Senin, 14 Oktober 2013

PROFIL PEREMPUAN PENGARANG & PENULIS INDONESIA


PROFIL PEREMPUAN PENGARANG & PENULIS INDONESIA



Kurniawan Junaedhie
ISBN: 978-602-8966-35-1
Tebal: 340 + xvi

KARANGAN tercetak paling awal dari kontribusi pertama para perempuan penulis muncul dalam bentuk buku pada awal tahun 1890-an di di Hindia Belanda. Baru pada awal tahun 1920-an, para perempuan (di tanah Hindia Belanda yang kemudian disebut Indonesia itu) mulai menulis novel dan menyumbangkan beragam artikel ke media massa lokal.
Pengamatan Claudine Salmon dalam bukunya, Sastra Indonesia Awal (Kapustakaan Populer Gramedia, 2011) itu ternyata sejalan dengan penelitian Maman S. Mahayana. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2000 Maman mengakui, maraknya penerbitan suratkabar yang terbit pada awal abad XX itu telah memberi andil cukup besar terhadap lahirnya para penulis dan pengarang perempuan pada masa itu.
Tercatat nama-nama perempuan penulis, seperti, Siti Soendari, Siti Hendoen Zaenaboen, Soeratoen, Rr Oenoen Andiloen, R.A. Latip, Rr Soelastri, dan Soemirah Margolelo. Sebagian besar tulisan para perempuan di atas, umumnya menekankan pentingnya pendidikan sebagai pintu gerbang memasuki kemajuan. Sebagian lainnya mengimbau agar adat-istiadat yang merugikan kaum perempuan, disingkirkan.[1]
Meski Mahayana tidak menyebut secara gamblang, hal itu bisa dipastikan terjadi karena pada pergantian abad itu telah muncul seorang tokoh perempuan bernama R.A. Kartini, yang dalam surat-suratnya kepada Abendanon, banyak menuliskan tentang keluhan, harapan dan impiannya tentang kemajuan bangsanya, dan khususnya kemajuan kaum wanita.[2]
Gejala awal munculnya barisan perempuan penulis di masa itu juga bisa disimak dari majalah Panorama, yang terbit pada tahun 1920-an itu, tepatnya pada tahun 1927. Majalah itu diasuh oleh orang Tionghoa peranakan bernama Kwee Tek Hoay, yang dikenal sebagai pengarang, dan wartawan terkemuka. Dalam majalahnya itu, Kwee menyediakan ruangan khusus untuk wanita di mana para perempuan penulis dapat memuat karangan-karangannya berupa syair-syair. Melalui surat-menyurat ia memberi pembinaan atas karangan-karangan itu. Bahkan atas dorongannya kemudian berdiri organisasi pengarang wanita pada saat itu.[3]
Betapa ingar-bingarnya kemunculan paraperempuan penulis pada masa itu tampak terasa dalam tulisan-tulisan Salmon, Mahayana dan Myra Sidharta di atas. Memang menyedihkan, dalam versi sejarah sastra Indonesia, malah tidak banyak nama perempuan pengarang yang disebut, termasuk karya-karya yang mereka hasilkan. Bahkan nama Kartini yang dikenal menulis puisi, dan menulis catatan harian, di samping menulis surat, melukis, membatik dan menghimpun dongeng dan nyanyian dalam sejarah kesusastraan Indonesia tidak disebut sama sekali. Pada periode atau angkatan Balai Pustaka, misalnya, versi sejarah sastra Indonesia hanya menyebut nama Hamidah, nama pena dari Fatimah Hasan Delais yang menulis Kehilangan Mestika yang terbit pada 1935.
Pada periode atau angkatan Pujangga Baru hanya disebut nama perempuan pengarang bernama Selasih, Saleguri atau Sariamin. Pada periode atau angkatan 45 ada beberapa penulis wanita seperti S. Rukiah, Ida Nasution, dan Siti Nuraini. Pada periode 1950-an muncul nama Widia Lusia Zulia. Menginjak periode1960-an dan 1970-an muncul sejumlah nama yang makin memeriahkan dunia pengarang perempuan dalam sastra Indonesia. Bahkan banyak di antara mereka yang hingga kini masih tetap produktif. Nama-nama pengarang tersebut secara alfabetis yaitu: Agnes Sri Hartini Arswendo, Aryanti, Asnelly Luthan, Boen S. Oemaryati, Diah Hadaning, Farida Soemargono, Ida Ayu Galuhpethak, Ike Soepomo, Ima Suwandi, Iskasiah Sumarto, Isma Sawitri, La Rose,Marga T., Maria A. Sardjono, Marrianne Katoppo, Mira W., N.H. Dini, Nana Ernawati, Nina Pane, Poppy Donggo Hutagalung, Rayani Sriwidodo, Rita Oetoro, S.Mara GD, S. Tjahjaningsih, Samiati Alisjahbana, Susy A. Aziz, Suwarsih Djajapuspito, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Titie Said, Titis Basino, Toety Herati Noerhadi, V. Lestari, Waluyati. Dalam bidang puisi lahir sederet nama seperti,Toeti Heraty, N. Susy Aminah Aziz, Diah Hadaning, Isma Sawitri, M. Poppy Donggo Hutagalung, Rayani Sriwidodo, Upita Agustin, Agnes Sri Hartini Arswendo, Asnelly Luthan, dan Tuti Kuswardani. Sementara dalam bidang fiksi muncul nama-nama N.H. Dini, Mariane Katoppo, Iskasiah Sunarto, Maria A. Sardjono, Marga T, Th. Sri Rahayu Prihatmi, Titis Basino P.I., Totilawati Tjitrawasita, Aryanti (nama lain Haryati Soebadio), dan lain-lain. Namun kedudukan dan karya-karya mereka ‘masih’ tetap tenggelam di bawah bayang-bayang pengarang laki-laki. Jejak-jejak mereka nyaris tak pernah terlacak saat ini. Banyak kecurigaan yang dilontarkan, antara lain, kehadiran dan kedudukan mereka tanpa sengaja telah ditenggelamkan oleh para kritikus sastra yang notabene kaum laki-laki. Kecurigaan semacam inilah yang ditengarai para kritikus sastra feminis atas ketidakseimbangan antara pengarang laki-laki dengan pengarang perempuan, ketidakseimbangan pembicaraan antara karya-karya penulis laki-laki dengan penulis perempuan dalam dunia sastra di berbagai negara termasuk dalam sastra Indonesia.[4]
Terasa memang betapa sulit dewasa ini mencari buku yang bisa membantu kita untuk melakukan rekam jejak para perempuan pengarang dan penulis Indonesia pada masa itu. Buku-buku yang ada, nyaris tidak mampu merepresentasikan keberadaan perempuan pengarang dan penulis Indonesia secara utuh, apalagi dengan cara-cara menggembirakan tanpa harus disandingkan dengan kaum lelaki.
Buku Leksikon Kesusastraan Indonesia Modern Edisi Baru (Djambatan, 1981) yang disusun Pamusuk Eneste, dan buku Leksikon Susastra Indonesia (Balai Pustaka, 2000) yang disusun Korrie Layun Rampan yang selama ini jadi buku acuan untuk mengetahui profil para pengarang Indonesia, ternyata lebih banyak memuat nama para lelaki, dibanding menyebut nama kaum perempuan pengarang dan penulis Indonesia. Dalam buku Angkatan 2000 Sastra Indonesia karya Korrie Layun Rampan (Grasindo, 2000) terdapat 17 pengarang dari 78 pengarang, sementara pengarang laki-lakinya sebanyak 61 orang. Buku Ensiklopedi Sastra Indonesia (Titian Ilmu, Bandung, 2004) yang disusun Hasanuddin WS dkk. juga hanya meneguhkan, betapa sedikitnya peran perempuan pengarangdan penulis Indonesia di panggung sastra Indonesia. Maka tak usah heran, bila perempuan penyair Nenden Lilis A. dengan kesal menyebut, di dunia literer, “perempuan adalah jenis kelamin yang dilupakan.”[5]
Ketimpangan atau ketidak-adilan seperti ini sejatinya tidak hanya terjadi dalam lapangan kesusastraan atau kepenulisan semata tetapi juga terjadi dibanyak tempat dan lapangan. Mulai dari lapangan politik, ekonomi, budaya sampai lapangan sosial. Tak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di dunia. Jika diperhatikan lebih jauh, sebenarnya pengarang perempuan telah hadir sejak dulu. Novel modern pertama di dunia, Genji Monogatari, yang ditulis pada tahun 1000 di Jepang merupakan karya seorang perempuan bernama Murasaki Shikibu (975—1015). Karya sastra Bugis La Galigo yang berbentuk puisi (terpanjang di dunia, tebalnya 7000 halaman,lebih tebal daripada Iliad, Odysea, Mahabarata dan Ramayana) ditulis pada abad XIX di bawah pengayom seni seorang wanita, Siti Aisyah WeTenriolle.[6]
Corak sejarah yang androsentris adalah penyebab, kenapa perempuan selalu ditempatkan dalam posisi sebagai figuran. Sehingga di tengah-tengah dominasi laki-laki di semua sektor, karya para perempuan itu bagaikan setitik pulau kecil yang seringkali tak terlihat di peta.
Sebetulnya ada buku bagus yang pernah terbit, yang secara khusus memberi panggung yang layak bagi para penulis perempuan Indonesia, yaitu Profil Perempuan Pengarang Peneliti Penerbit di Indonesia (Kelompok Cinta Baca, 2000) yang disusun Korrie Layun Rampan, Titiek W.S., dan Matheus Elanda Rosi DS. Sayangnya, buku yang memuat 119 nama perempuan penulis pengarang, peneliti dan penerbit itu tidak beredar luas, dan sekarang sulit diperoleh. Bahkan Pusat Dokumentasi HB Jassin pun sudah tidak menyimpannya lagi. Padahal selama kurun 12 tahun sejak buku itu terbit, perkembangan signifikan telah terjadi di banyak aspek kehidupan termasuk kepenulisan. Jumlah pengarang makin besar, termasuk didalamnya jumlah perempuan pengarang.
Berbagai alasan dan pertimbangan di ataslah yang menjadi alasan utama mengapa secara afirmatif , saya merasa perlu menuliskan buku semacam ini dan menerbitkannya. Sebuah buku yang di luar dugaan, berhasil menjaring 800-an nama perempuan pengarang dan penulis Indonesia dari berbagai lapangan; sejak zaman Saadah Alim, perempuan pengarang kelahiran 9 Juni 1897 sampai perempuan pengarang kelahiran 18 April 1995, bernama Sri Izzati. Dan di antara 800-an nama itu juga termasuk perempuan pengarang dan penulis dari kalangan Lekra dan kalangan Tionghoa dua golongan pengarang yang selama ini tidak pernah tercatat dalam sejarah (sastra) Indonesia kita.
Tanpa harus menafikkan data sensus tentang populasi kaum perempuan usia produktif dalam skala kependudukan Indonesia secara keseluruhan[7], buku ini pada dasarnya ingin mengajak siapa pun yang selama ini meragukan keberadaandan kemampuan perempuan pengarang dan penulis Indonesia, untuk memperoleh gambaran secara lebih utuh dan bulat tentang kiprah perempuan pengarang dan penulis Indonesia dari zaman ke zaman. Dengan kata lain, buku ini coba mengajak pembaca –tentu saja dengan menggunakan kacamata yang lebih baru,– untuk menyaksikan kehadiran dan kiprah mereka secara lebih jernih, di luar dunia laki-laki yang selama ini menjadi golongan mayoritas.
Beberapa Catatan
Hal yang paling mengesankan ketika menyimak satu demi satu nama dalam buku ini adalah munculnya begitu banyak nama perempuan pengarang dan penulis pemula yang tumbuh dan berkibar namanya dalam tahun-tahun terakhir. Mereka adalah kaum perempuan pengarang dan penulis generasi muda dari Sabang hingga Merauke, yang menunjukkan produktivitasnya secara luar biasa dalam hal membukukan dan memasyarakatkan pengalaman, pikiran dan perasaannya. Mereka tak hanya menulis novel, puisi, cerpen, atau menulis skenario untuk film maupun sinetron TV tetapi juga menulis hal apa saja yang bisa ditulis, termasuk menulis kisah perjalanan, resep-resep masakan, kisah-kisah inspirational, diary dan masalah-masalah keagamaan. Kemunculan para penulis muda itu sungguh layak dicatat karena menumbuhkan harapan baru bahwa sastra Indonesia tidak akan punah.
Kehadiran barisan perempuan pengarang dari kalangan selebritis yang dijuluki oleh pengamat sebagai perempuan pengarang fiksi bermadzab Sekuler[8] yang dimotoriAyu Utami, Dewi “Dee” Lestari, Jenar Mahesa Ayu, Nova Riyanti Yusuf, FiraBasuki, dan lain-lain –yang notabene adalah publicfigure—juga telah memberi warna tersendiri.[9]
Fenomena itumenjadi makin menarik karena dalam waktu hampir bersamaan muncul juga barisan pengarang fiksi Islami[10] yang dimotori Helvi Tiana Rosa dan Asma Nadia melalui Forum Lingkar Pena (FLP) Kehadiran FLP pantas dianggap sebagai fenomena tersediri dalam khasanah sastra Indonesia karena forum ini berhasil menjadi wadah bagi berbagai kalangan — mahasiswa, pegawai, ibu rumah tangga, buruh, anak jalanan, hingga pembantu rumah tangga — untuk menulis. Dengan jumlah anggota sebanyak 7 ribu orang, 500 orang di antaranya telah menulis (menerbitkan) buku.[11] Menurut Ahmadun Yosi Herfanda, kehadiran mereka menjadi mainstream yang kuat dalam mengimbangi kelompok perempuan pengarang fiksi Sekular di atas.[12]
Fenomena inimenjadi menarik mengingat para perempuan pengarang sebelumnya banyak‘didominasi’ oleh perempuan-perempuannon-muslim, seperti Marga T, Mira W, Maria A. Sarjono dan lain-lain yang olehPipiet Senja disebut “Penulis Noni.”[13]
Dalam pada itu, tingginya pendidikan rata-rata para perempuan pengarang dan penulis dewasa ini juga menimbulkan harapan besar, bagi keberlangsungan upaya pencerdasan bangsa. Jika rata-rata perempuan pengarang dan penulis zaman Selasih dan Rukiah umumnya tamatan Sekolah Guru Kepandaian Putri, maka perempuan pengarang mutakhir ini rata-rata berpendidikan Program Pascasarjana atau minimal bergelar S-1.
Helvy Tiana Rosa, Sri Lestari Wahyuningrum, Uni Sagena, Upita Agustine, Agnes Majestika dan Yvonne de Fretes adalah lulusan program Pascasarjana dan bergelar S-2. Amanda Katili Niode, Artini, Dewi Motik Pramono, Sastri Sunarti Sweeney dan Henny Herwina Hanif adalah pemilik gelar S-3 (Ph.D).
Tak sedikit di antara mereka juga dikenal sebagai pejabat publik. Aryanti yang merupakan nama pena dari Prof. Dr. Haryati Soebadio adalah mantan Dirjen Kebudayaan Dikbud dan mantan Menteri Sosial Kabinet Pembangunan V dan anggota MPR-RI (1988–1993) dan Prof.Dr. Edi Sedyawati adalah mantan Dirjen Kebudayaan Depdikbud (1993-1999).
Majunya pendidikan kaum perempuan pengarang dan penulis ini pada akhirnya memberi fenomena lain, yaitu bentuk penulisan feminin (morfologi feminin) sebagai bentuk pendekonstruksian penulisan maskulin yang selama ini telah menjadi ideologi penulisan sastra.[14]
Hal lain yang juga layak dicatat, kendati mungkin tidak terlalu penting adalah melihat kesadaran perempuan-perempuan pengarang masa kini tentang pentingnya arti sebuah nama pena, yang pada dasarnya adalah sebuah brand name. Mereka mulai sadar bahwa nama-nama yang biasa, tentunya akan sulit ditelusuri melalui Googling, sedang nama-nama dengan lafal dan ejaan yangsulit, membuatnya tidak mudah untuk diingat.
Hal lain yang layak dicatat menyangkut brand name ini, adalah kenyataan tak semua nama perempuan itu adalah benar-benar ditulis oleh perempuan. Banyak nama yang kedengarannya feminin, ternyata adalah nama-nama lelaki, misalnya nama Niken Pratiwi atau Agnes Yani Sardjono. Nama Niken Pratiwi adalah nama pena dari nama pengarang lelaki bernama Mudjimanto, sedang nama Agnes Yani Sardjono adalah nama pena dari sastrawan Agus R. Sardjono. Sebaliknya banyak nama yang kedengarannya seperti nama lelaki ternyata nama perempuan. Ini mengingatkan pada nama novelis Prancis George Sand yang nama aslinya adalah Amandine Lucie Aurore atau nama novelis Inggris George Eliot yang nama aslinya adalah Mary Ann Evans yang notabene adalah para perempuan yang menyamar menjadi lelaki.
Dalam sebuah tulisannya, penyair Sapardi Djoko Damono menduga hal ini terjadi karena penyamaran ini dianggap menguntungkan, karena didasari pada kesadaran pembaca wanita makin banyak jumlahnya. “Jika alasan terakhir ini benar-benar berdasar, terbayang sudah bahwa masa depan fiksi kita akan lebih banyak ditentukan oleh perempuan.” [15]
Tak dapat dipungkiri, lahirnya banyak perempuan pengarang dan penulis yang membuat buku ini berhasil menyimpan 800-an nama itu dimungkinkan oleh antara lain, semakin kondusifnya iklim kebebasan berbicara, kemajuan perkembangan teknologi dan metoda penerbitan (indie) serta metoda-metoda pemasaran buku yang mereka lakukan secara kreatif.
Pembatasan
Sampai di sini saya harus menjelaskan, apa kriterium yang digunakan oleh buku ini sehingga ada nama-nama yang dimuat, dan ada nama-nama yang tidak dicantumkan.
Pertama, sejak awal buku ini memang tidak diniati menjadi buku atau daftar absen yang memuat daftar semua nama semua perempuan yang pernah mengarang dan menulis di Indonesia. Ada pertimbangan-pertimbangan teknis, agar buku ini tidak perlu menjadi tebal tanpa manfaat; dan juga tentu saja juga ada pertimbangan subyektif, yaitu karena keterbatasan pengetahuan saya.
Kedua, sejak awal saya juga membatasi diri ‘hanya’ mencantumkan nama kaum perempuan pengarang dan penulis yang karyanya sudah dibukukan, sedikitnya tulisannya pernah dipublikasikan dalam sebuah buku antologi atau buku bunga rampai. Persyaratan ‘menulis buku’ ini diutamakan, karena peran buku dalam perkembangan peradaban diakui sangat penting. Meski dewasa ini banyak sumber pustaka lebih praktis, dan canggih seperti Internet, peran buku masih belum tergantikan, terutama dalam kapasitasnya sebagai sumber pengetahuan, dan sumber informasi. Verba polant, scripta manent, kata pepatah Latin. Kata-kata akan hilang, tapi yang tertulis akan tetap tinggal. Dengan demikian, buku menjadi penting karena bisa mewakili pemikiran manusia dalam menjalin interaksi dengan manusia lain secara sambung-menyambung, dan turun-temurun.
Ketiga, betapa pun saya tetap memperhatikan pencapaian karya-karya mereka dan sejauh mana pengaruh (karya) mereka dalam konteks besar ‘sejarah perjalanan’ perempuan pengarang dan penulis di Indonesia sehingga aturan 1 dan 2 kadang harus saya ‘langgar’. Itu karena saya ingin buku ini tetap bisa memelihara jejak-jejak penting yang mereka lakukan.
Meski demikian, pencantuman nama-nama itu sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan urusan ‘mutu’ , baik dari segi kepengarangan atau kepenulisan atau karya-karya mereka.
(Kurniawan Junaedhie)
[1] Maman S. Mahayana: “KoranWanita Awal Abasd XX: Corong Ide Emansipasi”
[2] Surat-surat itudibukukan di bawah judul Door Duisternis tit Licht oleh Mr. J.H.Abendanon, pada tahun 1912. Tentang ini baca Sukanti Suryochondro, PotretPergerakan Wanita di Indonesia, CV Rajawali, Jakarta, 1984.
[3] Myra M. Sidharta,”Majalah Wanita: Antara Harapan dan Kenyataan”, Prisma, 8 Agustus1981.
[4]SoenarjatiDjajanegara: Kritik Sastra Feminis. Gramedia Pustaka Utama, 2000. Baca juga: Nurhadi:”Dari Kartini hingga Ayu Utami: Memposisikan Penulis Perempuan dalamSejarah Sastra Indonesia”, Jurnal Diksi FBS UNY edisi Juli 2007.
[5] Nenden Elis A: “KepadaYang Melupakan”, Pengantar Antologi Puisi Penyair Perempuan SihirTerakhir. Pustaka Pujangga, 2009
[6] Korrie Layun Rampan.“Kesusastraan Tanpa Kehadiran Sastra”. Yayasan Aru, 1984.
[7] Dalam pendataanpenduduk oleh Kementerian Dalam Negeri, jumlah penduduk Indonesia terhitung 31Desember 2010 mencapai 259.940.857. Jumlah ini terdiri atas 132.240.055laki-laki dan 127.700.802 perempuan. (Baca Kompas, 19 September 2011).
[8] Istilah ini, termasukistilah “Pengarang Fiksi Seksual”, sayadengar pertamakali digunakan oleh penyair Ahmadun Yosi Herfanda dalam berbagaikesempatan.
[9] Almarhun Umar Kayam memuji pengarangnya sebagaipenulis yang susah ditandingi penulis-penulis muda sekarang bahkan penulis tuapun, belum tentu bisa menandinginya. Begitu komentarnya pada bagian sampulbelakang novel tersebut. Saman sendiri merupakan fragmen novelnya Laila Tak Mampir di New York yangmemenangkan hadiah pertama dari sayembara Mengarang Roman Dewan KesenianJakarta tahun 1998. Almarhum Y.B. Manguwijaya memuji novel ini sebagai novelyang spendid, novel yang dapat dinikmati dan berguna sejati bagi pembaca yangdewasa, bahkan amat dewasa, dan jujur, khususnya mengenai dimensi-dimensipolitik, antropologi sosial dan teristimewa lagi agama dan iman. Lewat novelini, Ayu Utami tidak hanya mendapat penghargaan di negerinya sendiri, negeriBelanda pun memberinya penghargaan.Meski banyak kritikus sastra memberinyapujian, tidak sedikit pula yang menilainya negatif. Kemunculannya yangtiba-tiba dalam dunia sastra layaknya buah karbitan saja. Para juri sayembaraMengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta mendapat sorotan tidak mengenakkan. Merekadituduh sebagai pihak yang memblow-up novel tersebut.Terlepas dari berbagaikontroversi, Saman dan Ayu Utami telah menempatkan dirinya dalam mata rantaisejarah sastra Indonesia. Korrie Layun Rampan yang mencetuskan lahirnyaAngkatan 2000 dalam sastra Indonesia tidak hanya menempatkan Ayu Utami sebagaisalah satu eksponennya, tetapi malah menempatkannya sebagai tokoh pembaru dalambidang novel. Pembaruan pada Saman terlihat dalam pola kolase yang meninggalkanberbagai warna yang dilahirkan oleh tokoh maupun peristiwa yang secara estetikmenonjolkan kekuatan-kekuatan literer.
[10] Kendati mayoritasanggotanya muslim, Helvy Tiana Rosa menegaskan bahwa FLP bukanlah organisasipenulis yang eksklusif. “Di (organisasi) kami ada juga yang Katolik, dan di FLPBali kan kebanyakan orang Hindu,” katanya dalam wawancara di majalah Swa.
[11]FLP memiliki 123cabang di 29 wilayah di Indonesia dan i 13 cabang di luar negeri, yakni diMesir, Eropa, Jepang, Amerika Utara dan Kanada, Hong Kong (beranggotakan parapembantu rumah tangga asal Indonesia di negeri itu), Singapura, Sudan,Malaysia, Yaman, Jerman serta Arab Saudi.
[12] Baca: Fenomena Ayat-ayat Cinta (Anif SirsaebaEl Shirazy, Anif Sirsaeba, Republika), hal. 354.
[13] Pipiet Senja, “Tersihir Karya Penulis Noni” Baca:http://pipietsenja.multiply.com/journal/item/50/Kenapa_Harus_Fiksi_Islami_1?&item_id=50&view:replies=reverse&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
[14]Ida Nurul Chasanah& Suminto A. Sayuti: “Konstruksi Ideologi Patriarki Dalam Karya-KaryaPerempuan Pengarang Indonesia Mutakhir” Fakultas Ilmu Budaya, UniveritasAirlangga
[15] Sapardi Djoko Damono:“Beberapa Pokok Persoalan Berkaitan dengan Sastra Indoneisa-Tionghoa”, bacabuku:Politik Ideologi dan Sastra Hibrida, Pustaka Firadus, Jakarta, 1999.
DAFTAR 700-AN PENULIS PREMPUAN DALAM BUKU INI:
A. Rahartati Bambang Haryo
Aam Amalia
Aan Almaidah Anwar
Aan Wulandari Usman
Abidah El Khalieqy
Ade Batari
Ade Nastiti
Ade Oktiviyari
Adenita
Afifah Afra Amatullah
Agnes A. Majestica
Agnes Endratni Haryadi
Agnes Hening Ratri
Agnes Jessica
Agnes Samsuri
Agnes Sri Hartini Arswendo
Aida Ismeth Aida Zulaika N. Ismeth
Akidah Gauzillah
Alberthiene Endah
Alina Kharisma
Aliyah Purwati
Alya Salaisha-Sinta
Ambhita Dhyaningrum
Amdai Muth Siregar
Ana Westy Martiani
Anastasia Luh Sukesi
Andang Gunawan
Angelina Sondakh
Anggia Yulia Angely
Anggie Sri Wilujeng
Ani Ema Susanti
Ani Idrus
Ani Istikharoh Anhar
Ani Sekarningsih
Anil Hukma
Anindita S. Thayf
Aning Ayu Kusuma
Anisa Afzal
Anita K. Rustapa
Ann
Anna M. Massie
Anna R. Nawaning
Anna Siti Herdiyanti
Anne Avantie
Anneke Putri
Anni Iwasaki
Anny Djati
Apri Swan Awanti
Aprila R.A. Wayar
Apsanti Djokosujatno
Ar. Kemalawati
Ari Kinoysan Wulandari
Aria Rhoma Dwi Aria Yuliantri
Ariana Pegg
Ariesta
Arini el-Ghaniy
Arleen Amidjaja
Arti Purbani
Arumi Ekowati
Ary Nilandari
Asih Sumadono
Asma Nadia
Asmi Dewi
Asnelly Luthan
Asrina Novianti
Astina Triutami
Astuty Wulandari
Atiek Sri Rahayu
Atik Sulistyowati
Aurelia Tiara Widjanarko
Avi Basuki
Avianti Armand
Aya Lancaster
Ayu Cipta
Ayu Diah Cempaka
Ayu Utami
Azimah Rahayu
Azwina Azis Miraza
Bibsy Soenharjo
Boen S. Oemarjati
Budi Utamy
Budiana Indrastuti
Budiyati Abiyoga
Butet Benny Manurung
Butet Manurung
Cahaya Buah Hati
Candra Kirana
Cecen Cendrahati
Cecil Mariani
Cecillia K.
Cesillia Ces
Cherry Hadibroto
Christia Dharmawan
Chyé Rétty Isnéndés
Cicilia Anggraini Oday
Clara Ng
Claudia Irawan Massie
Coen Supriyatmi
Cok Sawitri
Cut Januarita
Cut Uswatun Khasanah Z.A
D. Kemalawati
D.M. Ningsih
Dahlia
Dahlia Rasyad
Daian
Dalasari Pera
Debora Indrisoewari
Debra Yatim
Dee Dewi Lestari
Deni Tri Aryanti
Dennis Lextria
Desi Puspitasari
Dewi Anggraini
Dewi Anwar
Dewi Fitri Lestari
Dewi Maharani
Dewi Motik Pramono
Dewi Nova Wahyuni
Dewi Nuria Khodijah
Dewi Rais Abin
Dewi Sartika
Dewi Yanthi Razalie
Dharmawati TST
Dhenok Kristianti
Diah Hadaning
Dian Hartati
Dian Kristanti
Dian Lufia Rahmawati
Dian Nafi
Dian Nurindya
Dian Yasmina Fajri
Dian Yuliasri
Dian Yuliasri Purnomo
Diana Mardihayati
Diana Roswita
Dianing Widya Yudhistira
Dien Wijayatiningrum
Dieny Maya Sari
Dina Mardiana
Dina Oktaviani
Dinar Rahayu
Divin Nahb
Djenar Maesa Ayu
Dorothea Rosa Herliany
Dwi Putri Rejeki
Dwi Rahayuningsih
Dwi Septiawati
Dwiarti Mardjono
Dyah Indra Mertawirana
Dyah Merta
Dyah P. Rinni
Dyah Setyawati
Dyah Utami Puspitarini
Dyan Nurindya
Edi Sedyawati
Eka Pranita Dewi
El Eyra
Elidawani Lubis
Elis Tating Bardiah
Eliza Vitri Handayani
Elli Marliah
El-Syifa
Elya Nurbayyinah
Embun Kenyowati Ekosiwi
Endah Sulwesi
Endang Murdopo
Endang Susanti Rustamaji
Endang Werdiningsih
Eni Yuniar
Enni Soetomo
Enny Sumargo
Epi Siti Sopiah
Eri Geni
Erlita Nila Sari
Erna Iswati
Esi Lahur
Esther Karsono
Esti Nuryani Kasam
Etik Juwita
Etik Minarti
Etty Indriati
Euis Meilani Sabda
Eva Budiastuti
Evelyn Ridha Avenina Ratih Arief
Evi Idawati
Evi Rine Hartuti
Faizah Soenoto Rivai
Fannie Astria Yulandari
Fanny J. Poyk
Faradina Izdhihary
Farah Hidayati
Farahdiba
Fardelin Hacky Irawani
Farida Sumargono
Farida Susanti
Faridah Roni
Fatin Hamama
Fauziah Nurdin
Febby Fortinella
Feby Indirani
Femmy Syahrani
Feni Sudilarsih
Fie Fullan Azzahra
Fina Sato
Fira Basuki
Firliana Purwanti
Firmanawaty Sutan
Fitra Yanti Eliza
Fitri Nuraini
Fitri Susila
Fitri Yani
Fitriani Um Salva
Fitriyanti
Fitryan G. Dennis
Fori Desniar
Fransisca Dewi Ria Utari
Free Hearty
Frieda Amran
Gadis
Gadis Arivia
Gin
Ginatri S. Noer
Gita Pratama
Gita Romadhona
Gratiagusti Chananya Rompas
Hakimah Rahmah Sari
Halimah Munawir
Hamidah
Hani Iskandarwati
Hanna Francisca
Hanna Rambe
Hanum Safnas
Happy Salma
Hartati Nurwijaya
Hartin Rahmaldi
Haryati Soebadio
Hasrianti Silondae
Haulia Rosdiana
Haya Aliya Zaki
Hayatinufus A.L.Tobing
Helen Ishwara
Helga Worotitjan
Helvy Tiana Rosa
Heni Hendrayani Sudarsana
Herlela Ningsih
Herlina Mustikasari Mohammad
Herlinatiens
Hikaru
Himmah Tirmikoara
Hudan Nur
Hylla Shane Gerhana
I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani
Iao Suwati Sideman
Icha Rahmanti
Ida Ahdiah
Ida Ayu Dewi Arini
Ida Ayu Galuhpethak
Ida Ayu Utami Sundari
Ida Ch
Ida Nasution
Ida Nursanti Basuni
Ida Nurul Chasanah
Ifa Avianty
Iis Istrini
Ika Natassa
Ike Soepomo
Ikhtiar Hidayati
Ikrima Ghaniy
Ima Suwandi
Imas Sobariah
Imelda Akmal
Imelda Hasibuan
Imratul Jannah
Inayati
Indah IP
Inez Dikara
Inggit Puria Marga
Inggrid Wijanarko
Intan Hs
Intan Paramadhita
Ira Esmiralda
Irena Tjiunata
Iriani R. Tandy
Irma Agryanti
Irma Hadisurya
Irna Hadi
Iskasiah Sumarto
Isma Sawitri
Isyanti Tunggadewi
Ita Dian Novita
Izzatul Jannah
Jaladara
Jeanne L. Yap
Jetti Mustika
Joan Ro
Judith
Julie Ikajanti
Juwairiyah Mawardy
Kadek Sonia Piscayanti
Kalsum Belgis
Kamila Andini
Kanti W. Janis
Kartika
Katherina
Katrin Bandel
Kawako Tami
Kembang Manggis
Ken Fitria
Ketut Sunia Sudiani
Khaterina
Khusnul Khotimah
Kiki Turki
Kinan Nasanti
Kirana Kejora
Komang Ira Puspitaningsih
Kris D.S
Kunni Masrohanti
Kurnia Indrastuti
Kwek Li Na
L. Yunadi
La Rose
Laela Awalia
Lailatul Kiptiyah
Laire Siwi Mentari
Laksmi Banowati
Laksmi Pamuntjak
Lan Fang
Lastri Fardani Sukarton
Laswiyati Pisca
Laura Khalida
Lea Pamungkas
Leila Ch. Budiman
Leila S. Chudori
Lentera Al-Jazhiran
Lexie Xu
Leyla Hana
Lia Cynthia
Lia Herlani
Lia Indriyani
Lian Gouw
Lik Kismawati
Lila Fitri Aly
Lili Munir C
Lili Taswa
Lilly T Erwin
Lily Yulianti Farid
Lina Kelana
Lina Marlina
Linda Christanty
Linda Djalil
Linda Fitriana
Lintang Sugianto
Lulu Ratna
Lupita Lukman
Lusi Wulan
Lusiana M. Hevita
Lutfi Retno Wahyudyanti
Lutik Siswani Alibasyah
Lyarya May Chynta
M. Poppy Donggo Hutagalung
Made Purnamasari
Maftuhah Jakfar
Maggie Tiojakin
Maqhia Nisima
Marga T atau Marga Tjoa
Margaretha Widhi Pratiwi
Marhaeni Eva
Maria A. Sardjono
Maria Amin
Maria Bo Niok
Maria Hermiyanti Sugiharto
Maria Kadarsih
Maria Widy Aryani
Mariana Lewier
Marianee Katoppo
Marina Silvia K.
Marlen Alfons
Martha Hermiari Hadimulyanto
Martha Maspaitella
Martha Sinaga
Maya Wulan
Mayling Oey-Gardiner
Mbak Sowiyah
Medy Loekito
Mega Vristian
Meiriza Paramita
Melani Budianta
Mell Shaliha
Melly Guslaw
Melly Kiong
Melodi Muchransyah
Mely G. Tan
Menik Sugiyah
Menur Hayati Adiwiyono
Merisa Martiningsih atau Ni Made Purnama Sari
Meutia Geumala
Meutya Hafid
Mezra E. Pellondou
Mira Astra
Mira W.
Mirabina Liarifatiha az-Zahra
Miranda Harlan
Miranda Putri
Miriam Budiardjo
Mona Lohanda
Mona Sylviana
Muktafiah
Muna Masyari
Munasti
Munnal Hani’ah
Murparsaulian
Murti Bunanta
Muryani J. Semita
Mustika Heliati
Muthi’ Masfu’ah
Muthiah Alhasany
Muthiah Syahidah
Mutia Sukma
Myra Sidharta
N.F. Muhaiminati
N.H. Dini
N.K.M. Saraswati Laksmi
Nadhira Khalid Bathhef
Nagiga atau Nur Ayati
Najmah Janani
Nana Ernawati
Nana Riskhi Susanti
Nancy Meinintha Brahmana
Nani Tanjung
Naniheroe
Naning Indratni
Naning Pranoto
Naomi Srikandi
Nenden Lilis A
Neneng Setiasih
Nening Mahendra
Nersalya Renata
Nessa Meta Kartika
Ni Ketut Sudiani
Ni Komang Ariani
Ni Luh Putu Mahaputri
Ni Made Frischa Aswarini
Nia Iskandar Dinata
Nia Nurdiansyah
Nia Samsihono
Nia Sutiara
Nina Indhiana
Nina Minareli
Nina Pane
Ninik Handrini
Nining Indarti
Ninuk Mardiana Pambudy
Nisa Ayu Amalia
Nisrina Lubis
Nita Indrawati Arifin
Nita Tjindarbumi
Nita Widiati Efsa
Noena Fadzila
Nona G. Muchtar
Noor Aini Cahya Khairani
Noorhani Dyani Laksmi
Nova Ayu Maulita
Nova Riyanti Yusuf
Novia Stephani
Novia Syahidah
Noviana Kusumawardhani
Novieta Dura
Novilya Putri Kartikasari
Nukila Akmal
Nungki Irma Nurmala Pratikto
Nungki Kusumastuti
Nunik Iswardhani
Nunik Utami Ambarsari
Nunung Susanti
Nur Azizah
Nur Kastelia Anugrasandy
Nur Wahida Idris
Nuraini Mettawati
Nurbaiti Alivia Ramadani
Nurhayati Pujiastuti
Nurhayati Purba
Nurjanah Laila
Nursyamsu, atau Nursyamsu Nasution
Nurul Chomaria
Nurul F. Huda
Nyayu Zulfia Hikmayanti
Nyi Penengah Dewanti
Oka Rusmini
Okky Madasari
Oktarina Prasetyowati
Olga Bati
Olin Monteiro
Ollie
Omi Intan Naomi
Oppie Andaresta
PelAngi Biroe Itoe Akoe
Pertiwi Hasan
Pipiet Senja
Pratiwi Setyaningrum
Primadonna Angela
Prisca Primasari
Priyantini
Puji Isdriani K.
Puput Amiranti
Puput Happy
Puti Lenggo
Putri Indah Wulandari
Putri Narita Pangestuti
Putu Rastiti
PutuVivi Lestari
Rachmania Arunita
Rahmadiyanti
Rahmaliah
Rahmatia
Rainy M.P. Hutabarat
Rakhmawati Fitri
Ramayani
Rani Rachmani Moediarta
Rantri Astria Hannah
Rara Gendis
Rasyidah
Ratih Kumala
Ratih Sanggarwati
Ratna Ayu Budhiarti
Ratna Dewi
Ratna Indraswari Ibrahim
Ratna Komala Sari
Ratna Megawangi
Ratna Sarumpaet
Ratu Ayu atau Neni Saputra
Rayani Sriwidodo
Rayni N. Massardi
Reina Caelisia
Reni Erina
Renny Yaniar
Renny Yulia
Ria Ristiana Dewi
Ria. N. Badaria
Riana Ambarsari
Rianda
Riawani Elyta
Ribka Tjiptaning
Rieke Diah Pitaloka
Riki Utomi
Rina Ratih
Rina Suryakusuma
Rini Fardhiah
Rini Febriani Hauri
Rini Ganefa
Rini Intama
Rini Nurul Badariah
Ririe
Ririe Rengganis
Ririn Wulandari
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risa Amriksari
Rita Nauli
Rita Oetoro
Rita Sujono
Riza Rahmi
Rizky Amalia Ulfa
Rochyati Sofjan
Rosni Idham
Rukmi Wisnu Wardani
Ryana Mustamin
S. Mara GD
S. Rukiah
S. Tjahjaningsih
Saadah Alim
Sadrah Prihatin Rianto
Salma
Samiati Alisjahbana-Amahorseja
Sandra Palupi
Sanie B. Kuncoro
Santi Almufaroh
Saras Dewi
Saraswita Laksmi
Sari Azis
Sari Narulita
Sartika Sari
Sashmytha Wulandari
Sastri Sunarti Sweeney
Sastri Yunizarti Bakry
Savitri Sri Bhata Mangala
Sekar Ayu Asmara
Selasih
Seli Desmiarti
Selvy Erline S
Septi Peni Wulandari
Shantined
Shinta Febriany
Shinta Kusumawati
Shinta Miranda
Sinta Yudisia W
Sirikit Syah
Sisca Soewitomo
Sitaresmi S. Soekanto
Siti Aisyah
Siti Fadilah Supari
Siti Fatimah
Siti Nuraini
Siti Saadah
Sitoresmi
Sitta Karina
Soesi Sastro
Soewarsih Djojopoespito
Sofia Trisni
Sofie Dewayani
Sri Amiranti Sastrohoetomo
Sri Hartati
Sri Izzati
Sri Kusdyantinah
Sri Musdikawati
Sri Owen
Sri Saptarini Wulandari
Sri Setya Rahayu Soehardi
Sri Subakir
Sri Waluyati Sandi
Sri Wijani Soemartojo B.A.
Srikandi Hakim Khrisna
Stefani Hid
Stephanie Zen
Sugiarti Siswadi
Sukaesih Sastrini
Sulistyorini
Sulistyowati Edison
Surtini Hadi
Surtiningsih W.T.
Suryatati A. Manan
Susilaning Satyawati Hardjono
Susy Aminah Aziz, N
Susy Ayu
Suwarsih Djojopuspito
Swastika
Syamsa Hawa
Sylvia L’Namira
T. Andar
Tamara Geraldine
Tanti
Tarini Sorita
Tary
Tatiek Maliyati
Taty Haryati
Tesalonika Lies Indrayantie
Tetet Cahyati
Theresia Citraningtyas
Threes Emir
Threes Nio
Tiana S.W.
Tien Marni
Tien Rostini
Tika Bisono
Tika Wisnu,
Tina K
Tina Savitri
Titie Said
Titiek WS
Titien Wattimena
Titik Danumiharjo
Titik Kartiani
Titis Basino
Titis Hening
Tjut Irda Triany MN
Toeti Heraty Noerhadi
Toeti Kakiailatu
Toeti Sunardi
Totilawati Tjitrawasita
Tresna Ismaya
Tri Wahyunani Rahmat
Tria Barmawi
Triani Retno A
Trie Utami
Triyugi Rizki Windarsi
Tuti Gintini
Tuti Kuswardani
Tuti Nonka
Ucu Agustin
Ulfatin Ch
Ully Sigar Rusady
Uni Sagena
Upi Avianto
Upi T. Sundari
Upita Agustine
V. Lestari
Vallesca Souisa
Vanda Makahanap Parengkuan
Vanny Chrisma W
Veronica Widyastuti
Vina Kurniawati
Vinca Callista
Vinca Kumala atau VinK
Violetta Simatupang
Vira Safitri
Vita Sumarhadi
Vivi Maghfi
Vivian Idris
Wa Ode Wulan Ratna
Wahyu Wiji Astuti
Walujati
Wanda Leopolda
Weni Suryandari
Widyawati Puspita Dewi
Widzar
Wikan Satriati
Wina Bojonegoro
Wina Karnie
Wina SW1
Winarti Juliet Vennin
Windry Ramadhina
Winna Efendi
Winny Gunarti
Wiyatmi
Wulan Guritno
Wulandari Putri
Y.F. Nata
Yanie Wuryandari
Yanimar W. Yusuf
Yanti Sri Budiarti
Yati Maryati Wiharja
Yati Setiawan
Yatie Asfan Lubis
Yessy Gusman
Yetti A. KA
Yuni Jie
Yunis Kartika
Yusiana Tan Basuki
Yuyu AN Krisna–Mandagie
Yvonne de Fretes
Zahrotul Umamah
Zainurmawaty
Zamila Iriana Duchlun
Zara Zettira ZR
Zeventina Octaviani Bouwmeester
Zoya Herawati
Zubaidah Djohar
Zulaidar Idrus
Zuriati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar