Senin, 14 Oktober 2013

Maulana Satrya Sinaga.


Perkembangan Karya Penulis Muda Sumut

Sewaktu saya mengahadiri Pertemuan Penyair Nusantara V di Palembang 2011, ada salah satu teman dari provinsi tersebut berujar kepada saya “Wah, ada juga ya yang sebaya kami dari Medan.” Lalu dia menyambung kalimatnya “Biasanya yang datang pertemuan seperti ini Hasan Albana, Suyadi San dan Raudah Jambak.” Memang ada nama-nama lain yang langganan hadir dalam pertemuan-pertemuan besar seperti ini, seperti : Afrion, Idris Siregar, Y.S Rat, Rahim Qahar, Damiri Mahmud dan Idris Pasaribu, namun mungkin hanya nama itu dulu yang terbesit di benak teman saya atau nama yang disebutkannya demikian akrab dengannya di pertemuan-pertemuan sebelumnya. Pernyataannya tersebut tentu menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab. Kemana penulis muda Sumut?
Masih Ragu dan Kurang Percaya Diri
Tahun 2008 saya mulai mengenal koran lokal, mengikuti perkembangannya tiap minggu selain menanti-nanti kerezekian tulisan saya terlihat. Saat itu gelora penulis pemula sangat kuat.
Apa saja dibaca, dipelajari, diikuti dan dicari tahu, karya siapakah yang sedang saya baca ini, bahkan dibahas. Karena di Komunitas Sastra Indonesia-Medan, tempat saya tumbuh, setiap sabtu sore selain membahas karya anggota juga karya penulis lainnya yang dimuat di salah satu surat kabar. Baik cerpen, puisi  maupun resensi.
Secara tidak langsung dari sanalah saya mulai mengenal nama-nama penulis Sumatera Utara sampai tahun 2009. Saya mulai mengenal koran nasional seperti: Kompas, Tempo, Jurnal Nasional, Suara Pembaruan, Suara Merdeka dan juga Majalah sastra Horison. Waktu itu yang menghiasi media massa tersebut dari Sumut adalah penulis senior yang saya sebutkan di atas dan saya tidak menemukan usia “sebaya,” yang disebutkan teman saya itu.
Kemudian ada nama baru yang mencuat dan mengejutkan ; Ilham Wahyudi. Bermula dari puisinya yang terbit di Lampung Post, dia terus melangkah dengan pasti dan singgah pada koran-koran besar seperti: Suara Pembaruan, Tempo, Jurnal Nasional, Surabaya Post, Bali Post dan lainnya. Dia masih dapat saya katakan senior dan tidak dalam rentang waktu yang di pertanyakan teman saya yakni periode kelahiran 1986 ssampai 1994.
Di masa 2008 sampai 2009 disini penulis remaja kita masih ragu dan malu untuk menjadi dewasa. Begitu juga dengan karyanya. Masih senang bermain-main di kota sendiri. Tentu, alasan klasik tak lain adalah kurang percaya diri dengan karyanya, takut ditolak redaktur, belum cukup bagus, belum waktunya dan hal lainnya semacamnya yang membuat karya itu tidak berada di meja redaksi. Begitu juga teman penyair dari berbagai provinsi tidak mengenal nama-nama penulis Sumut seusia saya. Apakah selanjutnya seperti ini?
Pergerakan Mulai Tampak dan Membanggakan
Sumatera Utara mulai berbangga, tahun 2010 mulai muncul pergerakan kecil di media nasional. Perlahan tapi pasti, hingga tahun 2012 penulis remaja kita mulai tumbuh dewasa mulai dengan pergerakan besar, hingga tahun 2013 ini. Mulai membanggakan dan dikenal namanya di jajaran media nasional bahkan di even-even nasional dan internasional.
Kita sebut saja nama Muhammad Pical Nasution. Pria kelahiran tahun 1986 ini dikenal dengan cerpennya yang memikat yang dipenuhi imajinasi, hingga mampu menaklukan hati redaktur Suara Merdeka, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Radar Surabaya dan sebagainya. Begitu pula dengan Ria Ristiana Dewi yang selain cerpennya dimuat di media nasional juga dia terpilih dan hadir dalam Temu Sastrawan Indonesia IV di Ternate juga Jakarta Internasional Festival ke 2. Disinilah awal kebangkitan nama-nama penulis Sumut yang mulai atau bahkan sudah diperhitungkan. 
Belum lagi Sartika Sari yang memenangkan lomba penulisan, hingga berangkat mewakili Sumatera Utara ke Bali begitu pula dengan Cipta Arif Wibawa yang berangkat ke Lombok dengan prestasi yang sama luar biasanya. Begitu juga dengan karya mereka yang beruntun terbit di media nasional.
Dilihat dari segi karya setidaknya penulis-penulis kita telah terbit hampir di seluruh media massa yang ada di Indonesia. Hal ini suatu pergerakan dan pertumbuhan yang membuat nama Sumut semakin dikenal. Salah satu teman saya dari Lombok. Kiki Sulistyo, juga mengikuti perkembangan sastra nasional berkata, “angkat topi, salam hormat buat penyair-penyair muda disana.”
Ini belum cukup. Hendaklah kiranya para senior tetap membimbing atau bahkan menarik kami dari jurang, ketika kami mendapat suatu kebuntuan, hingga regenaresi tetap ada dan kami mampu melanjutkan amanat tersebut.
Jangan salah, koran lokal Medan juga menjadi nasional di mata penulis luar Sumatera Utara. Menjadi salah satu incaran para penulis yang sudah terkenal untuk menjejaki ranah sastra Medan. Setidaknya, ada saja nama langganan penulis luar Sumut mulai dari Padang hingga Kupang. Karyanya baik puisi maupun cerpen terpajang dengan warna-warna beragam yang menghiasi media massa medan yakni; Analisa, Medan Bisnis, Sumut Pos dan Mimbar Umum. 
Sungguh, bagi penulis pemula Sumut yang ingin mencoba menjajaki media massa di kampung sendiri adalah persaingan yang ketat bila tidak serius atau fokus, tentu akan berjalan di tempat.
Tidak sampai disitu, di tempat lain, Zuliana Ibrahim, Syafrizal Sahrun, Arie Azhari Nst, Sakinah Annisa Mariz dan Hesti Sartika diam-diam menyalakan obor prestasi yang lagi-lagi membuat kita terkejut.
Penulis Mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, bergiat di Komunitas Sastra Indonesia-Medan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar