Senin, 07 Oktober 2013

Sajak-sajak Nirwan Dewanto


 Roti


—untuk Gregorius Sidharta Soegijo

Kami duduk bertiga belas: meja ini sangat panjang, panggung ini terlalu lapang. Aku dan ia ibarat dua bintang jauh-berjauhan, dua kerdip yang berupaya bertukar getar. Ia berada di ujung sana, seakan di puncak semenanjung: wajahnya tertutup gelap, gelap yang hampir sempurna. Tapi ia seperti tumbuh mendekat ke setiap kami. Sungguh, kami takut jika wajah kami menulari wajahnya, tapi kami bahagia mencium bau tubuhnya di antara rasa lapar kami. Aku tahu ia mengenali kami satu demi satu; sedangkan kami serupa murid yang, setengah-dungu setengah-angkuh, hanya bisa menebak nama satu sama lain, dan saling mencurigai siapa di antara kami akan berkhianat lebih dulu.

Ia memandang ke segala penjuru, ke wajah kami, juga ke balik tengkuk kami, ke arah kapal-kapal yang datang dan pergi nun di bawah sana. Sedangkan kami gementar diam-diam, takut melepaskan diri dari wujudnya. Jadilah aku suka membayangkan satu atau beberapa di antara kami akan melenyapkan ia sebelum tengah malam, sebelum kami benar-benar mabuk dan saling menggandrungi. Semoga di parak pagi kami tak lagi bertempur atau sekadar melihat pasukan kami saling membasmi: dan kami akan beroleh kembali negeri kami, kampung halaman kami, masing-masing, dengan damai.

Kudengar ia berkata di puncak lapar kami, (semoga aku tak keliru menirukannya), ”Seseorang di antara engkau akan menyerahkan aku.” Mungkin tak seorang pun menyimaknya selain aku, sebab kami mulai menyentuh tergesa-gesa piring dan cawan dengan tangan yang tetap saja mengandung tilas darah dan nanah dan getah, noda yang telah mengerak hingga ke kulit jangat. Baru saja kami mengucapkan selamat tinggal kepada segenap senjata dan kereta kami, agar kami lebih mahir berunding dan bersantap. Sungguh kami telah mencuci muka kami hingga berkilau-kilau, agar kami bukan lagi penyaru yang membekuk dari belakang. Lihat, kami telah bergerak begitu cepat ke gelanggang jamuan ini, menembus berlapis-lapis dinding, menyangkal bertangkup-tangkup labirin.

Tapi ia bergerak lebih lekas ketimbang kami, sebab ia tahu kami akan tiba kemari dengan wajah orang suci, sedangkan ia menggambarkan dirinya sebagai pendosa belaka. Ia mengizinkan wujudnya tersaput kabut, bahkan larut dalam kabut; ia membiarkan luka-lukanya tak terlihat (tapi sebentar lagi, sabarlah, ia akan memamerkannya sebagian—lelubang tusukan di kedua telapak tangan dan lambung kanannya). Ketika kami tiba, ia sudah menunggu di ujung paling ungu itu, sedangkan kami hanya bisa bersemayam di titik-titik merah padam ini, di mana lingkaran cahaya akan menghiasi kepala kami. Dalam lindap pohonan di taman ia berkata kepada kami, (semoga aku tak berlebihan mengulangnya untukmu), ”Malam ini, sebelum ayam berkokok, engkau akan menyangkal aku tiga kali.”

Bukankah kami gagal membatasi ruang di mana kami harus saling bertatapan? Lihat, ternyata kami hanya dikitari dinding angin, dan kuping kami masih juga mengembara ke dunia sana, mencari bebisik dari segenap musuh dan sekutu kami, meski kami ingin saksama mengindahkan pepatah-petitihnya yang terakhir. Kami mendengar jerit beburung dan debur ombak ketika ia mulai menyentuh rotinya, dan gema panjang itu berkelindan dengan suaranya. Dan kami bayangkan jemarinya berkilat seperti ujung pedang namun lembut seperti tampuk daun pandan, dan roti itu seperti sebungkah daging, percayalah, seperti daging kami yang menakutkan. Tidak, kami tak akan menghadiahkan daging kami untuk siapa pun, sehingga kami yakini ia memecah-mecah roti itu dan membagikannya untuk kami semua seraya berkata, (semoga aku tak mengutipnya demi diriku sendiri), ”Ambillah, makanlah, sebab inilah tubuhku.”

Barangkali kami telah keliru: kami mengira gelanggang ini dikitari pepohon zaitun dan kurma. Kenapa pula kini kami melihat rerimbun kana, kesumba, dan kembang sepatu mengepung kami? Kenapa kami lupa apakah khazanah kami bermusim dua atau empat, ketika kami merasa telah mengikuti ia membaca kitab-kitab paling rahasia, memuliakan kaum perempuan, memakzulkan para raja dunia, atau berkhotbah di atas bukit? Sesekali bau amis dari laut naik ke meja mahabesar ini, menyadarkan kami bahwa kapal- kapal kami masih memuat senjata dan para serdadu kami di kemah-kemah sana terus menunggu isyarat kami kapan mereka harus mulai menyerang. Dengan sabar kami mengimpikan cahaya jingga-kencana fajar tumpah ke wajahnya, dan cerlang wajah itu pastilah akan memojokkan kami berdua belas ini sebagai semacam rasul yang tak mampu menyainginya sampai kapan juga.

Tiba-tiba sosok yang lama terpaku di sebelah kiriku—betapa wajah kami serupa, dan kami mengenakan jubah hijau lumut yang sama, dan kurasa kami pernah bertarung di tepi selengkung sungai atau di bawah sepucuk tiang kayu palang—berseru, ”Kitalah yang membuat ia berada di sini. Mari kita adili ia sebab ia memang bakal martir sejati. Terlalu lama kita memperebutkan ia sebagai panglima kita. Bukankah ia terlalu berani untuk dunia ini?”

(2008)


Penunggang Kuda Hitam

—untuk Ugo Untoro

Ia belum lulus dari sekolah fantasi ketika ia tiba-tiba sampai di depan rumah jagal di mana kuda-kuda bertaji mengantri untuk melihat genangan darah mereka sendiri. Setelah mencoba mengingat-ingat wajah mereka satu demi satu, ia segera lupa bahwa hari itu ia harus menempuh ujian menggambar.

Gurunya, yang biasa mengajari ia menggubah sosok lelaki penunggang kuda atau penjaga pintu kaum bendahara, entah kenapa sudah berada di sampingnya dan berkata, ”Para pengantri itu sedang berbahagia. Dan hari ini engkau sudah dewasa. Marilah,” dan segera menarik ia ke sebuah klinik, yang mirip ruang kelasnya sendiri,

di mana ia disudutkan oleh—entahlah, ia sungguh ragu siapa— bapanya sendiri, dokter jaga, komandan kompi, atau si guru, ”Berapa banyak yang engkau bunuh hari ini, anakku? Lekaslah gambarkan rupa para kekasih yang telanjur punah itu. Agar kami mampu memercayaimu.”

Maka di layar raksasa yang dibentangkan untuknya di ruang terang-benderang itu ia melukis karung tinju, sedan Impala, boneka kain bekas, satria wayang kulit, daun anturium, sepatu hak tinggi, ular Warhol, benteng batako, sepeda Raleigh, sangkar burung balam, kolam renang, penyair mata pisau, penggemar ikan asin, sepur Mutiara, sapu ijuk Yu Sri—

sampai ia terjaga oleh pukulan di perutnya, yang tersusul teriakan sekerumun umat, ”Wahai lelaki penunggang kuda, kenapa engkau hanya membawa kami berpacu dengan lautan benda belaka? Di mana kudamu, jantung hatimu, yang akan menghela kami menuju khazanah penuh hikmat kebijaksanaan dari kumpulan orang mati?”

Ia pun sadar bahwa ternyata tangannya sudah berlumur darah sejak pagi tadi, ketika ia mampu menyelamatkan hanya seekor kuda hitam, yang terpaksa disembunyikannya ke balik baju saat ia harus bergegas mengejar langkah gurunya ke arah matahari terbenam. Segera ia mendengar reringkik teramat akrab mendekat ke arahnya.

Maka dengan jemarinya belaka, hanya dengan warna darah yang mulai kusam-garing itu, ia menggoreskan seekor kuda terpantas, terpanas, terganas, kuda hitam, kuda andan, kuda Troya, kuda Kroya, kuda kepang, kuda dremolen, kuda bendi, kuda sembrani, kuda bertaji, kuda Larasati, kuda Kandinsky, atau kuda Umbu, dan ia berkata kepada kaum pemirsa yang kian dahaga itu, ”Naikilah ia, wahai pemuja keindahan. Pergilah dalam damai, sebab kau sekalian sudah terlalu lama memeramku di tangsi serdadu atau klinik psikiatri ini.”

Di lebuh menuju sekolah fantasi, di mana mereka yang merampas kudanya menghilang ke balik seribu raut rekaannya, ia mulai belajar menyimak suaranya sendiri, yang sepintas terdengar hanya seperti jerit lemah si guru ketika tenggelam di rumah jagal itu.

(2008)


Pejalan Tidur Bulan Ramadhan


—untuk Reza Abedini

Tabah ia mencelupkan bola matanya ke dalam merah malam—

Terhalang sebatang sungai, ia melihat arus darahnya sendiri.

Kian ringan langkahnya ketika lumut menjalari tungkainya—

Dengan sabit bulan ia memburu ranjangnya ke seberang sana.

(2008)

Sajak-Sajak Nirwan Dewanto

http://kompas-cetak/
Tiga Biola Juan Gris

(1)
Terbaring di atas talam, ia cembung masih
dengan dawai menegang oleh putih-mutih
lembar lagu yang ditindihnya. Dan sebatang pipa
harum tembakau dan mungkin setandan anggur layu
rajin mengapitnya ketika ia begitu ragu pada ungu
dan coklat yang mestilah miliknya. Di pucuk lehernya
hanya lengkung serupa arabeska hitam sehingga
ia tak akan lagi membusung seperti telur kasuari
tapi membubung seperti udara Magribi di ujung jari.


(2)
Sebagian punggungnya perlahan memipih selagi
dawainya menghilang di antara lipatan linen putih
dan kuning yang memiara dua selongsong semu
sampai papan halma di depannya biru seperti pagi
seperti cerminnya yang baka. Ternyatalah ia berdua
kembar Siam yang gemar menyalin latar muka
dengan belakang sampai hijau tubuhnya hanya
seratus pecahan lingkaran dan segitiga pengabdi
coklat mahoni kertas dinding dan urat kayu meja
saat mata sekadar bermain matra dan permata
saat Partita Bach mesti menyela jingga dan jelaga.


(3)
Tenang seperti kertas Jepang, seakan ia membentang
dari tepi ke tengah. Dawainya sekadar gegaris
pengganda celah antara langit menjelang subuh
dan sebotol tinta yang menunggu tangan pelukis
yang telanjur menyuramkan dua pita merah darah.
Sewarna udara, mestinya ia bisa melerai bebongkah
coklat meja dan kelabu pintu yang berebut putih
tapi terhalang sekeping pilar Korintia yang melayang
di antara biru dan hitam yang ingin bergegas pulang.
Sungguh ia terlalu sabar, sehingga semua celah itu
mengubur si pelukis yang telah menjadikannya
segantang, seperti asap dan kalibut. Tak sadar ia
menyerahkan diri kepada tinta Cina seluas laut
yang kini terkunci leher botol yang seperti lehernya.

(2007)

 



Perenang Buta

Sepuluh atau seribu depa
ke depan sana, terang semata.
Dan arus yang membimbingnya
seperti sobekan pada jubah
tanjung yang dicurinya.
Tak beda ubur-ubur atau dara
mendekat ke punggungnya
yang tumbuh sekaligus memar
oleh kuas gerimis akhir Mei.
Ia seperti hendak kembali
ke arah teluk, di mana putih layar
pastilah iri pada bola matanya.
Tapi ia hanya berhenti, berhenti
di tengah, di mana rambutnya
bubar seperti ganggang biru
atau gelap seperti akar benalu
sehingga betapa mercusuar itu
ragu-ragu memandangnya.

(2007)



Semangka

Seperti kantung hijau berisi darah
berhenti percaya pada tanah,
seperti bawal betina tak bersarung
menggelincir ke ujung tanjung,
seperti periuk penuh kuah kari
penat sudah oleh bara api,
seperti kandungan delapan bulan
siap tersedak ke batang jantan,
(tak seperti jantung pisang raja,
meski rekah dalam hujan buta)—
begitulah lukisanmu jika kau dahaga
terayun antara putih dan jelaga,
memungut si buah dari dasar malam,
raut tanpa daging tempat terperam
sebaris benih seperti kuku harimau,
sedang lidahmu sekadar terpukau.

(2007)



Mawar Terjauh

Kau benih hujan pagi hari,
aku payung yang lama iri.
Kau airmata di ujung jari,
aku saputangan matahari.
Jika kau dalam gaun merah,
aku bekas tangan di perutmu.
Tapi kau juga genangan darah,
ketika aku urung mencintaimu.
Kau cermin terlalu menunggu,
aku wajah yang memurnikanmu.
Tumpahkanlah tilas semua dara,
sampai jantungmu serimbun bara.
Kau pemilik hujan sepenuh hari,
aku payung terlampau sembunyi.
Mari, lekaslah kelabui Januari,
sebab aku terkulai ke tepi nyanyi.

(2007)



Pengantin Remaja

Aku tak bisa menangis, sebab kulitmu coklat manggis. Kau tak lagi mampu melompat, sebab parasku hampir berkarat. Sesungguhnya sejak kanak aku hanya mengenal bayang- bayangmu: sebab aku penjinak binatang, kau peniti tali. (Ingatlah. Ketika aku mengaum tak henti-henti, kau justru tak hendak kembali. Kau penikmat jurang di bawah sana, aku pemuja langit tinggi.) Sampai para peziarah yang tak tahu malu itu menarik kita ke sepucuk jembatan mawar dan berujar, “Lihat, alangkah sepadan dua kembaran ini." Seutas tali akar padi liar mereka ikatkan ke kakimu dan kakiku. Di bawah tudung Bimasakti aku menghapus mereka satu demi satu, namun menyisakan sesosok belaka dan mengusirnya ke seberang sungai dan menyebutnya Bapa. Kemudian aku berusaha merindukanmu, meski kau berada di pangkuanku seperti telur yang menggeliat dalam sarangnya sendiri. Kau berkata, “Adam, lekaslah menyusu padaku agar kita segera dewasa." Dadamu berkilatan tapi hanya berisi angin, aku tahu. Mulailah aku memintal linen atau kain lain (aku tak yakin) agar esok kita berani bercermin. Dan pada lidahmu kulekatkan lidahku supaya kita tak lagi dahaga. “Hawa, jangan berjanji mengasihiku," aku berseru, sambil mengancam Bapa yang terkelebat di pelupuk matamu.

(2007)



Lonceng Gereja

Kaum musuhku menuntun aku menyanyi
seraya memeluk aneka menara tertinggi
tetapi demi jubah Latin bagi orang mati
aku hanya belajar diam seperti lidah api.

(2006)



Apel

Merah seperti tirai merah,
memar seperti payudaramu,
gundah seperti telur Paskah,
sabar seperti langit biru,
ia berbaring di sisi sebatang lilin.
Di ujung makan malam, meja ini
mengecilkan ia, tapi sungguh si belati
kian silau oleh lengkung perutnya.
Mungkin sebentar lagi akan terluka,
ia berdiri di sisi sebatang lilin.
Seakan kusantap gaunmu panjang
untuk membuat ia telanjang.
Seakan kauasah jemariku pada nyala
untuk melindungi daging putihnya,
lebih putih daripada sebatang lilin.

(2006)
 



Tukang Kebun

Kau memohon ampun pada tetes hujan
setelah menarik akar ke wajah serambi
sedang aku bersekutu dengan biji-bijian
untuk berani mengecup mulut matahari.

(2006)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar