adalah jenis kelamin yang ditentukan berdasarkan kekurangan mereka terhadap
kualitas-kualitas tertentu dan Aquinas berpendapat bahwa perempuan adalah lakilaki
yang tidak sempurna.
Tidak hanya dalam dunia empiris, dalam dunia imajinatif seperti sastra
pun perempuan sering merupakan objek yang tersubordinasi. Bahkan dapat
dikatakan bahwa sastra menjadi media tumbuhnya subordinasi terhadap
perempuan. Banyak karya sastra yang seolah-olah hanya diperuntukkan bagi
pembaca lai-laki. Meskipun kemudian terdapat pembaca perempuan maka ia akan
dipaksa membaca dengan cara laki-laki. Bisa dilihat dengan deskripsi tentang
tokoh perempuan dalam karya itu yang membuat stereotype perempuan dan lakilaki
yang merupakan konstruksi sosio-kultural. Namun anggapan ini kemudian
dianggap sebagai kodrat dari Tuhan yang absolut dan tidak dapat berubah.
Dalam karya sastra, adanya bentuk-bentuk perlawanan terhadap
stereotyping ini kemudian digambarkan hanya akan menyulitkan mereka yang
memberontak, yang bisa berujung dengan kematian, secara fisik maupun pikiran
xix
yang mati. Namun demikian, hal ini bukanlah satu-satunya hal yang dapat dilihat
dalam karya sastra jenis ini. Di dalamnya kita juga dapat memakai karya sastra
sebagai media refleksi akan adanya diskriminasi terhadap perempuan.
Semangat perwujudan perempuan yang bereksistensi terus berkembang,
bahkan hingga saat ini. Semangat ini sejalan dengan perjuangan feminisme. Jika
feminisme menginginkan kesetaraan kedudukan antara laki-laki dan perempuan
yang terwujud dalam persamaan atas perlakuan yang diterima, hak, dan
kewajiban, dalam karya-karya sastra pun tokoh-tokoh perempuan yang merasa
tertindas dan terobjektifikasi berusaha memperjuangkan hak-haknya juga untuk
menjadi subjek. Kelemahan yang terdapat pada kaum perempuan bukanlah karena
kodratnya melainkan karena sebuah pembiasaan dan indoktrinasi yang
berlangsung terus-menerus. Hingga ketika muncul suatu kesadaran akan kondisi
ini, maka saatnya untuk berjuang, tidak dengan apa yang tidak dimiliki, namun
tentunya dengan apa yang dimiliki. Hal ini yang kemudian mendorong peneliti
untuk meneliti novel The Other Side of Midnight karya Sidney Sheldon ini. Di
dalamnya terdapat tokoh Noelle Page dan Catherine Alexander yang berjuang
sebagai perempuan untuk mengatasi ketersubordinasian mereka dengan caranya
masing-masing.
Sebelum didekati melalui unsur-unsur intrinsiknya, karya sastra haruslah
tetap dilihat sebagai karya sastra. Oleh sebab itu, karya ini juga akan terlebih
dahulu dicermati melalui teori struktur novel. Peneliti akan terlebih dahulu
melihat unsur-unsur intrinsik yang menjadi pokok utama penelitian ini; antara
lain: tokoh, alur (plot), dan latar (seting).
xx
1.1.2 Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan diteliti dan dicari jawabannya melalui penelitian ini
dirumuskan dalam rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah tokoh Noelle Page dan Catherine Alexander
ditampilkan dalam novel ini?
2. Bagaimanakah semangat feminisme eksistensialis dalam diri kedua
tokoh tersebut?
1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk melihat nilai estetik unsur-unsur novelnya yang
saling terkait sehingga membentuk suatu kesatuan yang utuh dan indah – terutama
pada unsur tokoh, alur, dan latarnya. Analisis ini diharapkan dapat menilai bobot
estetik dan kekuatan hubungan antara unsur yang satu dengan yang lainnya.
Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk dapat melihat bagaimana
keterkaitan antar unsur dapat menggambarkan kekuatan hubungan antara tokoh,
alur, dan latar dengan masalah kesadaran diri dalam sudut pandang feminisme
(feminisme eksistensialis). Masalah dalam novel tentunya tidak berdiri sendiri.
Semua unsur-unsur dalam novel mendukung masalah, tetapi tidak semua semua
unsur memberikan dukungan yang sama besar. Oleh karena itu, penelitian ini
diharapakan dapat mengungkapkan unsur-unsur novel yang paling berperan dalam
membangun masalah eksistensi sebagai perempuan dalam novel ini.
xxi
Hasil penelitian juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pada
analisis karya sastra dengan pendekatan feminisme, khususnya feminisme
eksistensialis, yang masih terbilang jarang dilakukan.
Manfaat dari penelitian ini adalah untuk menunjukkan pada masyarakat
luas bahwa novel The Other Side of Midnight karya Sidney Sheldon ini, meskipun
dianggap sebagai karya populer, namun di dalamnya terdapat nilai-nilai yang
layak untuk dicermati, khususnya mengenai pentingnya kesadaran akan
keberadaan diri; terutama sebagai perempuan. Dengan demikian diharapkan akan
tercipta sebuah keselarasan hidup tanpa adanya stereotyping atau prasangka jender
yang saling merugikan. Untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan
sebaliknya kekerasan terhadap laki-laki yang mungkin sudah menggejala juga
dalam masyrakat. Masyarakat penikmat sastra diharapkan mengetahui bahwa
setiap orang tidak dapat menjadi subjek absolut maka tak seharusnya juga seorang
individu menjadi objek absolut.
1.3 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian yang akan dilakukan ini adalah penelitian feminisme sastra dengan
pendekatan eksistensialisme Sartre dan Simone du Beauvoir. Ruang lingkup
penelitian ini adalah dua tokoh utama perempuan dari novel The Other Side of
Midnight karya Sidney Sheldon; Noelle Page dan Catherine Alexander. Dengan
mengacu kepada beberapa pemikiran feminisme dan eksistensialisme, penelitian
ini berfokus pada proses kesadaran akan keberadaan diri dari kedua tokoh, baik
sebagai manusia maupun sebagai perempuan.
xxii
1.4 Metode dan Langkah Kerja Penelitian
Penelitian ini memakai dua teori untuk menganalisis novel The Other Side of
Midnight, yaitu teori struktur novel dan teori feminisme eksitensialis. Teori
struktur novel dipakai untuk menganalisis unsur-unsur instrinsik novel, sedangkan
teori feminisme eksistensialis digunakan untuk menganalisis masalah kesadaran
akan keberadaan diri tokoh sebagai permpuan dalam relasinya dengan tokohtokoh
lain yang tersebar pada unsur-unsur novel.
Akan tetapi, karena teori feminis berkembang dari berbagai sumber
(multidiscipline), untuk lebih mendalaminya diperlukan pandangan yang luas
melalui bacaan-bacaan mengenai perempuan. Bahkan disiplin ilmu yang lain
seperti psikologi dan antropologi, serta beberapa teori sastra yang sebelumnya
telah diterapkan dalam penelitian-penelitan feminisme terdahulu.
1.5 Landasan Teori
1.5.1 Struktur Novel
Novel sebagai bentuk karya sastra merupakan struktur yang bermakna. Novel
tidak sekadar merupakan serangkaian tulisan yang menyenangkan untuk dibaca,
tetapi merupakan struktur pemikiran yang terpadu dari unsur-unsur tertentu.
Untuk mengetahui pemikiran yang tersusun inilah maka diperlukan adanya
analisis sehingga maknanya dapat direbut.
Analisis strukturalisme merupakan prioritas pertama sebelum
diterapkannya analisis yang lain. Tanpa analisis strutural, keutuhan makna
intrinsik yang terdapat dalam karya tersebut tidak dapat ditangkap. Makna unsurxxiii
unsur karya sastra hanya dapat ditangkap, dipahami sepenuhnya, dan dinilai atas
dasar pemahaman tempat dan fungsi unsur itu di dalam keseluruhan karya sastra
(Teeuw, 1983:61).
Novel,sebagai salah satu bentuk cerita rekaan, merupakan sebuah struktur
yang kompleks. Oleh karena itu untuk memahaminya novel tersebut harus
dianalisis. Analisis struktural tidak sekedar memecah-mecah struktur novel
menjadi fragmen-fragmen yang tidak berhubungan. Namun harus dipahami
sebagai bagian dari keseluruhan. Tiap unsur dalam situasi terntentu tidak
mempunyai arti dengan dirinya sendiri, melainkan ditentukan berdasarkan
hubungannya dengan unsr-unsur lain yang terlibat dalam situasi itu. Makna penuh
suatu satuan hanya dapat dipahami jika terintegrasi ke dalam struktur yang
merupakan keseluruhan dalam satuan itu (Hawkes, 1978:18). Di antara unsurunsur
itu ada koherensi atau hubungan yang erat. Unsur-unsur tidak otonom,
melainkan merupakan bagian dari hubungannya dengan bagian yang lain (Culler,
1977:170-171). Jadi untuk memahami novel The Other Side of Midnight haruslah
dianalisis terlebih dahulu unsur-unsur intrinsiknya.
Unsur-unsur yang penting untuk dianalisis dalam sebuah novel, menurut
Wellek, terdiri atas tiga hal yaitu tokoh, alur, dan latar Struktur naratif, baik dalam
drama maupun novel, kemudian lebih dikenal sebagai alur (plot), yang terbagi
menjadi dua jenis yaitu alur longgar atau alur padat dan alur ‘romantis’ atau
‘realistis’(Wellek and Warren, 1963:216-217).
Tokoh atau karakter yang terdapat dalam novel juga dapat digambarkan
dalam berbagai cara, juga melalui plot yang dipakai. Hal inilah yang membuat
xxiv
unsur ini berkaitan dengan unsur alur. Ada banyak cara yang dipakai penulis
untuk menggambarkan tokohnya. Secara sederhana, dengan penamaan misalnya.
Dapat juga dilakukan dengan memberikan deskripsi yang detil tentang
penampilan fisik dalam narasi maupun melalui tuturan tokoh lainnya. Dalam
novel, seperti juga dalam drama, selalu terdapat tokoh-tokoh yang berada di posisi
yang berlawanan – tokoh antagonis atau protagonis, ada tokoh jahat dan tokoh
baik.
Latar atau seting dalam drama tentunya berbeda dengan latar dalam novel.
Tidak hanya menunjukkan tempat dan waktu berlangsungnya suatu kejadian, latar
juga bisa diapakai untuk menunjukkan karakter seseorang yang terdapat di
dalamnya. Wellek dan Warren (1963:221) menambahkan bahwa latar juga dapat
menunjukkan keinginan tokoh pada situasi tertentu. Oleh karena itu, selain latar
waktu dan tempat, latar sosial dalam novel ini juga akan dianalisis untuk melihat
hubungannya dengan unsur-unsur lain.
1.5.2 Feminisme Eksistensialis
Jean Paul Sartre mempopulerkan sebuah ide yang berakar dari pemikiran Hegel,
Hussrel, dan Martin Heidegger. Poin terpentingnya adalah gambaran Hegel
tentang psike sebagai jiwa yang teralienasi sendiri. Ia melihat bahwa kesadaran
berada kondisi terbagi atas dua sisi. Di satu sisi, ada ego yang mengamati, dan di
sisi lain ada ego yang diamati. Sartre kemudian membuat perbedaan antara
pengamat dengan yang diamati dengan membagi Diri menjadi dua bagian; Ada
dalam dirinya sendiri (en-soi) dan Ada untuk dirinya sendiri (pour-soi). Ada
dalam dirinya sendiri mengacu kepada kehadiran material repetitif yang dimiliki
xxv
oleh manusia kepada binatang, sayuran, dan mineral. Ada untuk dirinya sendiri
mengacu kepada kehadiran yang bergerak dan berkesadaran, yang hanya dimiliki
oleh manusia.
Perbedaan Ada dalam dirinya dan Ada untuk dirinya sendiri berguna
ketika kita hendak menganalisis manusia. Terutama jika kita mengasosiasikan
tubuh sebagai Ada dalam dirinya, tubuh adalah objek yang dilihat. Sebaliknya,
entitas yang melakukan tindakan melihat adalah Ada untuk dirinya sendiri, yang
menyadari apa yang dimilikinya.
Selain kedua keber-Ada-an ini, Sartre menambahkan Ada yang ketiga,
yaitu Ada untuk yang lain. Sartre sering menggambarkannya sebagai Ada untuk
dirinya sendiri yang, baik secara langsung maupun tidak langsung, menjadikan
yang lain sebagai objeknya. Karena setiap Ada membangun dirnya sendiri sebagai
Subjek, sebagai Diri. Setiap Subjek membangun dirinya sendiri sebagai yang
transenden dan bebas serta memandang Liyan sebagai imanen dan diperbudak
(Beauvoir melalui Tong, 2006:255-256).
Oleh karena itu, Sartre mempunyai konsepsi khusus mengenai kebebasan,
yang lebih merupakan kutukan daripada rahmat. Ia menegaskan bahwa tidak ada
yang memaksa kita untuk melakukan sesuatu dengan cara apapun juga, kita bebas
secara mutlak. Namun kita kemudian melakukan penipuan diri, sehingga seolaholah
kita melakukan sesuatu karena tidak ada pilihan yang lain (bad faith).
Namun, manusia sebagai pour-soi tidak dapat menjadi en-soi yang tidak
berkesadaran. Jika kebebasan mempunyai makna maka maknanya adalah
bertanggung jawab terhadap tindakan apa pun yang dipilih untuk dilakukan,
xxvi
dengan menyadari bahwa selalu ada ruang untuk mengambil pilihan lain,
bagaimana pun terbatasnya situasi yang dialami.
Dengan memakai istilah eksistensialisme Sartre, Simone de Beauvoir
mengemukakan bahwa laki-laki dinamai “laki-laki” Sang Diri sedangkan
“perempuan” Sang Liyan. Jika Liyan adalah ancaman bagi Diri, maka perempuan
adalah ancaman bagi laki-laki. Maka, jika laki-laki ingin bebas, ia harus
mensubordinasi perempuan. Opresi jender ini berbeda dari bentuk opresi orang
kaya terhadap orang miskin, atau orang kulit putih terhadap orang kulit hitam.
Perbedaanya terletak pada fakta historis yang saling berhubungan, dan fakta kedua
bahwa perempuan telah menginternalisasi ke dalam pikirannya pandangan bahwa
laki-laki itu esensial dan perempuan tidak esensial.
Beauvoir melihat bahwa, sejalan dengan berkembangnya kebudayaan,
laki-laki menyadari bahwa mereka dapat menguasai perempuan dengan
menciptakan mitos tentang perempuan; irasionalitasnya, kompleksitasnya, dan
betapa sulitnya untuk mengerti perempuan. Beavoir juga menekankan bahwa
setiap laki-laki selalu mencari perempuan yang ideal – untuk melengkapinya.
Karena kebutuhan dasar laki-laki sangatlah mirip, maka perempuan ideal yang
dicari pun cenderung sama. Dapat disimpulkan dari beberapa karya sastra yang
dicermatinya, bahwa perempuan yang ideal menurut laki-laki adalah perempuan
yang percaya bahwa adalah tugas perempuan untuk mengorbankan diri untuk
menyelamatkan laki-laki. Mitos ini bahkan sudah terinternalisasi dalam pemikiran
perempuan dan menjadi definisi yang akurat tentang menjadi perempuan.
xxvii
Meskipun demikian, perempuan yang berkesadaran, yang mengalami
imanensi – pembatasan, definisi, kepatutan, meskipun tidak mudah, dapat
melakukan beberapa hal untuk mengatasi ke-Liyan-annya. Dalam proses menuju
transedensi, menurut Beauvoir, terdapat empat strategi yang dapat dilakukan:
1. Perempuan dapat bekerja.
2. Perempuan dapat menjadi seorang intelektual.
3. Perempuan dapat bekerja untuk mencapai transformasi sosialis
masyarakat.
4. Perempuan dapat menolak ke-Liyan-annya – dengan mengidentifikasi diri
melalui pandangan kelompok dominan dalam masyarakat.
1.6 Sistematika Penulisan Laporan
Secara sistematis hasil penelitian ini akan diuraikan sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab ini memuat fakta, data, asumsi, pernyataan-pernyataan dan informasi tertentu
yang secara objektif dan rasional menjadi faktor-faktor penyebab timbulnya
masalah yang dirumuskan dalam perumusan masalah. . Dalam subbab-subbabnya
juga terdapat tujuan-tujuan penelitian yang disusun berdasarkan rumusan masalah
serta manfaat yang diperoleh melalui penelitian yang dilaksanakan. Domain yang
menjadi ruang lingkup penelitian ini juga diuraikan dalam bab ini dan beberapa
teori yang menjadi landasan penelitian ini.
xxviii
Bab II Tinjauan Pustaka
Secara khusus dalam bab ini diuraikan mengenai unsur-unsur novel yang
berkaitan dengan tujuan analisis dan pemikiran-pemikiran eksistensialisme Sartre
dan Beauvoir juga diuraikan dalam bab ini.
Bab III Tokoh, Alur, dan Seting dalam The Other Side of Midnight Karya Sidney
Sheldon
Bab ini berisi analisis unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam karya sastra.
Unsur-unsur yang dianalisis antara lain tokoh, alur (plot), dan seting pada masingmasing
tokoh.
Bab IV Eksistensi Tokoh Perempuan dalam The Other Side of Midnight Karya
Sidney Sheldon
Bab ini merupakan bagian yang membahas nilai-nilai eksistensialis dan
feminisme dalam karya sastra yang tersirat maupun yang tersurat dalam karya
sastra dan muncul dalam diri kedua tokoh.
Bab V Penutup
Menjadi bab terakhir yang berisi simpulan dan saran dari penulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar