Senin, 14 Oktober 2013

Perempuan dan Pengabdian Sastra




image
KEMISKINAN tak memupus gairah literasi. Makna diri sebagai perempuan tak meruntuhkan etos sastra. Kehadiran diri sebagai pengisah hidup justru membuat pengabdian sastra mirip takdir. Luka, airmata, doa, keringat, mimpi, lelah, sesalan memang melumuri diri tapi memberi basis mentalitas untuk bersetia mengolah kisah. Hidup pun bertaburan kisah dan bergelimang makna.
Ichiyo menjelang kematian menulis alinea getir dalam buku hariannya:''Beritahu aku ke mana aku akan pergi. Apa yang ada di hadapanku. Aku terbangun tiap malam, bingung dan resah. Sekarang, bahkan aku takut untuk tidur, kalau-kalau aku tak pernah terbangun lagi untuk melihat matahari terbit.'' Kalimat-kalimat itu dituliskan oleh perempuan rapuh saat menanggung sakit akut tuberkulosis. Perempuan di usia 24 tahun merasai detik-detik keberakhirannya.
Hidup memang selesai. Ichiyo pun mati (23 November 1896) dengan mewariskan novel-novel kondang untuk sejarah sastra Jepang. Pengarang ini menjelma ikon pengabdian sastra di abad XIX saat jagat sastra mulai mengakui makna kehadiran perempuan di sebuah zaman diskriminatif.
Kematian tubuh tak mengharuskan kematian kata dan imajinasi. Novel-novel gubahan Ichiyo terus menapaki sejarah selama ratusan tahun. Imajinasi kekal melampaui keselesaian tubuh. Ichiyo memberi diri dalam cerita Pengabdian sastra menguak heroisme meladeni kemiskinan, bara asmara, komersialitas, popularitas.
Ichiyo adalah biograf kehilangan dan pencarian. Keinsafan diri dan kesanggupan menekuni olah sastra menguatkan kehendak sebagai pengisah. Biografi itu diakui oleh Jepang dengan penghormatan wajah Ichiyo diabadikan di lembaran uang kertas 5000 yen. Ichiyo mengabadi bersama ingatan-ingatan atas kisah hidup dan suguhan novel.
Penghormatan itu seolah membuktikan ramalan Kuniko. Perempuan ini mengabdikan diri selaku adik untuk kerja literas Ichiyo. Kuniko meladeni dan merawat Ichiyo demi semaian gairah literasi. Kuniko saat bocah mengucap doa bahwa Ichiyo kelak terkenal dan lepas dari jeratan kemiskinan. Doa ini terucap di masa Ichiyo masih belia. Ichiyo memang sejak mula menggandrung buku: nafsu membaca. Situasi sastra itu turut terbentuk oleh obsesi si bapak: menghendak Ichiyo menjadi pengarang kondang. Si bapak kerap membuat acara sastra di rumah dan mengantarkan Ichiyo mengalami candu buku. Ichiyo mengalami itu tanpa keterpaksaan. Gairah dan ketakjuban terus menuntun Ichiyo memeluk ìimanî sastra sampai di ujung kehidupan.
Perempuan Legendaris
Ichiyo adalah adalah adalah perempuan legendaris. Sosok ini hidup di zaman tak ramah. Perempuan di Jepang kala abad XIX masih ditepikan dalam laku sastra. Dominasi lelaki mengartikan sastra sebagai klaim otoritas dan harga diri memusat ke rezim maskulinitas. Imajinasi dan pengisahan itu milik lelaki untuk disuguhkan ke publik.
Anutan itu mendefinisikan zaman tak memberi ruang pembebasan dan pemaknaan diri bagi perempuan. Ichiyo menampik dan mengembuskan perlawanan tak kunjung padam. Agenda Ichiyo adalah pemartabatan manusia. Sastra menjelma etos hidup. Menulis adalah ibadah menjadi manusia.
Novel ini memuat penggalan-penggalan hidup Ichiyo saat merawat gairah sastra meski menanggung miskin. Hidup jauh dari pemanjaan material: rumah, pakaian, makanan. Ichiyo hidup di keluarga miskin. Selebrasi diri dalam puja sastra ada bersama ambisi-ambisi menebus nasib.
Novel-novel Ichiyo bertumbuh dari kemiskinan. Situasi ini memberi aroma cerita impresif dan olah bahasa mencengangkan. Cerita-cerita dituliskan dengan air mata, lapar, kepedihan, dendam, rindu, lelah, keringat. Bahasa mengandung realitas-realitas bergerak di rentetan hari bertaburan doa pengharapan dan duka lara.
Ichiyo menemukan pembebasan dan terang di jalan sastra. Keterpencilan dalam pergaulan sastra tak membuat gairah literasi pudar. Kelusuhan kimono tak menjatuhkan martabat. Nasib itu diucapkan dengan pikat melalui bahasa dan cerita. Ichiyo mengonstruksi diri tanpa meremehkann makna kepengarangan di hadapan publik. Pergaulan sastra bersama para pengarang lelaki memang rentan diskriminasi dan inferiorisasi. Situasi itu dialami Ichiyo dalam ambiguitas. Ichiyo meladeni dalam kebersahajaan dan sangkalan. Harga diri tak memusat ke jenis kelamin tapi etos literasi.
Pengabadian sastra mengantarkan Ichiyo ke pengakuan dan penghormatan publik. Novel dan cerpen Ichiyo berterbaran ke kalangan pembaca. Sosok perempuan rapuh itu perlahan kesohor. Para kritikus menulis tanggapan-tanggapan untuk menempatkan Ichiyo sebagai pengarang fenomenal.
Popularitas menjalar dan kemiskinan terjawan oleh kecukupan. Ichiyo mendapati berkah: memaknai diri dan memartabatkan keluarga. Masa silam adalah jalan menentukan dan memori untuk almarhum bapak mengentalkan optimisme. Ichiyo memberi testimoni: ''Inilah saatku, tempat kecil untukku dalam sejarah dan aku berharap dari hati terdalam bapak berada di sini untuk melihat semua ini terjadi.'' Waktu itu sekejap. Ichiyo tak mungkin memperpanjang biografi.
Sakit akut memberi tanda seru. Ichiyo mafhum tentang kefanaan diri. Keberserahan atas kematian meringankan beban popularitas di jagat sastra. Ichiyo menjalani hari-hari terakhir bersama para pengarang kondang dan pengagum. Ichiyo memetik sejarah diri dan memberi sejarah dalam tebaran cerita. Kematian itu mengekalkan makna perempuan dan pengabdian sastra di Jepang.
===================
Judul : Catatan Ichiyo 
Penulis : Rei Kimura 
Penerjemah: Murdwinanto 
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama 
Cetak : 2012 
Tebal : 280 halaman
(Bandung Mawardi-92/CN15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar