Senin, 14 Oktober 2013

Nova Christina


Sastra Perempuan Tempo Dulu


Sastra Indonesia karya para perempuan penulis pada periode-periode sebelum 1990, setidaknya dapat dipilah menjadi tiga periodisasi. Pertama adalah masa ketika konsep Indonesia sebagai bangsa mulai matang dan mendekati masa kelahiran (1930-1950-an). Periode ini ditandai dengan kemunculan roman karya Soewarsih Djojopoespito, Buiten Het Gareel, pada tahun 1940.

Sesungguhnya karya ini telah muncul pada tahun 1930-an dalam bahasa Sunda. Namun, saat itu roman ini menjadi salah satu karya yang ditolak Balai Pustaka (BP). Alasannya, dianggap terlalu maju dan tidak bisa dicerna oleh pembaca Hindia Belanda ketika itu. Baru pada tahun 1975 Buiten Het Gareel diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Manusia Bebas, diterbitkan oleh Penerbit Djambatan. Uniknya, sekalipun ditolak penerbitannya, Buiten Het Gareel ternyata mampu menarik perhatian. Ahli sastra Indonesia, A Teeuw, bahkan pernah menyatakan Buiten Het Gareel sebagai karya sastra teragung yang pernah hadir pada periode Balai Pustaka.

Pada periode yang sama, perempuan penulis lain yang juga patut diperhitungkan adalah Selasih dengan karyanya Kalau Tak Untung yang diterbitkan oleh BP tahun 1933. Selasih juga dinobatkan sebagai perempuan penyair pertama yang menulis puisi dan novel dalam bahasa Indonesia. Pada tahun yang berdekatan, muncul nama Fatimah Hasan Delais dengan novel Kehilangan Mestika yang terbit pada tahun 1935, juga diterbitkan oleh BP.

Perbedaan isi

Terdapat perbedaan pada karya awal perempuan penulis yang mendapat restu Balai Pustaka dan yang tak berestu. Kedua novel terbitan BP lebih bermuatan lokal (kental dengan persoalan adat istiadat) dan gambaran perempuan ideal dalam rumah tangga maupun kehidupan sosial. Ketabahan yang dikaitkan dengan suratan nasib mendominasi tampilan tokoh-tokoh perempuan dalam novel-novel awal karya penulis perempuan yang diterbitkan BP.

Berbeda dengan Buiten Het Gareel yang mengangkat persoalan yang berkaitan dengan perjuangan melawan pemerintahan kolonial. Roman ini menampilkan perjuangan dua tokoh utama, yakni pasangan Sulastri dan Sudarmo, dengan sekolah liar yang mereka dirikan. Persoalan yang digambarkan demikian rumit karena sekolah liar ternyata tidak hanya bertabrakan dengan kepentingan pemerintah kolonial, tetapi juga dengan masyarakat dan kelompok-kelompok politik besar.

Pada karya puisi, selain Selasih pada akhir 1940-an muncul penyair S Rukiyah yang juga tercatat sebagai jurnalis dan aktif dalam pergerakan politik. Selain menulis puisi, cerpen, maupun novel, S Rukiah yang juga pernah menjadi anggota pengurus pusat Lembaga Sastra Indonesia, Lekra, dan redaktur penerbit Yayasan Kebudayaan Sadar sekaligus mengelola majalah untuk anak-anak, Kutilang, dari penerbit yang sama, juga menulis beberapa esai. Karya- karya S Rukiyah banyak memuat warna semangat nasionalisme.

Pada jenis karya cerpen, Saadah Alim muncul. Kumpulan cerpennya terbit pertama kali dalam sebuah buku yang berjudul Taman Penghibur Hati tahun 1941. Nama Soewarsih Djojopoespito pun muncul. Setidaknya terdapat empat kumpulan cerpennya yang telah diterbitkan: Tujuh Cerita Pendek (1951), Empat Serangkai (1954), Siluman Karang Kobar (1963), dan Hati Wanita (1964).

Kebanyakan para perempuan penulis di era ini berprofesi sebagai jurnalis dan pendidik. Kisah-kisah yang bersifat didaktis diramu dengan berbagai unsur yang terkait dengan bidang masing-masing tampil mewarnai karya mereka. Karya-karya mereka seolah tampil sebagai otobiografi.

Disukai industri

Periode selanjutnya, dimulai sejak awal tahun 1970 hingga akhir 1980. Nama NH Dini atau Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin muncul pada masa ini, dan selanjutnya dapat dikatakan sebagai perempuan penulis paling produktif.

Pada periode ini juga muncul banyak nama perempuan penulis yang tergolong produktif dan disukai industri (laku keras dan mengalami cetak ulang dalam periode yang panjang). Nama-nama seperti Hanna Rambe, Titie Said, Lastri Fardani, Yati Maryati Wiharja, Titiek WS, Sri Bekti Subakir, Ike Supomo, La Rose, Marga T, Maria A Sarjono, Nani Heroe, Nina Pane, Titik Viva, Sari Narulita, Tuti Nonka, Marianne Katopo, V Lestari, dan Mira W.

Karya para perempuan penulis pada periode ini lahir pada periode ketika kepentingan politik penguasa amat dominan. Kecenderungan ini dapat dilihat pada bagian muka tiap novel yang diterbitkan. Pernyataan yang berbunyi seperti: Tokoh dan cerita dalam novel ini hanya rekaan semata, adanya kesamaan hanya merupakan kebetulan belaka, menjadi pelengkap tiap karya yang lahir pada periode pemerintahan Orde Baru.

Memberikan pencerahan

Masa ini dapat diamati sebagai masa di mana banyak perempuan penulis tampil dengan cerita-cerita pendek dan puisi. Umumnya mereka aktif terlibat di media massa, komunitas-komunitas sastra, maupun bidang lain, juga penerbitan. Karya-karya mereka pun sering kali tidak menonjol di pasar, dan kalangan yang memberikan perhatian pada karya-karya mereka pun masih terbatas.

Nama Rayani Sri Widodo, Dorothea Rosa Herliany, Leila S Chudori, Ratna Indraswari Ibrahim, Helvy Tiana Rosa, ataupun Oka Rusmini muncul pada periode ini.

Karya-karya mereka dinilai mampu memberikan pencerahan bagi para pembacanya sehingga layak untuk dinilai sebagai karya-karya sastra yang baik (atau mengikut istilah yang sempat dipelopori oleh A Teeuw, karya-karya mereka dapat digolongkan sebagai karya Sastra, dengan huruf “S” besar). Apalagi, hingga saat ini, para penulis ini masih tergolong produktif menulis maupun aktif pada berbagai bidang.

Banyak kalangan menilai bahwa para penulis pada periode ini jauh lebih konsisten dan berkarakter dalam berkarya dibandingkan dengan para penulis yang muncul setelah kelahiran Saman. Masing-masing penulis dinilai memiliki ciri sendiri dalam berkarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar